English English Indonesian Indonesian
oleh

A’ Gau Haji’ ri Bulu’ Bawakaraeng, Menggapai Fitrah di Gunung Bawakaraeng

Oleh: Muh. Fadhly Kurniawan, Peneliti Transkrip Tradisi Lisan Indonesia/Alumni FIB-UI

Gunung (Mks: Bulu’) Bawakaraeng terlalu sempit dan kecil bila hanya membahas peristiwa lebaran Hajinya saja. Ada banyak interdisiplin ilmu pengetahuan yang berkelindan dapat memberi anda sense of life (kesadaran batiniah, lahiriah, hingga spiritual).

Sepekan lalu, lebaran haji/Iduladha dirayakan oleh seluruh umat muslim dunia, termasuk saya yang merayakannya di Gunung Bawakaraeng. Bukan tanpa sebab, hal ini adalah kali kedua berlebaran di sana, berhubung ini merupakan riset lanjutan yang sudah saya persiapkan dari tahun 2019. Hal mendasar riset ini ialah mengenai narasi—sebut saja tradisi “Haji Bawakaraeng” yang dilaksanakan bertepatan dengan lebaran Haji/Iduladha. Awalnya, yang saya pahami, tradisi ini ialah sebuah seremonial replika ibadah Haji (rukun islam kelima) yang dilakukan di Mekkah, kemudian diterapkan juga oleh masyarakat jemaah Gunung Bawakaraeng. Realitanya, informasi tersebut sudah menjadi konsumsi umum masyarakat selatan Sulawesi dan menjadi tradisi lisan yang dipelihara hingga saat ini.

Sedikit cerita, beberapa tahun terakhir saya mencari dan membaca data tekstual mengenai tradisi ini, namun semakin mengerutkan kening dan semakin menambah rasa penasaran. Olehnya itu, saya mencoba bert-tabayyun atau terjun ke lapangan menyaksikan secara langsung tradisi ini, yaitu pada hari raya Iduladha di tahun 2019 dan 2023. Pendakian kedua ini total 14 orang di antaranya Dg. Rahma, mahasiswa doktoral Filologi-Universitas Indonesia, beserta beberapa masyarakat lokal dari Manipi (Risal, Ibeng, Om Nasrun, bunda Farel, dll) serta (Ust) Dg. Jaka yang membekali kami wejangan informasi dasar mengenai tradisi ini.

Riset ini menggunakan pendekatan fenomenologi, yaitu suatu upaya yang dialami langsung individu/peneliti terhadap subjek penelitiannya, kemudian mendeskripsikan data temuan dan fakta lapangan. Hasil yang ditemukan sangat bertolak belakang dengan narasi berkembang, saya tidak menemukan satupun aktivitas yang berreplika ibadah Haji di Makkah tersebut, seperti memakai ihram, melakukan wuquf, sai, thawaf, dan lainnya. Aktivitas yang dilakukan ialah hanya salat Iduladha seperti pada umumnya, ada protokol MC, Imam salat (Pak Kipli), dan Khatib (Kak Ilham) mereka berasal dari Kindang-Bulukumba. Setelah salat, masing-masing jemaah kembali ke aktivitasnya. Hal itu cukup mengejutkan, karena selama ini narasi yang saya amini tidak sesuai ekspektasi dan realitas di lapangan.

Berdasarkan observasi tekstual (jurnal) yang saya temukan, sepertinya perlu kembali mendudukkan terminologi “Haji” yang mereka gunakan itu. Dimulai dengan memurnikan makna dan kata Haji itu sendiri. Fakta di lapangan dengan narasi yang berkembang seolah konsep Haji sebagai rukun islam kelima itu “dipaksa” diseragamkan dengan ritual yang dilakukan di Bawakaraeng, apakah hanya karena waktunya bertepatan? Olehnya itu, tulisan ini menepis fitnah yang ditujukan kepada jemaah salat Iduladha Gunung Bawakaraeng.

Pada konteks lain, memang betul ada masyarakat selatan Sulawesi yang menganut tarikat bernama Khalwatiah ajaran Tuanta Salamaka Syekh Yusuf—tokoh ulama kenamaan kerajaan Gowa. Mereka mempercayai bahwa Gunung Bawakaraeng merupakan tempat suci dan merupakan tempat dimana Syekh Yusuf pernah bertemu dengan Wali suci untuk menyempurnakan ilmu makrifatnya, peristiwa tersebut tertuliskan juga di kesenian tutur masyarakat Makassar, yaitu Sinrili’na Tuanta Salamaka. Setelah itu, Tuanta diarahkan untuk mengesahkan ilmunya di Mekkah, menurut catatan lontara bilang raja Gowa dan Tallo (1986), tercatat beliau meminta ijin untuk ke Mekkah pada tanggal 22 September-27 Rajab, begini bunyi teksnya, Namappalak kana I Tuang Syekhu Yusuf kalauk Hakji (1054 H-1644 M).

Bertalian pembahasan Syekh Yusuf, (Alm) Syarifuddin Dg. Tutu pernah mengatakan bahwa kata Bawakaraeng itu bukan bermakna “Mulut Tuhan” seperti yang beredar di masyarakat, tetapi dia menjelaskan dalam perspektif Sinrili’ bahwa Bawakaraeng ialah suatu aktifitas U’rangi (mengingat), bila diurai menjadi Bawa: ucapan, Karaeng: Ilahi, sehingga ditafsir menjadi “ucapan tentang ilahi” kemudian dikonversi menjadi dzikir (mengingat ilahi). Hal itu tandas beliau merupakan syarat wajib dilakukan oleh Syekh Yusuf selama melakukan pendakian Ma’lino (bertafakkur) mencari ilmu di puncak Gunung Bawakaraeng.

Riset ini ditunjang dengan wawancara lapangan, yaitu narasumbernya Pak Kipli (imam salat) dan (Ust) Dg. Jaka (tokoh spiritual masyarakat Manipi-Sinjai Barat). Pak Kipli mengatakan bahwa dirinya sudah menjadi imam di Gunung Bawakarang sekitar sembilan tahun terakhir. Awalnya, jemaah lebaran Iduladha tidak menyatu, masing-masing kelompok tersebar melakukan salat di dekat tendanya, nanti pada saat dia membawa rombongan dari Kindang, mulailah jemaah salat Iduladha berkumpul dan berjamaah di area lapangan dekat sumber air pos 10. Beliau merasakan perbedaan yang signifikan saat salat di Gunung Bawakaraeng, yaitu sangat khusyuk hingga haru yang tak tergambarkan, saya menyaksikannya tiap usai salat, bahkan seluruh jamaah terharu, ada juga yang terisak-isak menangis. Tambahnya, salat di puncak Bawakaraeng seolah-olah merasa sangat dekat dengan sang pencipta. Narasi mengenai Haji Bawakaraeng tidak pernah digubrisnya, ia mengatakan boleh jadi orang yang menyebut itu tidak pernah merasakan langsung salat Iduladha di puncak Bawakaraeng.

Narasumber kedua, yaitu Dg. Jaka menjelaskan bahwa dalam masyarakat Manipi terdapat terminologi Haji dalam bahasa Konjo yang mereka gunakan sehari-hari. Secara pelafalan, kata Haji menggunakan koma atas di akhiran katanya, menjadi Haji’ (Mks: Baji’). Kosakata ini secara hemat diartikan sebagai suatu yang baik/kebaikan. Bila ditelisik dari perspektif masyarakat penganut tarikat, baik itu dari khalwatiah maupun yang lainnya, pasti memiliki syarat khusus sebelum dan selama pendakian berlangsung. Syariat khusus itu saya maknai sebagai suatu lelaku yang sifatnya terkategori adab-adab pendakian Gunung Bawakaraeng. Dari beberapa sumber yang saya temukan, hal yang mendasar adab mendaki di Bawakaraeng seperti mendapatkan “undangan”, berniat untuk dipertemukan hal-hal baik, berpuasa sebelum pendakian, selama pendakian hindari bicara kotor, hati bersifat lannying (bersih), selalu berdzikir, dan masih banyak lagi.

Menurut tafsir bebas saya, adab-adab tersebut merupakan salah satu rangkaian untuk mendapatkan hakikat nilai Haji’ seperti yang berlaku di terminologi masyarakat Manipi. Maksudnya, aktivitas pendakian tersebut merupakan suatu manifestasi dalam mendapatkan nilai-nilai yang baik yang mampu meningkatkan sensitifitas spiritual, sehingga pelakunya merasa dirinya kembali fitrah dan suci. Olehnya itu, bila ditarik garis tengahnya, hipotesis saya tentang konsep Haji’ yang dipercayai sebagai suatu adab-adab pendakian itu nilainya sama dengan ritual Haji rukun islam tersebut. Sebab baik Haji’ dan Haji sama-sama punya lelaku dan rukun khusus untuk mencapai nilai intinya, yaitu mabrur yang artinya diterima dengan baik atau bernilai sempurna. Naun, untuk mengurai konsep Haji’ ini perlu dilakukan riset holistik dan mendalam lagi agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkannya. Intinya Haji’ dan Haji ialah dua terminologi yang berbeda, kekeliruan ini perlu diluruskan kembali.

Setelah tulisan ini dibuat, saya cenderung dan tidak menyarankan kepada pembaca untuk tidak menggunakan kata Haji yang dibarengi Bawakaraeng lagi. Artinya, hentikan penggunaan istilah Haji Bawakaraeng, karena dari penamaan itu ada konsep yang tertanam secara nirsadar dan dapat mempengaruhi masyarakat, seolah-olah Gunung Bawakaraeng itu merupakan tempat yang mengandung kemusrikan, termasuk ditujukan kepada jemaah yang melakukan lebaran Iduladha di Gunung Bawakaraeng. Salama’ (*)

News Feed