Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir positif dan mengabaikan emosi negatif, dan ini dianggap sebagai jalan keluar yang tepat. Toxic positivity mempromosikan kebahagiaan secara berlebihan, sementara emosi negatif terabaikan. Toxic positivity sangat common terjadi, dan mungkin hampir setiap orang pernah mengalaminya. Hal ini dapat terkait dengan cara pandang terhadap sesuatu dalam hidup kita atau respons orang lain terhadap situasi yang kita alami.
Misalnya, ketika seseorang ditangkap karena korupsi. Orang di sekitarnya (istri, anak, menantu, cucu, anggota keluarga lain, teman), terutama mereka yang menikmati hasil korupsinya cenderung untuk menghiburnya dengan kata-kata/frasa positif, seperti “ini rekayasa politik”; “tuduhan korupsi itu fitnah”; “bapak dizolimi”, dll., meskipun mereka mahfum bahwa korupsi itu memang terjadi. Walaupun kata-kata/frasa ini bertujuan “positif”, namun yang diekspresikan adalah hal yang sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa ia sedang baik-baik saja dan ketika di penjara, ia akan dapat pulang ke rumah kapan saja, bahkan ia dapat hidup seperti biasa, ngafe, jalan-jalan, dll.
Setiap ada yang datang menengok, si istri berusaha meyakinkan kepada mereka, bahwa suaminya tidak bersalah (padahal suaminya sudah di penjara), dan dia sendiri adalah “pemicu” suami melakukan korupsi, “penikmat dan penadah” hasil korupsi suaminya. Semakin dijelaskan, semakin meyakinkan bahwa suaminya korupsi. Bagi sang koruptor, meskipun meyakini bahwa dirinya telah melakukan korupsi, ia berusaha meyakinkan dirinya dan keluarganya bahwa ia “korban politik”; ia tidak mumpuni berpolitik sehingga ia mudah dipolitiki atau kasusnya dipolitisasi. Politisasi kasus bisa saja terjadi, tapi jika seseorang tidak terbukti korupsi, maka ia tidak akan ditersangkakan. Politik adalah politik, status tersangka adalah soal pelanggaran hukum. Ketimbang memandang bahwa korupsi yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak benar dan ia harus menjalani hukuman; diri, keluarga dan teman-temannya berusaha untuk meyakinkan bahwa ia hanya “korban politik.”
Simak hubungan Jokowi dan Megawati. Keduanya sebenarnya berada dalam toxic relationship sejak lama. Namun, satu sama lain saling melontar toxic positivity seakan-akan keduanya baik-baik saja. Di satu sisi, sebagai presiden, Jokowi ingin diperlakukan sebagai pemimpin negara. Di sisi lain, Jokowi di mata Megawati adalah “petugas partai” yang harus tunduk kepada ketua umumnya. Namun, baik Jokowi maupun Megawati, keduanya selalu berusaha untuk menunjukkan toxic positivity-nya melalui kata-kata/frasa, tapi bahasa tubuh keduanya tidak menunjukkan itu. Dalam teori komunikasi, bahasa tubuh lebih banyak meninggalkan pesan ketimbang bahasa lisan. Pencalonan Gibran, kader PDIP, sebagai cawapres dari partai lain, maka seharusnya Gibran dipecat dari PDIP. Pidato-pidato Megawati menunjukkan kemurkaannya, namun pemecatan tak kunjung dilakukan hingga kini. Ada toxic di antara mereka.
Dalam kehidupan berparpol, ketua dan anggota cenderung memuja-muji partainya, seakan partai mereka adalah partai terbaik sejagad raya. Misalnya, dengan mengatakan: “kita partai yang pro-rakyat” (padahal mereka pro diri-sendiri); “katakan tidak pada korupsi” (padahal korupsi); korupsi harus diperangi (padahal berupaya agar tidak tersentuh hukum). Keluarga dan koleganya juga memuji-mujinya sebagai politisi hebat dan turut “menikmati” kehebatannya, seakan rakyat semua bodoh. Sekotor apapun seorang politisi, ia harus muncul sebagai orang bersih karena imej positif perlu ditampilkan, meski isinya penuh dengan toxic.
Meskipun kita mencoba untuk melihat sisi positif dari suatu masalah dan mengambil hikmah atasnya, namun mengakui dan mendengarkan emosi negatif juga sama pentingnya. Matahari saja tidak bersinar 24/7; demikian halnya manusia. Memenej emosi negatif yang datang dan pergi dapat membantu kita lebih memahami diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Mengabaikan emosi negatif justru mengganggu kesehatan mental karena disuburi oleh toxic. (*)