English English Indonesian Indonesian
oleh

Waspada Gunung Es HIV/AIDS di Sulsel

Oleh: dr. Airah Amir*

Kondisi pergaulan bebas remaja di berbagai daerah di Indonesia meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Termasuk perilaku berganti-ganti pasangan.

Kita baru saja memperingati Hari HIV/AIDS Dunia. Tepatnya sepekan lalu, 1 Desember. Seperti gunung es, begitulah fakta penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia. Kasus di permukaan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya. Angkanya jauh lebih besar dan kian meresahkan, sebab meningkatnya pergaulan bebas yang menjadi faktor risiko utama penularan.

HIV yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menargetkan dan menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus itu melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit. Pada tahap akhir infeksi, dapat menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).

Di Sulawesi Selatan, data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar sejak 2005 hingga Mei 2023 menunjukkan tren peningkatan setiap tahun. Jumlah kasus tertinggi mencapai 2.069 kasus pada 2022. Itu menunjukkan bahwa perkembangan kasus HIV/AIDS di Sulsel masih cukup tinggi. Dari data yang sama diperoleh cakupan kasus HIV/AIDS menurut golongan usia banyak terjadi pada kategori usia 25-49 tahun, yakni 57 persen.

Kategori usia 15-24 tahun di angka 35 persen. Faktor risiko tertinggi di Sulsel sejak 2005 hingga 2023 adalah “lelaki seks lelaki” dan pada Januari-Mei 2023 masih menempatkan “lelaki seks lelaki” menjadi faktor risiko penularan tertinggi dengan kasus terbanyak yaitu 384 kasus.

Seks Menyimpang

HIV/AIDS merupakan penyakit yang penularan utamanya melalui kontak seksual. Baik hubungan berbeda jenis, maupun sesama jenis. Kondisi pergaulan bebas pada remaja di berbagai daerah di Indonesia meningkatkan risiko penularan. Termasuk perilaku berganti-ganti pasangan. Juga orang dengan penyakit infeksi menular seksual lainnya, seperti herpes, sifilis, dan gonore juga berisiko terinfeksi HIV tersebab oleh adanya luka terbuka pada daerah kelamin.

Malangnya, deteksi rendah pada kasus baru HIV/AIDS di Indonesia masih menjadi masalah utama. Kemenkes pada Agustus 2022 menyebutkan dari target 97 ribu kasus terdeteksi hanya sekitar 13 ribu yang ditemukan. Ini berarti masih ada kasus baru yang belum ditemukan dan berdampak pada rantai penularan yang terus menerus terjadi di masyarakat jika kasus yang belum terdeteksi itu melakukan kontak seksual dengan orang lain.

Menarik untuk membahas penyebab dari meningkatnya kasus HIV/AIDS ini. Apalagi, kasus terbanyak ditemukan pada usia produktif. Bahkan remaja dan anak-anak juga tak luput dari infeksi ini. Situasi ini menjadi ancaman serius bagi generasi muda.

Upaya memutus penularan kasus HIV/AIDS tak sekadar dengan memberikan edukasi pada generasi muda yang dinilai belum memiliki pemahaman yang cukup tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Sehingga penting bagi kita untuk menilisik penyebab kasus HIV/AIDS ini dari akar masalahnya, sebab secara data penyumbang kasus HIV/AIDS justru didominasi akibat perilaku pergaulan bebas dan perilaku menyimpang.

Hal yang sejalan dengan kondisi saat ini, kebebasan berperilaku dijunjung tinggi atas nama kebebasan berpendapat dan berperilaku. Kementerian Kesehatan mengungkapkan sejak 2010 hingga 2022 tercatat ada 12.553 anak yang terinfeksi HIV. Anak kategori usia 15 hingga 19 tahun merupakan kelompok yang paling banyak terinfeksi HIV.

Sedangkan anak kategori usia 0 hingga 4 tahun merupakan kelompok yang paling menunjukkan peningkatan kasus paling tinggi dibandingkan kelompok usia 5-14 tahun dan 15-19 tahun. Fakta ini menunjukkan anak usia 0-4 tahun menjadi korban perilaku pergaulan bebas orang dewasa yang transmisinya terjadi dari ibu hamil positif HIV kepada bayinya. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan, dan atau selama menyusui.

Edukasi-Kesadaran

Data-data mengkhawatirkan itu perlu disikapi sungguh-sungguh. Semua pihak harus ikut mengatasi masalah ini. Pertama, individu yang beriman akan meninggalkan perbuatan dosa termasuk perzinaan dan menghindari perilaku seks menyimpang. Kedua, masyarakat harus turut serta dalam meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS dengan melakukan kontrol terhadap keimanan individu.

Ketiga, negara harus memperbanyak edukasi kepada masyarakat tentang bahaya pergaulan bebas dan perilaku menyimpang. Lebih jauh, negara harus berani menutup akses pergaulan bebas seperti prostitusi, sebab tidak dapat dimungkiri penyakit menular seksual justru banyak timbul dari praktik prostitusi.

Demikianlah, solusi gunung es penderita HIV/AIDS tak hanya dengan membangun fasilitas layanan HIV. Tak sekadar pula meningkatkan anggaran demi memudahkan produksi obat-obatan. Yang tak kalah penting adalah menerapkan sistem pergaulan yang menjamin kehidupan berada dalam tataran yang bersih dan jauh dari kerusakan.

Tindakan preventif tentu lebih utama. Sistem Islam yang dilandaskan pada keimanan memiliki aturan yang bersifat preventif yang mampu mencegah terjadinya perilaku pergaulan bebas dan perilaku menyimpang yang menjadi musabab transmisi HIV/AIDS yang dengan sistem inilah gunung es HIV/AIDS akan berakhir. Wallahualam. (*)

*Penulis merupakan Dokter di RSUD Kota Makassar

News Feed