Oleh: Ipa Bahya*
Novel “Lontara” karya Windy Joana menampilkan sampul laki-laki dan perempuan menggunakan baju bodo khas Bugis-Makassar lengkap dengan aksesorinya. Novel yang diterbitkan pada April 2023 itu menyita perhatian banyak kalangan, khususnya pegiat sastra. Penulisnya sangat lihai dalam menarasikan cerita demi cerita.
Novel “Lontara” diawali dengan penyampain: “Cerita ini hanya fiksi belaka serta pengembangan dari sejarah yang sudah ada. Banyak perbedaan cerita asli dan itu semua hanya murni imajinasi penulis yang dilatarbelakangi sejarah kebudayaan kerajaan Bugis-Makassar”. Kemudian prolog yang menambah wawasan terkait lontara: daun lontar sebagai wadah untuk menulis bagi orang-orang zaman dahulu. Suatu keistimewaan sureq “La Galigo” yang mampu mengalahkan epos Mahabharata dari segi panjang, dengan jumlah 300.000 baris teks.
Sureq “La Galigo” memuat banyak tulisan dalam huruf lontara mengenai tata cara upacara adat seperti perayaan besar pesta panen dan pernikahan. Berisi ribuan puisi indah, teks-teks sejarah, dan mitologi tentang manusia yang diutus dari langit untuk menghentikan kekacauan di dunia bawah, mengisi kekosongan kepemimpinan atau bahkan untuk melahirkan calon raja masa depan.
Kehadiran To Manurung (orang yang diturunkan dari langit) sebagai utusan Dewata UsewaE, tidak diketahui asal-usulnya, tidak diketahui sanak keluarganya, dan tidak diketahui datang dan hilangnya. Dalam penceritaan novel ini tidak terdapat daftar isi, namun novel ini menggunakan alur campuran. Set waktu pada masa 15 Masehi dan 2022 (tahun lalu).
Manusia Pertama
Novel ini mengisahkan tentang To Manurung yang diutus oleh Dewata UsewaE pada wilayah kerajaan Ri Ampulung yang kini menjadi kerajaan Wajo. Kerajaan Ri Ampulung dipimpin oleh raja yang bernama Ri Ampulung (nama kerajaan diambil dari nama raja). Raja Ri Ampulung memiliki empat orang kepercayaan yang masing-masing memimpin empat wanua yang ada di wilayah kerajaan Ri Ampulung. Keempat orang kepercayaan raja bernama Makkarasseng, Tamparang, Labbiring, dan Palawa Rukka.
Awal kehadiran To Manurung di atas batu besar menggunakan pakaian serba kuning diketahui oleh keempat orang kepercayaan raja dan rakyat di sekitar lokasi, namun pada saat To Manurung menyampaikan mandat dari Dewata UsewaE’, keempat orang kepercayaan raja tersebut menolak kehadirannya. Mereka merasa bahwa wilayah yang dipimpin oleh rajanya tidak mengalami kerusakan atau bencana, lalu To Manurung diasingkan di dalam saoraja (istana) sehingga tidak ada desas-desus lagi yang berkaitan dengan To Manurung.
Pada 2022, diceritakan pertemuan antara Mabello Cantika Kaliangga dan Sailendra yang tak lain merupakan reinkarnasi dari To Manurung dan Raja Ri Ampulung di sebuah gedung Lembaga Ilmu Bahasa dan Antropologi Kerajaan Belanda di Universitas Leiden.
Mabello dan Sailendra merupakan tim peneliti naskah “La Galigo” dari Indonesia bersama tiga teman lainnya untuk menerjemahkan naskah dan melakukan digitalisasi. Pertemuan keduanya membuat mereka sangat dekat dan mulai mengingat serta mengumpulkan puing-puing kisah yang terjadi pada masa 15 Masehi.
Mereka dihadirkan kembali pada masa 2022 untuk menyelesaikan permasalahan yang belum kelar pada masa 15 Masehi. Setelah puing-puing kisah ditemukan, ternyata Mabello ingin membumi atau kembali ke langit.
Kisah Purba
Mabello telah hidup sejak 15 Masehi sampai 2022. Mabello tidak pernah meninggal karena diutus untuk memperbaiki tatanan kehidupan di dunia bawah (bumi). Pada akhirnya Mabello menemukan keseluruhan kisah, ia menunggu cinta sejatinya sejak 15 Masehi yang ternyata cinta sejatinya adalah Pallawa Rukka, salah satu orang kepercayaan raja yang mencintainya sejak dahulu.
Mabello dan Pallawa Rukka menikah dan mendapatkan buah hati bernama Membumi Kalingga. Setelah melahirkan Membumi Kalingga, Mabello pun meninggal dan kembali ke langit. Sedangkan anaknya tumbuh menjadi pemimpin di dunia bawah.
Kisah To Manurung yang diberi nama Mabello oleh Raja Ri Ampulung merepresentasikan tidak adanya sistem To Manurung pada kerajaan Wajo yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Sulawesi Selatan, seperti Kerajaan Luwu (kerajaan pertama yang mengenal sistem To Manurung), Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan Kerajaan Gowa-Tallo.
Kisah To Manurung dalam novel “Lontara” ini hadir sebagai dekontruksi sureq “La Galigo”, sebuah kritik terhadap wilayah Kerajaan Wajo yang tidak memberlakukan sistem To Manurung sebagai pemimpin. Wacana yang dihadirkan oleh penulis bahwa Kerajaan Wajo juga membutuhkan pemimpin seperti To Manurung.
Seharusnya pada masa 15 Masehi sistem To Manurung harus ada untuk memperbaiki tatanan kehidupan pada masyarakat Kerajaan Wajo, serta menerima kehadiran To Manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya menginginkan dipimpin oleh To Manurung. Novel “Lontara” juga masih sangat kental dengan kekuasaan patriarki yang terjadi terhadap To Manurung yang merupakan kaum minoritas, terpinggirkan, dan dirasingkan. (*)
*Penulis merupakan Mahasiswi Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), UGM