English English Indonesian Indonesian
oleh

Bekerja Sesuai SOP, Pengadaan Tanah Bisa Berjalan Mulus

FAJAR, MAKASSAR-Pengadaan tanah untuk pembangunan tidak selamanya berjalan dengan mulus. Tidak jarang masuk rana pidana dan korupsi.

Asisten Pembinaan Kejati Sulsel, Nur Asiah menyatakan, potensi permasalahan hukum dalam tugas penilai bisa masuk dalam dua rana pidana. Potensi pidana korupsi meliputi potensi kerugian karena pengadaan tanah yang sesuai, pelaporan nilai transaksi tanah dan/atau bangunan lebih rendah, sehingga penerimaan negara tidak optimal, dan suap-menyuap atau gratifikasi.

Selanjutnya penilai aset negara sebelum dilelang yang diduga terjadi pemufakatan jahat yang untuk menjual aset negara di bawah harga yang seharusnya dan menguntungkan orang lain. Sedangkan untuk potensi pidana umum terbagi tiga item, yaitu, potensi pemalsuan dokumen hasil penilaian, menggunakan surat atau data palsu sebagai pembanding untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

“Intinya di sini adalah bekerja dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan kode etik. Maka tidak akan ada masalah. Satu lagi jika berkaitan dengan uang negara, maka masuk ranah korupsi jika bukan uang negara maka tindak pidana umum,” kata Nur Asiah saat menjadi pemateri di Sosialisasi Pentingnya Peran Profesi Penilai dalam Pembangunan Ekonomi Nasional yang digelar di Gedung Keuangan Negara, Senin, 25 September.

Dosen Hukum Unhas, Kahar Lahae menuturkan sejarah dasar hukum penyelenggaraan pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan kepentingan umum sangat panjang. Mulai dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 18, UU No 20 tahun 1996 pasal 1, PMND no 15 tahun 1975, PMND no 2 tahun 1976, PMND no 2 tahun 1976, PMND no 15 tahun 1985, Kepres 55 1993, Perpres 36 2005, Perpres 65 2006, UU no 2 tahun 2012, UU no 11 tahun 2020, dan UU no 6 tahun tahun 2023.

Negara menjadi HAM bagi seluruh warga negara. Hal ini diatur pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, Pasal 28 D UUD 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28H ayat 4 yang menyatakan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Serta pasal 36 UU no 39 tahun 1999 tentang HAM, bahwa tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.

“Bisa juga dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, tidak mungkin menggunakan tanah yang lain, musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan. Maka, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan pencabutan hak yang diatur dalam UU No 20 Tahun 1961,” ucapnya.

Sementara Anggota Dewan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Safrinal Firdaus menjelaskan pengaduan kasus penilaian 2016 hingga 2023 cukup banyak, yakni 454. Dalam delapan tahun terakhir ini pengaduan paling banyak berasal dari APH (kejaksaan dan kepolisian) sebanyak 38,8 persen, perintah/BUMN 19 persen, dan internal 18,8 persen.

“Pengaduan dan kasus dalam delapan tahun paling banyak dari Jakarta sebesar 28,4 persen, Jabar 15 persen, Sulamapua 14,7 persen, Jatim 12,7 persen. Selanjutnya Sumut dan Aceh 10,4 persen, Kaltimra 7,6 persen, Jateng 7,1 persen, Kalselteng 3 persen, Sumbar 2,8 persen, Lampung dan Bengkulu 2,5 persen, DIY, Riau, Sumbagsel 2 persen, KEPRI, Bali Nusra 1,8 persen, serta Kalbar 1,5 persen,” bebernya. (edo/ham)

News Feed