Oleh: Syamsul Rijal
Hari ini adalah hari yang ditunggu banyak manusia. Jutaan pasangan mata manusia bersabar dalam ketidaksabaran. Menunggu siapa yang paling hebat. Midau salah satunya. Tapi hari ini dia sangat lelah. Matanya tak kuasa menahan kantuk. Kalau bukan karena magrib, Midau sudah pasti tertidur.
Midau kemudian menunda tidurnya, hingga pukul 19.00 malam. Namun karena kantuk lebih berkuasa dari kekuatan mata, terpaksa, Midau tertidur. Karena, yang ditunggu-tunggu manusia belum muncul juga. Midau mengalah dari kantuk. Dia tidur. Nyenyak.
Midau kelelahan bekerja sehari. Dia sangat sibuk. Pernah suatu saat, Midau selalu mengeluh akan pekerjaannya. Entah dari mana, tiba-tiba Midau menanyakan kepada dirinya sendiri tentang siapa sebenarnya yang menciptakan sibuk di dunia ini(?). Midau selalu bertanya akan hal itu. Setiap bertemu dengan orang lain, selalu dijawab dengan sibuk. Dalam sibuk, Midau semakin nyenyak ke alam mimpi.
Tiba-tiba dalam nyenyaknya, Midau didatangi sosok cahaya putih. Kaget. Belum pernah melihat cahaya yang serupa.
“Siapa kau”, tanya Midau.
“Aku-lah yang menciptakan sibuk”, hahaha.
“Siapa namamu”, Midau kembali bertanya.
“Mahakala. Namaku Mahakala”, jawab sosok cahaya putih itu.
“Siapa yang menciptakan sibuk?”, Midau memperjelas pertanyaannya.
“Waktu”, kata sosok cahaya putih itu.
“Akh, siapa pula itu waktu?”, Midau kembali bertanya.
“Hahaha, waktu. Waktu adalah teman setia manusia. Waktu adalah teman akrab manusia. Bahkan, waktu sudah ada jauh sebelum manusia diciptakan di muka bumi ini. Hahaha. Waktulah yang menjadikan manusia ada”, tegas Mahakala.
“Sombong sekali kau Waktu. Akh!, Tidak! Aku manusia. Aku bisa mengatur waktu.” Midau melawan dengan berani.
“Hahaha, keliru besar kau manusia. Midau. Jangan coba-coba berkata, manusia mengatur waktu! Sebab, engkau hidup di dalam waktu, hahaha. Engkau tak akan bisa menghindar dari waktu.” Mahakala mempertegas lagi posisi waktu.
“Lalu apa artinya waktu tanpa manusia?” Tanya Midau kepada Mahakala.
“Tanpa manusia pun, waktu akan tetap berjalan.” Kata Mahakala.
“Tapi waktu tak akan pernah bermakna tanpa kehadiran manusia.” Midau membantah pernyataan Mahakala.
Tiba-tiba suara dari sesosok makhluk penuh cahaya itu menghilang dan berganti dengan lengkingan yang memekik telinga. Suara lengkingan itu berdurasi sepuluh detik lalu diakhiri dengan suara lengkingan keras. Midau menyaksikan manusia kepanikan lalu bergelimpangan akibat suara lengkingan itu. Lalu Mahakala muncul dan kembali berdialog dengan Midau. Midau meneriaki Mahakala.
“Hai! Siapa yang melakukan ini?” Tanya Midau.
“Hahaha! Itu kekuatan waktu. Dan, itu hanya sepuluh detik.” Jawab Mahakala yang seolah-olah mengancam.
“Wau wau wau, begitu ya?” Midau mulai mengejek.
“Kamu kira waktu hanyalah ruang hampa? Kamu kira waktu hanya deretan angka 1 sampai 24? Kamu kira waktu hanya detakan jarum jam yang tak berpenghuni? Tidak! Waktu telah memiliki manusia. Hahaha.” Mahakala kembali memberi pernyataan aneh.
“Hahaha, lalu siapa yang memiliki dan mengendalikan waktu?” Tanya Midau karena tidak percaya dengan perkataan Mahakala.
“Hahaha, pemilik waktu adalah pengendali waktu. Dan, kamu manusia, tidak perlu tahu pemilik dan pengendali waktu itu.” Tegas lagi Mahakala, dan bersiap-siap pergi.
“Hai! Tunggu dulu! Jangan pergi! Siapa gerangan pemilik waktu itu?” Midau berusaha menahan Mahakala untuk pergi.
Sosok suara Mahakala itu menghilang tanpa jejak. Lalu kumpulan cahaya memenuhi pandangan mata Midau. Sangat menyilaukan. Hingga manusia tidak bisa melihat kekuatan cahaya itu. Midau dan manusia lainnya menutup mata dan tiarap memeluk bumi. Tak sanggup menyaksikan kilauan cahaya itu.
Sosok suara tanpa tubuh itu kemudian muncul lagi
“Itu hanya bagian kecil dari waktu.” Mahakala mulai mengancam lagi.
Mata Midau sudah mulai melihat lagi sosok itu, Mahakala.
“Semakin sombong kau. Hanya cahaya seperti itu sudah berani menghina makhluk penghuni bumi.” Midau menghardik Mahakala karena melihatnya semakin sombong.
Mahakala lalu menjelaskan lagi ke Midau tentang keberadaan manusia di bumi.
“Hahaha, engkau! Manusialah yang tak tahu diri. Manusia hanya menumpang hidup di tengah waktu. Bumi pun hanya sebagian kecil dari waktu. Dan ingat wahai manusia! Bumi adalah waktu. Bumi dibentuk atas susunan dan kumpulan waktu. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun hanyalah lingkaran-lingkaran kecil dari keluarga waktu. Lingkaran-lingkaran kecil itulah yang membentuk waktu yang bernama bumi. Bumi ini adalah waktu.”
“Akh tidak! Terlalu angkuh penjelasanmu. Kami tidak mau tahu itu. Kami hanya hidup, bekerja, makan, dan beribadah di bumi ini.” Lawan Midau kepada Mahakala.
“Oh oh ho. Jangan berkata seperti itu! Hidup manusia hanya dibatasi dua waktu. Manusia bekerja dibatasi oleh waktu. Jeda makan manusia diatur oleh waktu. Bahkan ibadah manusia tergantung pada waktu. Maka, tidak ada yang bisa keluar dari waktu”. Tegas Mahakala kepada Midau.
“Lalu ke mana manusia setelah mati jika tidak keluar dari waktu?” Tanya Midau kepada Mahakala.
“Hahaha, di situlah kelemahan manusia. Setelah mati, manusia hanya berpindah ke waktu yang berbeda. Waktu yang lebih panjang dan lebih nyata dari waktu yang ada di bumi. Bumi ini hanya miniatur waktu. Karena waktu yang asli ada setelah manusia mati.” Mahakala memastikan tentang waktu.
“Egois kau!” Midau tak mau kalah.
“Oh! Hati-hati! Siapa sebenarnya yang egois di antara kita? Manusia atau waktu? Dengar baik-baik! Material yang membentuk tubuh manusia terbentuk dari waktu. Masa anak-anakmu diukur dengan waktu. Perbedaan masa remaja dan masa dewasa manusia dibedakan dengan waktu. Masa tua manusia terbatas oleh waktu. Jadi, usia manusia hanyalah durasi waktu.” Mahakala mencoba memberi pilihan kepada Midau.
“Betul-betul kau semakin angkuh. Angkuh sekali mendefinisikan manusia dengan waktu. Dengar! Aku tidak peduli dengan waktu yang angkuh.” Midau masih terus melawan.
“Hahaha. Ternyata kau masih keras kepala. Dasar manusia. Sudah diberi waktu untuk hidup, masih saja menuduh waktu mendefinisikan hidupnya. Sekarang, kamu rasakan ini.” Cahaya kilat dan suara menggelegar memenuhi pandangan Midau. Suara keras semakin memekikkan telinga. Semua manusia memeluk bumi. Menunduk, tengkurap. Serta menutup telinga dan matanya.
Midau lalu bertanya. “Apa itu? Suara apa itu? Cahaya apa itu? Akh!
Mahakala semakin menunjukkan kekuatannya. “Hahaha, rasakan. Ini kuasa waktu. Dan jika waktu berkehendak, sekejap kalian akan binasa. Jika cahaya dan suara itu tidak dipercepat kehadirannya di muka bumi ini, maka kepunahan manusia akan semakin cepat.”
“Tidak! Manusia akan selalu bisa menyesuaikan waktu mereka. Manusia akan bertahan melawan waktu dengan kecerdasan akalnya.” Midau tetap melawan pernyataan Mahakala.
“Hahaha, akal? Akal seperti apa yang dimiliki manusia? Secerdas apapun manusia, dia tidak bisa menambah waktu yang berputar di bumi ini. Kecerdasan manusia dibatasi oleh waktu. Waktu bisa menangguhkan kecerdasan manusia. Waktu bisa membelah-belah kecerdasan manusia. Waktu akan mengakhiri kecerdasan manusia.” Mahakala semakin tegas dan jelas kepada Midau.
“Oooo, tidak semudah itu waktu mengakhiri kecerdasan manusia. Setiap waktu dapat dicerdaskan oleh manusia.” Balas Midau yang tak mau kalah.
“Apa katamu? Mari kita buktikan kecerdasanmu.” Mahakala menantang lagi.
Cahaya terang membutakan mata manusia. Midau tak bisa melihat. Pikirannya dan akal sehatnya tidak bisa bekerja. Dalam hitungan detik, cahaya itu menghilang entah kemana.
“Akh! Di mana ini. Di mana aku sekarang? Akha ha ha. Mataku. Akh tidak.” Midau merasa sakit.
“Hahaha. Mana kecerdasanmu wahai manusia sombong?” Tanya Mahakala.
“Akh haha. Jahat kau! Kau tidak adil. Kau pasti pakai ilmu sihir.” Midau tidak mau terima dan tetap melawan dengan argumentasi lain.
“Hahaha, sihir hanya permainan waktu. Sihir tak berlaku bagi kami.” Tegas Mahakala kepada Midau.
“Bohong! Kau telah menyihirku. Mataku, ahk. Mataku.” Mata Midau semakin terasa sakit.
“Hahaha. Sihir. Sihir bekerja atas perjalanan waktu. Sihir hanya menumpang di dalam waktu. Maka, jika kau mampu menganalisis dan menerjemahkan waktu, sihir tak akan bisa masuk di matamu.” Mahakala mencoba memberi pelajaran kepada Midau.
“Tolong. Aku tidak tahan. Akhh, sakit. Mata ku sakit.” Midau semakin kesakitan.
Midau terus berteriak keras kesakitan dan tidak bisa melihat. Kaki dan tangannya terus meronta. Namun, fisiknya yang kuat membuat dia tetap melawan. Midau tidak mau menyerah. Dengan sekuat tenaga, tangan Midau meraih leher bajunya, menariknya dengan tenaga penuh.
Mahakala kembali menantang Midau. “Bagaimana rasanya? Hahaha, setelah satu detik kau tak bisa melihat. Setelah satu detik otakmu tak mampu menundukkan penglihatanmu.?”
“Semakin angkuh. Akhhh!” Midau berusaha bangkit dan melawan lagi.
“Kau yang angkuh. Selalu merasa hebat.” Mahakala balik menuduh Midau
“Akhh!, Siapa sebenarnya kamu? Segera tunjukkan wajahmu! Kau harus bertanggung jawab atas kerusakan ini.” Midau merasa curiga dengan sosok yang dilawannya berdebat.
“Hahaha, kau tidak perlu tahu. Itu tidak penting. Sekarang, ganti pertanyaanmu.” Mahakala mencoba menghindari pertanyaan soal dirinya yang sebenarnya.
Midau mulai berdiri sempoyongan. Orang-orang yang di sekitarnya juga mulai bangkit, berdiri, dan bergerak. Beberapa orang memapah Midau, dan membantu Midau berdiri. Seorang memberinya air minum. Sebagian lagi memberinya semangat. Seorang di antaranya mendekat ke Midau, lalu membisikkan satu kata di telinganya. Kelihatan dengan jelas pada gerakan bibir orang di dekat Midau membisikkan kata “Lawan”. Seorang lagi dari sisi lainnya mendekati Midau lalu mengatakan kalimat, “Kau tidak sendiri”.
Suara Mahakala kembali mengiang dan berbicara.
“Masih mau bermain-main dengan waktu?” Tanya Mahakala.
“Puiiq! Ini tidak fair. Tampakkan wajahmu.” Tanya Midau seolah mengejek.
“Tidak perlu. Kalau mau berdebat denganku, bersihkan dulu pikiranmu. Otakmu sudah termakan waktu.” Mahakala menjawabnya dengan nada ejekan juga.
“Kurang ajar betul kau. Kau tak berhak mendefinisikanku. Ini wilayah kekuasaanku. Kalau orang-orang tidak suka denganku, segera pergi dariku!” Midau semakin terpojok dan hanya bisa berserah pada orang-orang di sekelilingnya.
**
Mahakala tidak bisa dikalahkan. Dia terlalu kuat. Sepertinya, dia bukan manusia. Midau lalu tersentak, bangun dari tidurnya pada pukul 22.00. Ia hanya tidur selama tiga jam. Tetapi jiwa dan raganya terasa tersiksa selama lima tahun.
***
Syamsul Rijal, lahir di Sidrap, Sulawesi Selatan pada 17 Maret 1984. Sehari-harinya mengajar sebagai dosen bahasa dan sastra di FKIP Universitas Mulawarman, di Samarinda, Kalimantan Timur. Bersama mahasiswa dan dosen FIB Unmul, mendirikan komunitas diskusi tentang bahasa, sastra, dan budaya yang bernama Sindikat Lebah Berpikir (SLB) pada tahun 2017. Esai-esainya sering terbit di Kaltim Post, Berau Post, Samarinda Post, dan Fajar. Beberapa esainya juga telah dibukukan dengan judul Perbedaan dan Keramahan Budaya pada tahun 2020. Untuk komunikasi, dapat melalui kontak seluler dan WA: 082352302713, atau di akun instagram @syamsul__rijal_ .