OLEH: Nasrullah, Alumni Unhas
Rempang dan Seruyan, dua daerah di negeri ibu pertiwi yang kaya raya. Meski begitu, rakyatnya dibikin terpinggir bahkan dengan lancang orang orang kuasa rencana mengusirnya dengan bahasa menipu bernama “relokasi”. Satu lagi, karena dikepung konsesi sawit, rakyat banyaknya pun bereaksi. Syukurnya, rakyat Melayu di Rempang. Batam, Kepulauan Riau, dan rakyat Dayak di Seruyan, Kalimantan Tengah, menolak tunduk terus menerus. ‘Jakarta’ pun kelimpungan, polisi diturunkan, bentrok tak terhindarkan, darah pun bercucuran. Yah, darah rakyat direpresi aparat polisi, yang gaji, senjata, hingga selongsong pelurunya dibeli dari uang rakyat.
Di Rempang, orang Melayu mau disingkirkan, bahasa Jakarta – nya, relokasi. Melayu menolak. Di Seruyan, orang Dayak menuntut kekayaan tanah mereka yang dipenuhi konsesi sawit. Perusahaan menolak, bentrok dengan polisi. Polisi berdiri di pihak perusahaan, sudah tahu alasannya kenapa. Di situ fulus lebih deras mengalir layaknya aliran panas minyak-minyak sawit ke pasar ekspor global. Ketimbang membela rakyat yang menuntut hak, polisi lebih senang ‘menemboki’ perusahaan sawit yang licin minyak di kilang – kilang produksinya.
Perusahaan “ditemboki” dengan tameng dan senjata, rakyat “ditembaki” dengan gas air mata dan peluru tajam. Di Rempang sama saja, polisi berdiri kokoh di pihak pemerintah pembela investor. Bahkan, Menterinya disebut “pantang menyerah” untuk “membujuk” rakyat untuk pindah. Itu setelah gagal pakai kekerasan untuk mengusir rakyat dari tanah leluhurnya demi para bohir investor yang dibelanya habis-habisan. Entah kenapa.
Di Rempang calon investor kaca dibela habis – habisan. Di Seruyan, konglomerat – perusahaan sawit habis ditemboki mati – matian. Polisi, pemerintah, tega tembaki rakyat Melayu dan Dayak demi temboki pengusaha dan pelabor. Inikah tanda – tanda bahwa negara hari ini berikut aparatnya, Jokowi sebagai presiden hingga Bahlil sebagai menterinya, dan Listiyo sebagai Kapolri berikut pion – pion aparatnya di lapangan adalah “kacung – kacung” konglomerat dan investor semata? Jika iya, sungguh memalukan pangkat dan jabatan mereka. Darah sudah bercucuran, air mata tak lagi deras menetes, tapi telah tumpah penuh erangan di tengah pekikan perjuangan.
Melayu di Sumatera, Dayak di Kalimantan, dua – duanya peradaban tua yang dikoyak – koyak sawit dan uang investasi. Pembangunan memakan korban rakyat kecil. Developmentalisme dibela habis Presiden, Menteri, Hingga Kapolri. Jokowi, Bahlil, sampai Listiyo tak bergeming. Tembak !!! Bujuk!!! Hajar !!! Rayu !!! Seolah segala cara ditempuh demi “mitos” pembangunan abad ke-21.
Represif dan koersif, persuasif dan dialogis hanyalah cara. Tujuannya adalah UUD: Ujung – Ujungnya Duit. Darah dan airmata rakyat bukan soal bagi kuasa ini. Melayu Sumatera, Dayak Kalimantan semua digilas habis demi fulus. Demi cuan, tak ada penghargaan kepada ”masyarakat tempatan” yang secara genealogis berpuluh hingga beratus tahun menjaga alam dan bumi tempat sawit – sawit itu ditanam dan pabrik – pabrik kaca itu mau dibangun. Kasar betul orang – orang Jakarta itu berperilaku di Rempang dan Seruyan, di Sumatera dan Kalimantan.
Investasi dan konsesi memang “mitos” pembangunan yang tak berkesudahan. Di dalamnya ada relokasi dan represi. Demi memuluskan niat, senjata dikokang lalu ditembakkan kepada rakyat yang boleh jadi dilihat sebagai pengacau dan penghalang fulus dan cuan. Padahal, rakyat Melayu dan Dayak, di Rempang dan Seruyan, juga manusia. Keduanya adalah rakyat Indonesia yang punya hak hidup dan hak sejahtera adil makmur sama dengan para pejabat dan aparat – aparat itu.
Kaca dan sawit adalah dua komoditi global di Rempang dan Seruyan. Ekspor kelasnya, dollar cuannya. Sumatera di Rempang, Batam. Kalimantan di Seruyan, Kalimantan Tengah. Tanah – tanah pusaka orang Melayu dan Dayak ini seolah tak bertuan. Diduduki perusahaan sawit dan hendak ditanami pabrik kaca. Aneh betul melihat lagak pejabat dan aparat yang ada. Seorang pengamat menyebutnya sebagai “badut – badut” yang tak lucu, malah menjengkelkan. Seorang aktivis malah menyebut si menteri sebagai “bahlul”.
“Badut” dan “bahlul” menjadi bahasa metafora dan sarkasme sebagai ekspresi amarah terhadap laku pejabat dan aparat yang seperti tak punya hati nurani dan jiwa pancasila di Rempang dan Seruyan. Sedihnya, yang dikata badut itu rupanya bersenjata dan mampu melayangkan nyawa. Badut – badut bersenjata itu tak segan kokang senjata dan tembakkan gas air mata hingga peluru pencabut nyawa. Badut lain yang gandrung investasi di Rempang rupanya berdasi pulak, sayangnya masih saja bahlul di mata rakyat. Badut bahlul bersenjata dan berdasi ini pandai nian bermain kata tapi tak segan juga kokang senjata.
Kejamnya, karena punya kuasa badut bahlul itu, rakyat Melayu dan rakyat Dayak tak segan pula ditembakinya. Sudah itu, karena gigih melawan, ingin pula dibujuk rayunya hingga diharap mau. Bagusnya, karena orang Melayu Rempang terus menolak dipinggirkan. Biar tak sama nasib mereka dengan jiran Melayu-nya di Singapura, seperti yang dicatat oleh Hikayat tulisan Munsyi Abdullah. Di Seruyan, darah sudah bercucuran, nyawa sudah melayang. Oh kejamnya badut – badut bahlul bersenjata dan berdasi itu. Seperti tak punya nurani lagi tak paham Pancasila, apatah lagi nilai dasar NKRI.
Ketika rakyat sudah berani bersikap, bahkan, ketika air mata dan darahnya kembali direlakan bercucuran, inikah pertanda bahwa zaman akan segera berganti?
Putrajaya, 7 Oktober 2023
UM’s view