Oleh: Ais Nurbiyah Al-Jum’ah, Pekerja Teks Komersial
Lalu lintas ilmu pengetahuan sejatinya ditopang oleh kamus, dictionary. Perpusatakaan Bayt Al-Hikmah pada masa kejayaan Islam melahirkan buku-buku terjemahan dari berbagai negara, lintas disiplin ilmu. Berbagai buku diterjemahkan untuk menunjang lahirnya inovasi, tekhnologi, dan gugusan pengetahuan baru. Dari buku-buku terjemahan di berbagai negara, kemegahan ilmu pengetahuan terwujud. Persilangan budaya timur, tengah, dan barat melebur dan saling mempengaruhi melalui interaksi manusia, juga penerjemahan teks-teks. Tentu, orang-orang menuliskan melalui bahasa atau tuturannya sendiri, untuk memahaminya, keberadaan kamus adalah yang utama.
Dunia mengenal banyak leksikografer andal, mereka tidak hanya memiliki kemampuan pengetahuan yang luar biasa, tapi juga ketelatenan dan ketekunan yang mencatat sejarah. Ada Kamus Oxford disusun oleh seorang profesor dan seorang narapidana “gila” mantan dokter bedah yang menghabiskan masa hidupnya di tahanan dengan mengumpulkan kertas dan kata-kata untuk ditulis satu per satu hingga menjadi entri kata yang tersusun rapi. Profesor Doktor James Murray dan Dokter William Chester Minor dengan segala keterbatasannya saling bertukar informasi, kata, dan pengetahuan, hingga pada tahun 1915, James Murray meninggal dunia. Pada 1920, Minor juga meninggal, namun kerja-kerja kamus tetap dilanjutkan. Oxford English Dictionary, akhirnya selesai pada tahun 1927. Proyek besar ini membutuhkan waktu 70 tahun untuk diselesaikan.
Di Indonesia, beberapa kamus lagendaris mewarnai khazanah pengetahuan Bahasa masyarakat kita. Ada Kamus Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, dan Kamus lagendaris Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia yang disusun oleh John Echols dan Hassan Shadily. Duo lexicographer yang sangat tekun memintal dan menyusun kata dalam perbedaharaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris saat mereka berada di Universitas Cornell, Amerika Serikat, dan beralnjut Ketika Hasan Shadily kembali ke kampung halamannya, di Madura.
Kamus Bugis Indonesia dan Inggris
Indonesia memiliki keragaman Bahasa daerah/lokal yang sangat melimpah. Lebih dari 700 Bahasa Daerah hidup di nusantara. Di Sulawesi Selatan, Bahasa Bugis konon menjadi bahasa yang memiliki jumlah penutur yang paling banyak. Seorang leksikografer muda bernama Douglas Laskowske selama enam tahun menekuni Bahasa Bugis dan mengikhtiarkan diri menyusun sebuah kamus.
Saat peluncuran kamus Bugis Inggris Indonesa di Kampung Buku, Sabtu 10 Desember 2023, ia menceritakan bahwa perjumpaan pertamanya dengan bahasa Bugis ketika ia diajak oleh salah satu rekannya mengunjungi Kabupaten Soppeng. Beberapa tahun kemudian, saat belajar Bahasa di Universitas Negeri Makassar (UNM), semangat dan motivasi mempelajari satu Bahasa Daerah semakin menggema. “Kamus ini merupakan kontribusi saya untuk ikut melestarikan bahasa yang indah ini” tulis Douglas dalam prakata.
Ada lebih dari sepuluh dialek Bahasa Bugis, Douglas meneliti sembilan kabupaten yang jumlah penutur Bugisnya dominan, di antaranya Soppeng, Wajo, Pangkep, Sinjai, Sidrap, Barru, Luwu, Pinrang, dan Bone. Ia kemudian memutuskan Bahasa Bugis dengan dialek Soppeng menjadi dialek utama dalam kamusnya karena di antara semua dialek yang ditemui, Bahasa Bugis Soppeng paling mewakili dan dapat dimengerti mayoritas penutur Bahasa Bugis dari kabupaten lain.
Douglas mengklaim ini adalah Kamus Bahasa Bugis pertama yang memiliki tiga Bahasa, yakni Bugis, Indonesia, dan Inggris. Sebelumnya, dua tahun lalu, Douglas menerbitkan kamus ini secara digital, yang hingga kamus cetak ini terbit, telah diunduh oleh 50 ribu lebih pengguna.
Anwar Jimpe Rahman, yang mengomandoi Penerbit Ininnawa mengungkapkan bahwa, meskipun kamus telah lebih dulu terbit secara digital, baginya kamus cetak tidak tergantikan. Ka Jimp sapaan akrabnya menjelaskan bahwa penerbitan kamus cetak memberikan keakraban yang lebih dalam dengan pembaca. Misalnya ketika kita mencari kata pesse, maka dalam kamus cetak, pembaca memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bertemu dengan kata lain selain pesse. Peristiwa yang tidak akan ditemui ketika menggunakan kamus digital, sebab kamus digital hanya akan mengarahkan penggunan pada satu kata yang sedang dicari. Itulah juga yang menjadi alasan Penerbit Ininnawa menyambut serius penerbitan kamus cetak Bugis, Indonesia, Inggris ini.
Douglas sebagai seorang leksikografer telah mempelajari secara formal tata Bahasa dan penyusunan kamus. Selama enam tahun secara tekun belajar Bahasa Bugis bukan waktu yang sebentar, bukan pula waktu yang lama untuk menyempurnakan sebuah kamus. Douglas mengaku, dalam penyusunan kamusnya, kamus Bugis terdahulu, Aku Bangga Berbahasa Bugis karya M. Rafiuddin Nur menjadi rujukan utama.
Sebagai penutur asli Bahasa Bugis, yang saat Sekolah Dasar (SD) masih menjumpai pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Daerah), saya bersyukur atas sumbangan karya besar ini. Seperti kata Douglas, semoga karyanya bisa memperpanjang napas bahasa daerah yang rasa-rasanya semakin hari, semakin hilang dalam kehidupan berbahasa kita, sehari-hari. Khususnya pada institusi pendidikan dan pemerintah, yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melestarikan bahasa daerah.
Penguasaan Bahasa Daerah bukan sebatas memudahkan penutur asli berkomunikasi, namun juga sebagai upaya menemukan jati diri, identitas yang luhur, dan kebijaksanaan yang pada hakikatnya datang dari yang mula dan asali. (*)