English English Indonesian Indonesian
oleh

Menyibak Dilema Kawasan Industri Makassar

OLEH: Imran Yamin, Kepala Divisi Bisnis Operasi/Plt sekretaris Perusahaan KIMA

Kehadiran kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sebagai pusat penyerapan tenaga kerja di suatu wilayah tertentu menjadi salah satu pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Terserapnya angkatan kerja khususnya sebagai akibat keberadaan kawasan industri akan mengurangi tingkat pengangguran dan keberadaan manufacture atau warehouse di dalam kawasan industri akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui arus keluar masuknya barang produksi dan pajak yang dihasilkan oleh setiap industri. Seperti halnya Kawasan Industri Makassar (KIMA) yang  kepemilikannya dimiliki oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, dimana pelaku industri yang ada di dalamnya tidak sedikit kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi Kota Makassar khususnya bahkan provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya.

Kehadiran kawasan industri Makassar (KIMA) yang awalnya diinisiasi departemen perindustrian dan perdagangan zaman orde baru di pertengahan tahun sembilan belas tujuh puluhan waktu itu sebagai proyek perintisan pemerintah pusat untuk pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Keberadaan kawasan industri melalui proyek pembangunan kawasan industrial estate dibangun secara bersamaan di empat wilayah di Indonesia yakni kawasan industri medan (KIM) di Medan, Kawasan Industri Cilacap atau yang lebih dikenal saat ini bernama Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) di Semarang, Surabaya Industrial Estate (SIER) di Surabaya, dan Kawasan Industri Makassar di Makassar.

Pertimbangan pilihan lokasi KIMA saat pertama kali dirancang di pertengahan tahun 70-an yang saat ini berada di Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya adalah karena pada saat itu lokasi KIMA sudah sangat jauh dari permukiman masyarakat dan area ini masuk sebagai daerah paling pinggir dari Kota Makassar. Seiring perkembangan Makassar sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia, kehadiran kawasan industri sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi memberi efek ke masyarakat dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat di area sekitar KIMA dan sekaligus memberi ruang untuk berkembangnya  kebutuhan akan tempat tinggal yang layak bagi pekerja industri sekitar area kawasan industri. Perkembangan ini memicu secara masif banyaknya perumahan komersial ataupun rumah toko (ruko) yang di bangun di sekitar KIMA yang kurang mempertimbangkan kawasan industri sebagai pusat aktivitas manufaktur yang bisa menimbulkan polusi udara dan bau yang berimbas ke masyarakat.

Mencermati perkembangan Kota Makassar yang semakin padat, maju, dan menuju kota dunia sebagaimana slogan wali kota Makassar yang menginginkan Makassar menjadi dua kali tambah baik menjadikan Kota Makassar sebagai kota yang berkembang makin dinamis yang setara dengan perkembangan kota khususnya di wilayah Indonesia barat. Melihat dan mengamati perkembangan kota Makassar saat ini,  area KIMA dan sekitarnya sepanjang tol Sutami telah dipenuhi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan bermunculan kawasan pergudangan untuk menyokong mobilitas pergerakan logistik dan distribusi barang dari dan keluar kota Makassar.

Seiring dengan semakin bertambahnya pembangunan pergudangan tersebut dan sekaligus meningkatkan pergerakan lalu lintas barang dengan moda transportasi truk pengangkut kontainer dari dan menuju ke pelabuhan, menimbulkan traffic lalu lintas yang sangat padat, sehingga tidak jarang pada saat sore hari atau pagi hari yang melewati area tersebut cenderung mengalami kemacetan. Kondisi ini membutuhkan perhatian dari semua pihak bahwa di samping kesadaran kolektif dalam  berlalu lintas yang perlu ditanamkan kepada pengguna jalan,  juga serta peningkatan fasilitas infrastruktur jalan mesti ditingkatkan.

Tidak kalah pentingnya mungkin sudah saatnya kita meninjau kembali keberadaan kawasan industri dan pusat pergudangan di sepanjang Jalan Tol Sutami. Ini bisa dilakukan moratorium izin pembangunan pergudangan di sepanjang jalan tersebut dengan pertimbangan, biarkanlah kota Makassar menjadi pusat jasa dan memberikan kesempatan kepada kabupaten penyangga seperti kabupaten Maros dan Gowa dan Pangkep ataupun Takalar untuk bisa mendukung kota Makassar dalam hal penyediaan pusat pergudangan, sehingga kegiatan logistik dapat berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Sekaligus membagi beban Makassar terhadap pertumbuhan kendaraan dengan kapasitas besar dan dan juga membagi kue ekonomi ke kabupaten penyangga.

Kota Makassar tidak bisa lagi dijadikan sebagai sebagai pemain tunggal dalam distribusi barang dan jasa tapi menjadikan Makassar menjadi pusat komersial dengan mata rantai supply chain logistik yang ada di kabupaten penyangga. Pergudangan dan manufaktur tidak bisa lagi di Makassar, Makassar diarahkan untuk menjadi akhir dari proses logistik yang hanya menampung kontainer pada saat datang dan akan keluar Makassar. Para penentu kebijakan sudah harus memikirkan perkembangan kota ini, tidak hanya dalam kurung  waktu dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan, tetapi harus sudah jauh lebih ke depan lagi, sehingga kota ini bisa sejajar dengan kota lain yang ada di Indonesia bahkan di dunia.

Kebijakan pemerintah di masa lalu di awal tahun tujuh puluhan, setelah empat puluh tahun kemudian sepertinya tidak lagi relevan dengan kondisi kekinian. Mungkin saat itu kita menganggap kawasan industri Makasar sudah jauh sekali dari pusat kota dan kurang bersentuhan dengan permukiman, tapi kenyataan yang ada sekarang kawasan ini sudah berada di tengah-tengah kota Makassar, terlebih lagi sudah di kelilingi perumahan elite yang dibangun oleh pengembang nasional seperti Ciputra dan Summarecon dengan segala fasilitas yang ada, bahkan kalau mau jujur bahwa kehadiran ciputra di wilayah Tallasa City menjadikan area Ini yang sedianya masuk dalam RTRW untuk industri, kini lambat laun akan beralih ke residensial. Lalu apakah kita akan menyalahkan para pengembang ini untuk masuk ke Kota Makassar? Tentu tidak, yang perlu mungkin dipertimbangkan bahwa kondisi yang ada sekarang dengan semakin berkembangnya kota Makassar, apakah masih cocok industri dan manufaktur berada di Makassar, belum lagi adanya komplain dari masyarakat sekitar akibat polusi bau yang ada pada saat hujan turun, meski sesungguhnya semua orang mahfum bahwa keberadaan kawasan industri lebih dahulu hadir dibanding dengan para pengembang yang menghadirkan hunian untuk masyarakat kota Makassar.

Kondisi ini tentu bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pengelola kawasan industri Makassar itu sendiri, bagaimana menyikapi kondisi kekinian bahwa KIMA semakin hari semakin mendekat dengan kawasan pemukiman masyarakat yang ada dengan segala dampak yang ditimbulkan terutama dampak sosial  yang melekat “KIMA menimbulkan bau dan KIMA macet”. Bila memungkinkan sudah saatnya lokasi KIMA yang kita kenal saat ini sudah mesti relokasi ke tempat lain? Ataukah pengelola KIMA sudah harus memikirkan untuk memiliki perencanaan membangun kawasan baru di beberapa daerah kabupaten dengan tujuan mendekati sumber bahan baku. Untuk menjawab semua ini tentu tidak lepas dari visi kepemimpinan seorang leader yang menakhodai KIMA ke depannya. Akhirnya citra KIMA yang menimbulkan bau dan KIMA macet berubah menjadi “The way for your investation”, modalnya kepemimpinan transformatif yang visioner dan memiliki tujuan yang jelas. Selamat datang Direksi baru PT KIMA per 30 Agustus 2023. (*/)

News Feed