English English Indonesian Indonesian
oleh

Insiden Tragis di Bangkal, WALHI: Represif Aparat Sebabkan Tiga Warga Kena Tembakan

FAJAR, MAKASSAR-Aparat kepolisian Polres Seruyan dan Polda Kalteng terlibat dalam insiden tragis di Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam rilis tertulisnya menyebutkan, mereka menembak warga yang tengah melakukan aksi damai menuntut haknya di PT. HMBP 1 (Best Agro International Group). Tindakan represif ini melibatkan penggunaan gas air mata dan peluru tajam, menyebabkan 3 orang warga terkena tembakan. Dari jumlah tersebut, 2 orang mengalami luka berat sementara 1 orang lainnya meninggal dunia di tempat kejadian.

Aksi yang dimulai sejak 16 September 2023 hingga 7 Oktober 2023 ini adalah upaya masyarakat Bangkal untuk memperjuangkan haknya agar perusahaan segera mengembalikan tanahnya berada di luar HGU. Penutupan akses jalan menuju perusahaan adalah puncak kemarahan masyarakat atas ketidak pedulian pihak perusahaan dan pemerintah atas tuntutan mereka. PT. HMBP telah beroperasi sejak tahun 2006, dengan mencaplok tanah masyarakat yang berada di luar HGU.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah mengingatkan pemerintah agar mendesak perusahaan untuk segera mengembalikan lahan masyarakat yang berada di luar HGU. WALHI juga memperingatkan kepolisian Daerah Kalimantan Tengah untuk menghindari kekerasan dalam mengamankan aksi demonstrasi di lapangan dan menarik aparat kepolisian dari lapangan untuk menghindari eskalasi yang lebih besar. Sayangnya, seruan ini telah diabaikan, dan tindakan kekerasan, bahkan penembakan terhadap masyarakat, terjadi. Ini adalah bukti konkret bagaimana negara dan perusahaan terlibat dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat serius.

WALHI sangat menyesalkan fakta bahwa aparat kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat malah menggunakan instrument kekerasan, termasuk gas air mata dan peluru tajam, dalam menangani aksi massa. Penggunaan gas air mata yang tidak mematuhi prosedur, bahkan dugaan penggunaan senjata api dengan peluru tajam dalam penanganan aksi massa, adalah kejahatan yang tidak bisa diabaikan. Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa secara tegas melarang anggota kepolisian membawa senjata tajam dan peluru tajam dalam pengamanan aksi massa. Sayangnya, aparat kepolisian seakan-akan menganggap diri mereka di atas hukum.

Dalam konteks konflik sumber daya alam seperti ini, aparat kepolisian seharusnya berupaya untuk memahami akar masalah dan mencari solusi yang adil. Tanah yang diperjuangkan oleh masyarakat tersebut berada di luar HGU perusahaan, sehingga perusahaan tidak memiliki hak legal atas tanah tersebut. Masyarakat dan masyarakat adat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memiliki hak mutlak atas tanah tersebut. Sebagaimana pasal 3 UUPA.

Negara harus segera mengambil tindakan tegas dalam menangani kejahatan kemanusiaan ini. Anggota kepolisian yang terlibat dalam kekerasan dan penembakan terhadap warga harus diadili, baik secara etika maupun pidana. Pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional harus menyelesaikan konflik agraria yang sudah berlarut-larut ini dengan memenuhi tuntutan masyarakat dan melakukan evaluasi mendalam terhadap PT. HMBP. Kejadian penembakan ini adalah akibat dari ketidakpedulian pemerintah terhadap tuntutan masyarakat dan pencaplokan tanah oleh perusahaan.

Dalam rangka mencapai keadilan yang sejati, kronologi perizinan PT. HMBP harus diperiksa secara cermat:

PT. HMBP mendapatkan izin lokasi berdasarkan Surat Keputusan (SK) No.500/48/Ek/2004 seluas 14.000 hektar yang ditandatangani oleh Bupati Seruyan. Akan tetapi, izin tersebut mencakup luas hanya 11.200 hektar izin lokasi (ILok) dan izin usaha perkebunan (IUP), sesuai dengan SK ILOK No.151 tahun 2005 dan SK IUP No.525/352/Ek/2006.

Areal izin perusahaan PT. HMBP juga berada dalam kawasan hutan dengan fungsi Hutan Produksi, dan hanya mendapatkan pelepasan kawasan hutan seluas 10.092 hektar dari Kementerian Kehutanan berdasarkan SK PKH No.189/Kpts-II/2000. Perusahaan juga telah mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) pada tahun 2006 berdasarkan SK HGU No.24/HGU/BPN/06 seluas 11.229,12 hektar.

Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah, Bayu Herinata mengatakan, kami menegaskan kembali, kejadian penembakan ini adalah konsekuensi dari lambannya penegakan hukum dan ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajibannya. Negara harus segera bertindak, memberikan keadilan bagi para korban, dan menghentikan kegagalan sistem yang berlarut-larut ini.

Uli Arta Siagian, Manajeer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional menjelaskan, kami mengajak semua pihak yang peduli terhadap keadilan dan hak asasi manusia untuk bersatu dalam menuntut perubahan dan memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak terulang di masa depan. Kebebasan dan hak masyarakat untuk mempertahankan tanah mereka adalah hak yang tak bisa dikompromikan.

Sementara Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Erlan Munaji, mengatakan pihaknya ingin memastikan insiden penembakan tersebut terlebih dahulu. (*/)

News Feed