Oleh: Muhammad Kasman, S.E., M.Si., CFrA*
Asas netralitas bermakna bahwa setiap ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun. Juga tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Beberapa waktu lalu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merilis provinsi dengan Indeks Kerawanan Pemilu Tertinggi. Dalam rilis tersebut, terdapat 22 provinsi dengan potensi kerawanan netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada Pemilu 2024. Dari jumlah itu, setidaknya ada 10 provinsi dengan kerawanan netralitas ASN tinggi yang perlu mendapatkan perhatian, Sulsel salah satu di antaranya.
Maluku Utara menduduki posisi pertama dengan skor maksimal, 100 poin. Disusul Sulawesi Utara (55,87 poin), Banten (22,98 poin), Sulsel (21,93 poin), Nusa Tenggara Timur (9,4 poin), Kalimantan Timur (6,01 poin), Jawa Barat (5,48 poin), Sumatera Barat (4,96 poin), serta Gorontalo dan Lampung mendapatkan skor yang sama: 3,9 poin.
Menurut Bawaslu, pelanggaran netralitas ASN termasuk dalam salah satu dari empat isu kerawanan pemilihan umum (pemilu). Dalam konteks Sulsel, dengan poin 21,93 dan berada di urutan keempat secara nasional, ini patut mendapatkan atensi dari pemangku kepentingan, baik Badan Kepegawaian Daerah (BKD), dan terutama Inspektorat Daerah yang menjadi ujung tombak pengawasan internal pemerintah.
Seakan membenarkan rilis Bawaslu soal tingginya potensi pelanggaran netralitas ASN di Sulsel, seorang camat di Parepare dilaporkan ke Bawaslu karena diduga memberikan dukungan kepada salah seorang caleg DPRD Parepare. Bawaslu Makassar juga sementara menyelidiki dugaan keterlibatan ASN Pemprov Sulsel dalam acara jalan sehat bersama salah satu capres di Makassar (25/11/2023).
Sayang, meski Pasal 93 huruf F UU No. 7/2017 tentang Pemilu sebagaimana telah diubah melalui UU No. 7/2023, memberi kewenangan kepada Bawaslu untuk mengawasi netralitas ASN. Bawaslu tidak diberi kewenangan memberi sanksi, melainkan hanya meneruskan temuan dan laporan kepada instansi lain yang berwenang, terutama ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Asas Netralitas
UU No. 20/2023 tentang ASN dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah netralitas. Asas netralitas ini bermakna, setiap ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Dalam konteks pelaksanaan pemilu, larangan berpihak bagi ASN diatur lebih detail dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 94/2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Seorang PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala daerah, calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD, dengan ancaman hukuman disiplin sedang sampai berat.
Larangan tersebut mencakup ikut kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, mengerahkan PNS lain, atau menggunakan fasilitas negara. Lebih dari itu, PNS juga dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan serta mengadakan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Apalagi memberikan surat dukungan disertai fotokopi KTP atau Surat Keterangan Tanda Penduduk. Bahkan, Surat Keputusan Besar (SKB) No. 2/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilu, mengatur sampai pada larangan membuat posting, comment, share, like, follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu, termasuk mengunggah pada media sosial/media lain yang bisa diakses publik.
Keseriusan pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan netralitas ASN dalam pemilu didasari oleh fakta masih tingginya pelanggaran netralitas ini. Laporan Kinerja BKN Tahun 2020 mengungkap, 1.005 ASN yang terbukti melanggar netralitas pada Pilkada Serentak 2020. Tak jauh berbeda, KASN mencatat ada 1.678 pelanggaran netralitas ASN pada periode 2020—2022 dalam berbagai bentuk, yang terjadi di lingkungan birokrasi dan ASN kementerian/lembaga/daerah.
Ikhtiar Mengawasi
Tingginya pelanggaran netralitas ASN selama ini merupakan tantangan bagi pembina dan pengawasan untuk meminimalisasi jumlah tersebut melalui berbagai upaya pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum (terutama sanksi administratif). Itu dilakukan secara transparansi dan akuntabel atas pelanggaran netralitas ASN, terutama sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Salah satu domain pelanggaran netralitas ASN yang paling sering dilakukan adalah membuat unggahan atau posting-an (termasuk comment, share, like, dan follow) di media sosial. Data KASN menunjukkan bahwa pada Pilkada Serentak 2020, pelanggaran kampanye di media sosial mencapai 30,4 persen dari seluruh pelanggaran netrallitas ASN yang terjadi pada kurun waktu yang sama.
Fakta ini, membutuhkan langkah pengawasan yang tidak biasa, senergitas dengan saling berbagi informasi dan data antara lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pelanggaran netralitas ASN mutlak diperlukan. Sebagai langkah nyata, KASN menggandeng Dirjen Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) terkait pengawasan netralitas ASN, khususnya di media sosial.
Bawaslu bersama KASN juga perlu membangun sistem penanganan pelanggaran netralitas ASN yang terintegrasi, bersinergi dengan BKN, Kemenpan-RB, Kemendagri, LPSK, hingga pemerintah daerah, khususnya Inspektorat Daerah. Ini agar rekomendasi pemberian sanksi yang dikeluarkan terhadap ASN pelaku pelanggaran, dapat dipatuhi dan dilaksanakan demi tegaknya integritas ASN dan mewujudkan pemilu yang demokratis.
Selain itu, dibutuhkan whistle blowing system yang efektif dengan mekanisme proteksi yang kuat bagi pelapor dari internal ASN, serta melakukan sosialisasi luas kepada berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang tentang perlunya mengawasi implementasi neralitas ASN, lalu memberi mereka kemudahan akses untuk melapor dengan keamanan dan perlindungan hukum yang jelas.
Terakhir, tak kalah pentingnya adalah penegakan etika politik oleh para penyelenggara negara dan pejabat publik pelanggaran yang merugikan kepentingan publik, termasuk pelanggaran netralitas ASN bisa diminimalisasi. Etika dimaksud seperti kesadaran untuk tidak melibatkan ASN dalam berbagai keputusan dan/atau tindakan serta mengadakan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan calon tertentu. (*)
*Penulis merupakan Auditor Muda Bidang Pencegahan dan Investigasi Inspektorat Sulsel