English English Indonesian Indonesian
oleh

Gelar vs Jafung

SUARA: Nurul Ilmi Idrus

Doktor dan profesor adalah dua kata yang tidak asing terdengar, terutama di dalam dunia akademik. Namun demikian, meski tak asing, banyak orang tidak memahami perbedaan di antara keduanya dan menganggap doktor maupun profesor adalah gelar akademik, termasuk di kalangan akademisi sendiri. Padahal ada perbedaan mendasar di antara keduanya.

Jika gelar doktor diperoleh ketika seseorang setelah menyelesaikan program pendidikan S3, maka profesor adalah jabatan yang diberikan kepada seorang guru besar yang telah melampaui jabatan fungsional berjenjang mulai dari Asisten Ahli, Lektor, dan Lektor Kepala sebagaimana diatur dalam UU Guru dan Dosen (pasal 48:2) dan UU Pendidikan Tinggi (pasal 72:1). DalamKetentuan UmumUU Guru dan Dosen (pasal 1:3) dinyatakan bahwa profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. 

Dengan demikian, jika seseorang bergelar doktor (apakah ia dosen atau tidak), maka gelar tersebut melekat pada diri yang bersangkutan. Ini berbeda dari jabatan fungsional profesor karena jabatan tersebut gugur dengan sendirinya begitu yang bersangkutan tidak lagi menjalankan tridharma atau pensiun. Artinya, gelar doktor melekat pada diri seseorang, sementara jabatan fungsional (profesor) harusnya tanggal secara otomatis ketika yang bersangkutan tidak menjalankan tridharma perguruan tinggi karena namanya juga jabatan, ada periodenya, bukan seumur hidup. Perguruan tinggi berhak mencabut jabatan profesor seseorang jika ia tidak aktif menjalankan tridharma perguruan tinggi, seperti yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) terhadap Amien Rais sejak beliau terjun ke partai politik.

Meskipun seorang doktor tidak harus menjadi profesor, tapi seorang profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor (UU Guru dan Dosen, pasal 48:3). Oleh karenanya, Sofian Effendi, guru besar Kebijakan Publik UGM, menegaskan bahwa pemberian gelar profesor kehormatan seharusnya tidak ada. Pemberian gelar itu telah melenceng dari makna dan filosofi dari profesor itu sendiri.

Namun, penggunaan jabatan profesor seringkali diidentikkan dengan penggunaan gelar doktor. Misalnya, jika seorang profesor mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) atau kepala daerah, maka ia harus resigned sebagai seorang dosen dan dengan demikian jabatan profesor juga ditanggalkan. Namun, alih-alih menanggalkan jabatan profesor dari namanya, jabatan ini justru dijadikan sebagai  tagline kampanye. 

Kesalahpahaman yang memaralelkan antara gelar dan jabatan fungsional telah menimbulkan  candaan sarkastik, bahwa gelar profesor dapat digunakan hingga seseorang meninggal. Tidaklah mengherankan jika  banyak profesor yang masih menggunakan jabatan fungsional itu meski ia telah pensiun, bahkan nama di batu nisan pun masih menyertakan jabatan profesor. Tak hanya itu, orang yang belum berjabatan profesor pun ketika dipanggil namanya disertai profesor (karena dikira telah profesor) juga tidak protes dengan penyertaan jabatan fungsional tersebut di namanya. Satu lagi, jabatan profesor juga membuat orang kehilangan nama karena ketimbang memanggil dengan namanya, panggilannya menjadi Pak prof dan Bu prof. Sekali lagi, profesor menjadi gelar ketimbang jabatan fungsional. (*)

News Feed