Beranda: Aidir Amin Daud
Mungkin masyarakat yang mendiami sebagian kawasan di Pulau Rempang Batam tidak memiliki surat kepemilikan yang sah atas tanah yang mereka diami. Mereka mengaku sudah turun temurun di sana sejak Indonesia belum merdeka. Mungkin benar pemerintah lah pemegang hak atas kawasan tanah di Pulau Rempang itu. Dan atas nama pembangunan dan keinginan baik pemerintah untuk mengembangkan kawasan — pemerintah telah memberikan kawasan Pulau Rempang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG). Dengan nilai investasi sebesar Rp 381 Triliun — MEG bakal mengembangkan lahan sekitar 17.000 hektare menjadi kawasan pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan terbarukan (EBT). Pengembangan tersebut masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) bernama Rempang Eco-City. Sekitar 306 ribu tenaga kerja akan diserap oleh proyek ini secara bertahap sampai tahun 2080. Lalu apakah adil jika rakyat yang sudah lama berdiam di situ — demi pembangunan yang akan berjalan selama lebih 50 tahun ke depan, harus direlokasi ke tempat yang sesungguhnya menjauhkan mereka dari akar kehidupannya sekarang?
**
Kamis pagi pekan lalu — setelah sehari sebelumnya beredar kabar di antara warga Rempang bahwa Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) beserta pihak berwenang akan memaksa masuk ke Rempang untuk melakukan pengukuran — pagi warga berkumpul di Jembatan 4 Barelang. Ratusan aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, Polisi, TNI, dan Ditpam Batam membentuk barisan di depan jembatan — berhadapan dengan warga yang tidak ‘mengizinkan’ aparat untuk masuk ke kawasan Pulau Rempang. Aparat gabungan kemudian bergerak ke arah warga yang berdiri di ujung jembatan. Ketika aparat mulai merangsek masuk ke kampung, terjadi lemparan batu dari arah warga. Aparat membalasnya dengan menyiramkan air dan menembakkan gas air mata. Asap gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah, yaitu SMP 33 Galang dan SD 24 Galang.
**
Rasa keadilan banyak orang terusik. Media melaporkan kerusuhan dan jatuhnya beberapa korban di pihak massa dan masyarakat karena hembusan gas airmata. Kalangan masyarakat sipil — sebagaimana diberitakan media — juga mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan rencana pembangunan Rempang Eco-City dan mengeluarkannya dari daftar proyek strategis nasional. Koalisi Masyarakat Sipil pun menuntut Jokowi memerintahkan Kepala Kepolisian RI dan Panglima TNI mencopot jajarannya di Kepulauan Riau.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tergabung dalam koalisi tersebut, menilai pemerintah juga perlu mengaudit rencana Investasi Pulau Rempang terkait pemenuhan prinsip HAM, dalam perencanaan pembangunan.
Menurut dia, aksi yang dilakukan warga Rempang merupakan upaya mempertahankan hak dasarnya untuk hidup. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, juga menyesalkan tindakan kekerasan berlebihan oleh kepolisian di Pulau Rempang. Dimas mengingatkan bahwa kepolisian telah mempunyai regulasi tentang bentuk pengendalian massa yang mengutamakan hak asasi manusia. Markas Besar Polri mengklaim telah mengevaluasi tindakan personelnya di Pulau Rempang. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, membantah bentrokan pada Kamis lalu menyebabkan jatuhnya korban.
Apapun — kali ini kita terusik bahwa begitu banyak orang harus meninggalkan tanah kediamannya untuk alasan investasi. Termasuk pernyataan bahwa proyek ini akan membawa kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi Indonesia. **