Oleh : Muliyadi Hamid
Akhirnya Pemerintah Provinsi SulSel menetapkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp. 3.434.298 per bulan. Naik sebesar 1,45% dari UMP tahun lalu yakni Rp. 3.385.145 per bulan. Kenaikan 1,45% tersebut khusus bagi pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Besaran UMP inipun dikecualikan bagi kalangan usaha mikro dan kecil (detik Sulsel,21/11).
Keputusan Pj. Gubernur Sulsel tersebut tampaknya sudah melalui pertimbangan matang dengan memperhatikan berbagai aspirasi para pihak. Hanya saja besaran kenaikan tersebut jauh dibawah harapan buruh, sebagaimana disuarakan beberapa organisasi pekerja dan buruh dalam aksi unjuk rasa didepan kantor Gubernur Sulsel sehari sebelumnya. Mereka umumnya menuntut kenaikan rata-rata 7%. Alasannya tentu karena menurunnya daya beli pekerja akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok. Sementara pihak pengusaha menilai kenaikan sebesar 7% bisa berdampak melemahnya daya saing bisnis yang masih merasakan dampak pandemic covid-19 hingga saat ini.
Bagi pemerintah Provinsi kenyataan ini bak memakan buah simalakama. Satu sisi bisa memahami kondisi buruh yang daya belinya menurun akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Sementara di sisi lain, daya saing bisnis juga penting diperhatikan untuk menjamin pertumbuhan produksi yang sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian daerah.
Lepas dari memuaskan atau tidak keputusan UMP ini yang paling penting sesungguhnya adalah saling pengertian kedua belah pihak. Antara pekerja dan pengusaha. Bagi pengusaha yang paling diharapkan pada pekerjanya adalah etos dan produktivitas kerja yang tinggi. Sebab, dengan produktivitas yang tinggi dari kaum buruh, akan menyumbang efisiensi tinggi bagi perusahaan. Dengan demikian, maka daya saing bisnis akan meningkat. Jika ini dicapai, maka hendaknya pengusaha tidak ragu memberikan insentif dan kompensasi yang tinggi. Bahkan melampuai jauh di atas UMP.
Bagi pekerja umumnya mengharapkan kestabilan dan keamanan kerja. Lingkungan kerja yang baik dengan berbagai fasilitas yang memungkinkan mereka optimal dalam memacu produktivitas, termasuk aspek kesehatan kerja mutlak diperhatikan oleh pengusaha. Kondisi ini akan melahirkan hubungan industrial yang saling membutuhkan. Dengan demikian, UMP hanya akan menjadi instrumen untuk menata batas minimum kompensasi yang dibolehkan tidak menjadi landasan pengusaha untuk membayar kompensasi pekerjanya meski kemampuan perusahaan jauh melebihi UMP tersebut. Jika demikian, maka iklim investasi dan bisnis di daerah ini akan terus bertumbuh sesuai harapan semua pihak.