FAJAR, JAKARTA– Pemerintah Indonesia meluncurkan bursa karbon di Main Hall Bursa Efek Indonesia, hari ini. Namun, langkah ini dipandang oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai sebuah perdagangan krisis yang tidak membantu mengatasi masalah emisi karbon. Perdagangan karbon sebenarnya melibatkan pemberian izin oleh negara kepada perusahaan dan negara industri untuk terus melepaskan emisi karbon dengan melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset.
Penyeimbangan karbon dapat terjadi dalam sektor yang sama, seperti sektor energi, atau antara sektor yang berbeda, seperti antara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan proyek restorasi ekosistem atau konservasi lainnya. Contohnya, jika satu PLTU melebihi kuota emisi, mereka dapat membeli kuota berlebih dari PLTU lain atau membeli kuota dari proyek konservasi di tempat lain. Namun, emisi tetap dilepaskan dalam jumlah besar.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, mengungkapkan bahwa perusahaan dapat terus merusak lingkungan di satu tempat dan mengompensasinya dengan menjalankan proyek konservasi di tempat lain.
“Sederhananya, yang dieksploitasi di Morowali, seperti pengambilan nikel, dibayarkan untuk dikonservasi di Papua. Ini berpotensi mengusir masyarakat adat dari wilayah adat mereka karena wilayah tersebut diberikan kepada korporasi dalam bentuk konsesi karbon,” ujarnya.
Bukan mengatasi krisis iklim, perdagangan karbon justru memperburuk masalah ini dan memperpanjang konflik serta pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hingga saat ini, sudah ada 16 izin konsesi restorasi ekosistem dengan total luas 624.012 hektare yang telah mengusir masyarakat adat dan komunitas lokal dari wilayah adat mereka.
Situasi ini akan semakin parah dengan rezim izin multiusaha kehutanan, di mana korporasi hanya perlu mengurus satu jenis izin kehutanan untuk melakukan beberapa jenis aktivitas eksploitasi secara bersamaan.
Solusi sejati untuk mengatasi krisis iklim adalah mengurangi emisi secara drastis, baik dari pembongkaran fosil bawah tanah dan deforestasi hutan, maupun dari pembakaran fosil melalui pembangkit listrik. Selain itu, pengakuan dan perlindungan wilayah Kelola Rakyat atau wilayah adat harus diperluas.
Uli menekankan, hutan-hutan yang masih ada saat ini tetap lestari berkat perlindungan dari masyarakat adat dan komunitas lokal. Negara harus mengakui kegagalan dalam melindungi hutan dan wilayah Kelola Rakyat.
Bertemunya para pemangku kepentingan di peluncuran bursa karbon hari ini seharusnya memahami peran karbon sejati. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (PP Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa fungsi layanan alam adalah aliran input alam dari lingkungan ke ekonomi dan aliran limbah dari ekonomi ke lingkungan.
Meskipun istilah “jasa” digunakan dalam peraturan ini, setiap orang yang menjaga fungsi layanan alam akan diberikan kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup. Dalam konteks perjuangan WALHI, kompensasi/imbal jasa lingkungan ini mencakup pengakuan serta perlindungan wilayah Kelola Rakyat, ekosistem hutan dan biodiversitas, serta penguatan ekonomi nusantara. (*)