OLEH: Mohammad Ikhwan M., M. Sn, Dosen ISBI SULSEL
Sampai hari ini kita masih merasakan euforia hari istimewa dunia pendidikan, yaitu Hari Guru. Saya akan sedikit bercerita mengenai pengalaman dan menanggapi hari spesial nasional ini. Beberapa hari lalu saya dan tim dosen ISBI SULSEL bertolak ke Kabupaten Bantaeng dalam rangka mengapresiasi kebermanfaatan teknologi dalam aktifitas guru dan siswa yang merespon program P5 (Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Pada momen ini kami disuguhkan sebuah karya epik dari siswa-siswi SMK Darul Ulum Layoa, Bantaeng. Keberadaannya yang tergolong pelosok, berbatasan antara Kab. Bantaeng dan Bulukumba tidak menghalangi kemandirian mereka untuk berkarya audio-visual. Hal ini menurutku sebuah pembuktian dan kado spesial dalam merespon Hari Guru.
Mengapa sih kita perlu merespon Hari Guru? Tentu secara langsung kita berargumen bahwa Guru merupakan sosok fundamental dan sangat berperan besar terhadap proses pembelajaran di kehidupan kita. Secara basis kultural, di tanah Makassar dikenal banyak adat dan adab, misalnya Tabe-Mappatabe yang merupakan tradisi sopan santun; siri na pacce sebuah upaya mempertahankan harga diri, seluruh nilai kultural ini jelas mengandung nilai akhlak dan moral sosial, namun, realitanya secara implementasi terkadang diabaikan pada konteks tertentu. Sepertinya kita perlu banyak belajar lagi mengenai falsafah dan implementasi tradisi tersebut sehingga kita sebagai warga Makassar tidak dikatakan manusia yang tak mempunyai guru, padahal leluhur sudah menanamkan hal itu sebagai landasan rukun hidup bersama. Selain itu, Guru tidak hanya dimaknai sebatas person saja, tapi lebih dari itu, di manapun kita mendapatkan pengetahuan dan pembelajaran itu dapat dikatakan ruang Guru, seperti yang dilakukan siswa-siswi SMK Darul Ulum Layoa-Bantaeng ini, saya belajar banyak darinya.