Oleh: Muh. Quraisy Mathar*
Telah tiba 2024. Seonggok masalah mengadang bangsa, terutama keadilan atas akses internet.
Dahulu kebutuhan pokok manusia hanya terdiri dari makanan, pakaian, dan perumahan, atau yang lebih familiar kita sering sebut dengan pangan, sandang, dan papan. Lalu zaman berubah dan kebutuhan pokok manusia kini bertambah lagi, yakni kebutuhan jaringan (internet).
Manusia hari ini memang terlahir menjadi manusia berkebutuhan khusus. Hampir tak dapat hidup jika kebutuhan khusus tersebut tidak tersedia, atau menjadi alien (terasing) di dunianya sendiri karena ketiadaan kebutuhan khusus tersebut. Kebutuhan khusus itu adalah seluruh perangkat yang berkaitan dengan ketersediaan jaringan internet.
Pernah satu waktu saya mengantar rombongan ke daerah. Waktu tempuh kami saat itu sekitar delapan jam menuju lokasi tujuan. Logika manusia secara umum dengan teori sandang, pangan, dan papan, setibanya kami di lokasi tujuan, seharusnya yang langsung akan dicari adalah makanan (setidaknya camilan), tempat berbaring di penginapan, dan ruang untuk mengganti pakaian.
Ternyata tidak, sebagian besar rombongan saat itu justru lebih berburu “colokan” untuk segera mengisi ulang daya baterai telepon seluler (ponsel) mereka yang sudah low atau bahkan sudah empty. Beberapa orang terdengar bertanya, “Ada jaringan ndak?”. Sementara yang lain berucap, “Bagi jaringan dong”. Manusia masa kini, jaringan dahulu, baru sandang, pangan, dan papan.
Mimpi Keadilan
Pengalaman saya bersama rombongan di atas, ternyata hanya laksana dongeng dan mitos buat jutaan anak negeri yang justru hidup semasa dengan kita. Ketidaktersediaan akses internet ternyata menjadi persoalan terbesar kehidupan di banyak tempat di negeri ini, khususnya di daerah yang sering kita sebut 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Kata Whatsapp, Youtube, Facebook, Instagram, Zoom, apalagi ojol dan mabar, tentulah menjadi istilah asing atau setidaknya sering mereka dengar, namun tak pernah terlihat, terdengar, dan tersentuh.