English English Indonesian Indonesian
oleh

Kontekstualisasi Pemikiran Mattulada

Oleh M. Nawir

Tulisan ini merujuk pada konteks Bedah Buku: Mattulada dari Pejuang hingga Ilmuwan, 5 Desember 2023 di Aula Mattulada dalam rangkaian Dies Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Budaya Unhas. Para pembicara/pembedah buku yang hadir adalah Prof. Dr. Muh. Darwis, M.S, Ketua Senat Guru Besar FIB Unhas; Drs. Alwy Rachman, Dipl.TEFL, sosiolinguist FIB Unhas; dan saya sendiri, alumni FIB Unhas 1994. Diskusi dimoderatori oleh Dr. Ilham, SS.M.Hum, dosen prodi Ilmu Sejarah.

Buku Mattulada dari Pejuang hingga Ilmuwan setebal 168 halaman tersebut ditulis oleh Dr. Muh. Dahlan Abubakar, M.Hum, diterbitkan oleh Kompas Media Nusantara. Buku tersebut memuat catatan (reportase) kak Dahlan perihal Asal dan Kelahiran, Pendidikan dan Perjuangan, serta Pengabdian dan Gagasan Pemikiran Mattulada hingga dekade tahun 2000-an. Layaknya sebuah catatan reportase, buku ini mengutamakan kesaksian penulis berdasarkan catatan pribadi, kebanyakan dari sumber pemberitaan Harian Kompas sejak tahun 1970-an.

Membaca beberapa bagian dalam buku tersebut, saya penasaran; apa pesan yang disisipkan penulis dalam bukunya itu; apa relevansinya, dan bagaimana kekinian atau kontekstualitas perjuangan dan pemikiran Mattulada di era revolusi industri 4.0. Sayang, tidak cukup waktu untuk membahas semuanya. Atas keterbatasan itu saya menulis catatan, semacam kesaksian seorang yunior atas percakapan para senior dan profesor.

Mattulada wafat di Makassar dua puluh tiga tahun silam, tepatnya 12 Oktober 2000 dalam usia 72 tahun. Pak Mat, demikian kolega dan murid menyapa almarhum, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang. Peristiwa pemakaman itu menegaskan sosok Mattulada yang jarang diketahui generasi masa kini – sebagaimana dikemukakan kak Dahlan – adalah pejuang sekaligus ilmuwan. Serta merta narasi “kepahlawanan” Mattulada menyimpan konteks/latar sejarah kebangsaan, antara lain sebagai anggota Tentara Pelajar 1945-1950 berpangkat letnan (hal. 153), dan pelopor gagasan federalisme (Keadilan vs Negara Federal, hal. 133), yang saat ini kita alami sebagai era otonomi daerah pasca reformasi 1998.

Saya memahami reportase Kak Dahlan sebagai upaya kontekstualisasi jiwa (etos) kejuangan dan keilmuan Mattulada bagi generasi masa kini. Saya sependapat bahwa sosok Mattulada sebagai pejuang dan sebagai ilmuwan; ibarat dua sisi selembar kertas timbal balik karena kedua hal itu melekat sepanjang karir almarhum. Semisal kritik Mattulada terhadap rezim “Negara Pejabat” (hal. 116) masa pemerintahan Orde Baru (Pemilu 1977); suatu pendapat yang tidak lazim tetapi dipahami sebagai peringatan seorang intelektual (ilmuwan)–bukan sebagai ‘demonstran’–agar rezim Orba mencegah pemerintahan RI dari kepemimpinan despotik dan otoriter. Kritik ini kemudian benar, terbukti “pejabat-penguasa” Orba runtuh dalam momentum Reformasi 1998, dua puluh tahun kemudian. (reformasi itu ular)

Profesor Darwis mengungkap kepribadian seorang pemimpin diukur dari sejauh mana dia mewujudkan Siriq (harga diri) dan Lempuq (kejujuran). Kedua nilai dasar ini merupakan landasan etis dan moralitas yang bersumber dari kesadaran pada nilai ketuhanan (tauhid), yang kemudian mengontrol kepemimpinan politik orang Bugis. Terhadap hal ini Alwy Rachman melengkapi pendapat Prof. Darwis bahwa moralitas orang Bugis bersifat resiprokal, saling-melengkapi dan mempengaruhi, bukan logika “oposisi-biner” (saling menegasi, mengingkari). Semisal Siriq berpasangan dengan Pesse/Pacce (empati), Lempuq berpasangan dengan Getteng (integritas). Siriq tidak bertentangan dengan Getteng, sebagaimana Pesse dapat berpasangan dengan Lempuq. Penggunaan Siriq secara monolitik (sepihak) berisiko pada terbentuknya mentalitas pemimpin otoriter. Oleh karena itu seorang pemimpin akan sanggup menegakkan harga dirinya karena didasari oleh empati (keberpihakan) yang mendalam pada persoalan kemanusiaan (keadilan).

Ada yang luput dari telaah kedua senior di atas. Menurut saya, Mattulada mengubah konsep kepemimpinan orang Bugis dari latar agraris (feodal) ke corak maritim (egaliter). Dalam “Kapitan Laut”, Konsep Kepemimpinan Sulsel (hal. 141), kak Dahlan mengartikulasi gaya kapitan laut dalam konteks Pilgub pasca kepemimpinan Prof. H. Achmad Amiruddin. Bagi Mattulada “pola kepemimpinan kapitan laut pada asasnya yang terdalam, bersifat kerakyatan dan fungsionalistik” (Kompas, 1993). Gayung bersambut, etos kepemimpinan Kapitan Laut masyarakat kawasan timur Indonesia diwacanakan Ignas Kleden sebagai Kapitan Perahu dalam suatu diskusi di Harian Tribun Timur (9 Maret 2012). Konsep kapitan perahu juga dianalisis Kleden dalam Imajinasi Kebudayaan, Kompilasi Pidato Kebudayaan DKJ 1998-2913 (hal. 62-63). 

Tidak banyak tokoh Sulsel yang memiliki talenta sekompleks Mattulada. Dalam pandangan Alwy Rachman, sosok Mattulada adalah “manusia multidimensi”, satu di antara sedikit generasi emas orang Sulawesi Selatan. Sebagaimana ditulis oleh Dahlan Abubakar, pada satu sisi, ketokohan Mattulada dibentuk oleh dan berperan sebagai aktor dalam perubahan politik dari masa Orde Lama, masa Orde Baru hingga masa Reformasi sebagai aktivis pergerakan sekaligus intelektual. Pada sisi lain Mattulada memimpin organisasi pembelajaran sebagai kepala sekolah, dekan, rektor, dan pada saat yang sama, beliau memproduksi pengetahuan sebagai guru, dosen, peneliti, budayawan, dan akademisi. Buku disertasi Latoa merupakan karya terbaik Mattulada sebagai ilmuwan sekelas Koentjaraningrat (Orang Kedua Doktor Antropologi, hal. 83).

Bagi saya pembelajaran yang kontekstual dari pemikiran Mattulada terutama pada tulisan dan buku yang membahas Manusia dan Lingkungan Hidup (1997). Bagian ini melengkapi kekurangan catatan kaki Dahlan dalam bukunya ini. Pertama, perhatian Mattulada pada desa (wanua) sebagai entitas budaya nusantara. Alwy Rachman mensinyalir masih banyak entitas budaya, khususnya bahasa daerah yang terisolasi dari republik. Kearifan lokal sekian lama menopang keberadaan republik, tetapi akibat keterisolasiannya berpotensi menjadi “local criminal”, semisal menguatnya mentalitas sektarian dan otoritarian berbasis lokalitas. Tanggapan ini sejalan dengan permasalahan pertama dari tujuh tantangan kebudayaan dalam dokumen Strategi Kebudayaan Nasional 2018, yakni pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan sendi-sendi budaya masyarakat

Kedua, tema ekologi budaya/manusia merupakan fokus pengkajian Mattulada pada dekade 1990-an. Perhatiannya merupakan kritik atas pertumbuhan ekonomi dan industri ekstraktif yang mengubah keseimbangan ekosistem. Manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya semakin eksploitatif, mengorbankan pertimbangan etika dalam kelestarian lingkungan hidup dan ekosistem berbagai kelompok budaya. Wilayah Indonesia Bagian Timur menjadi lokus pembangunan industri ekstraktif. Persoalan ini pun menjadi tantangan kebudayaan nasional. 

Ketiga, dalam sosok dan pemikiran Mattulada yang “multidimensi” dan transdisiplin itu, tersirat prinsip Merdeka Belajar yang sesungguhnya. (Panjang Umur Ilmu Budaya).#

News Feed