Oleh: Pastor Aidan P. Sidik*
Natal menghadirkan nilai inti perayaan agung. Kelahiran Sang Juru Selamat sekaligus menantikan kedatangan-Nya yang kedua dalam kemuliaan keagungan.
Padang Efrata di bentangan gurun Yudea menjadi saksi bisu peristiwa di sekitar misteri inkarnasi Sang Sabda. Derap langkah kaki diiringi semangat nasionalisme yang tinggi menjadi harapan dan kekuatan semua orang bergegas kembali ke negeri asal mereka masing-masing.
Mereka memenuhi titah Sang Raja, Kaisar Agustus, untuk mengikuti cacah jiwa di tanah asal mereka. Orang pun berbondong-bondong “mudik” ke tanah leluhur mereka. Di sana mereka bersua dengan sanak saudara sekaligus memenuhi amanat sang raja masa itu. Peristiwa historis akan kemanusiaan menjadi locus misteri inkarnasi yang Mahakuasa menjumpai manusia.
Lahirlah Sang Mesias yang telah dinubuatkan oleh para nabi dan dinantikan dengan penuh harapan oleh segenap insan beriman. Dia hadir dalam kesederhanaan, kesunyian malam, dan kehampaan seorang anak manusia. Tanpa ingar bingar dan kemeriahan, Dia hadir menyapa kemanusiaan dalam totalitas dan pemberiaan diri yang sempurna.
Peristiwa masa lalu dalam terminologi adventus – kedatangan yang dinantikan – menjadi momentum perayaan iman setiap tahun. Perayaan itu sekaligus menjadi harapan yang menggemakan parousia akan kedatangan-Nya sebagai Hakim Yang Agung.
Kemanusiaan Mulia
Yesus lahir dalam keterbatasan kemanusiaan di tanah Betlehem dalam sebuah kandang domba yang sunyi. Namun di surga yang mulia bala malaikat mengumandangkan kidung kemuliaan dengan berseru “Gloria in altissimi Deo et in terra pax hominibus bonae voluntatis” (Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya).