FAJAR, MAKASSAR-Kekayaan sumber daya alam Indonesia telah diakui dunia lewat berbagai kandungan mineral berharga. Sesuai amanat undang-undang kekayaan alam diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, ambisi pemerintah agar nilai tambah produk meningkat dan industri domestik kian kuat yang pada akhirnya membawa Indonesia menjadi negara maju.
Pengertian dari hilirisasi secara dasar adalah upaya untuk meningkatkan nilai tambah dengan mengolah bahan mineral dan batubara yang mentah dari bahan bakunya menjadi sesuatu barang yang jadi atau bahkan setengah jadi.
Dasar hukum dari hilirisasi ini tertuang dalam undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan minerba yang sudah diperbaharui di tahun ini ke dalam undang-undang nomor 3 tahun 2020, tapi ternyata amanat undang-undang dari pemerintah untuk melakukan hilirisasi ini sudah ada sejak lama tepatnya dalam undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan namun baru beberapa tahun ini kembali digembar-gemborkan khususnya di pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Seperti yang disampaikannya pada 9 Januari 2020 pernyataan ini disampaikan oleh presiden dalam pertemuan di istana kepresidenan dalam forum pertemuan dengan kepala perwakilan Republik Indonesia dengan kementerian luar negeri.
“Ekspor kita tidak bahan baku material atau mentah lagi udah nggak zamannya. Ekspor yang namanya batubara bahan mentah kopra CPO kita ingin ekspor kita dalam bentuk barang-barang minimal setengah jadi.”
Dalam kesempatan yang sama presiden kembali mengingatkan jajarannya agar kita bisa memaksimalkan hilirisasi bahkan setiap tahun, dalam beberapa kesempatan presiden pasti menyinggung hal ini. Presiden meminta dan mengingatkan serta meyakinkan bangsa Indonesia bahwa kita bisa menjadi basis produksi di Asia bahkan dunia dan dalam kesempatan yang sama juga pada awal Januari presiden menargetkan agar Indonesia bisa masuk ke pasar pedalaman Afrika yang cenderung belum memiliki standar kualitas yang tinggi.
Hilirisasi menjadi kunci transformasi negara berkembang menjadi negara maju. Dengan hilirisasi tercipta pertumbuhan ekonomi pekerjaan dan peningkatan pendapatan negara. Nah seperti apa tanggapan mahasiswa di Makassar menyambut era hilirisasi?
“Saya sangat optimis dengan adanya inovasi-inovasi yang diberikan dari menteri investasi juga terhadap setiap investasi yang ada. Saya sendiri selaku orang Papua sangat bangga dengan adanya investasi PT Freeport ini bahkan bisa membantu infrastruktur juga pendidikan yang ada di Papua,” tutur Gayus Rumaropen selaku Mahasiswa Universitas Hasanuddin.
Hilirisasi akan membuka peluang kerja, meningkatkan nilai ekspor (memperbaiki neraca perdagangan dan menambah devisa), dan menarik investasi. Bagi komoditas nikel dan bauksit, investasi yang akan masuk adalah perusahaan-perusahaan smelter.
Sayangnya, hilirisasi yang dicanangkan Indonesia saat ini adalah hilirisasi yang dibarengi dengan pelarangan ekspor komoditas terkait. Hilirisasi pada dasarnya membutuhkan modal yang sangat besar, terutama dalam pembangunan smelter.
Memaksa perusahaan-perusahaan yang ada untuk membangun smelter akan membebani mereka dengan keuangan yang besar. Di saat yang bersamaan, mereka juga menghadapi potensi kerugian.
Besarnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk pembangunan smelter akan mendorong adanya monopoli, karena hanya perusahaan besar dan kuat secara finansial saja yang mampu membangun smelter.
Upaya pemerintah untuk melakukan hilirisasi nikel rupanya banyak dinikmati investor asing meskipun nilai tambah diklaim telah berkali-kali lipat dan ekspor produk nikel melonjak, smelter nikel terlanjur didominasi perusahaan asing yang menikmati berbagai fasilitas pajak dari pemerintah.
Menteri investasi justru menyoroti peran perbankan dalam negeri yang terkesan enggan membiayai proyeksi smelter dan berimbas pada minimnya andil perusahaan dalam negeri di industri kreatif.
Waode Oxana salah satu Mahasiswa Teknik Pertambangan Universitas Haluoleo memberi tanggapan mengenai Hilirisasi Nikel di Indonesia. Menurut oxana Hilirisasi Nikel memiliki dampak positif dan negatif, namun untuk dampak negatifnya itu bersifat kondisional.
“Berbicara tentang hilirisasi pasti tidak lepas dengan yang namanya proses pengolahannya, apakah itu menggunakan Piro atau hidro. Berarti kalau mau tahu tentang dampak negatif dari Hilirisasi Nikel tinggal melihat saja jenis pengolahan apa yang digunakan, dan itu mungkin masuk ke dampak negatif terhadap lingkungan, mungkin ada dampak negatif terhadap sektor lain,” ucap Oxana.
Ir. Firman Nullah Yusuf, S.T., M.T., IPP. salah satu dosen Teknik Pertambangan FTI-UMI menjelaskan mengenai hilirisasi khususnya Mineral dan Batubara (Minerba) ini telah tertuang dalam UU no 3 tahun 2020 tentang perubahan UU Minerba menjadi kewajiban bagi setiap perusahaan untuk mengolah dan memurnikan sebelum di jual (eksport).
Harapannya adalah dengan diberlakukan kebijakan diatas maka akan memberikan nilai tambah bagi seluruh sektor yang ada di area lingkar tambang. Menurut Firman Nullah Yusuf, kebijakan hilirisasi ini belum sepenuhnya berhasil, ditambah lagi masalah saat ini adalah persoalan lingkungan (pencemaran yang diakibatkan meningkatnya jumlah pabrik pengolahan dan pemurnian) serta kebutuhan akan ENERGI yang sangat besar, dengan kata lain pemerintah bersama stakeholder dan akademisi harus mengkaji lebih serius lagi sehingga menghasilkan solusi yang tepat dari persoalan yang ditimbulkan.
“Pentingnya mengetahui era hilirisasi untuk mahasiswa agar dimasa yang akan datang kita bisa melakukan reformasi dan inovasi tepat guna dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkesinambungan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan,” kata Firman Nullah Yusuf.
Firman Nullah Yusuf juga menambahkan, dampak negatif hilirisasi dari segi lingkungan sangat terlihat jelas yaitu eksplorasi besar-besaran tanpa ada kontrol yang ketat, polusi akibat pabrik smelter, limbah padat yang jumlahnya makin menumpuk, serta persoalan longsor dan banjir juga akan sering terjadi.
Selain dampak negatif ke lingkungan, dampak lain yang ditimbulkan adalah populasi (pekerja) antara lokal dan non lokal yang sangat besar, mengakibatkan pemicu utama konflik sosial dan budaya diarea lingkar tambang serta dampak kriminalitas juga akan ikut meningkat.
“Harapan saya di era hilirisasi industri perlu adanya penataan dan kontrol yang ketat dari aspek Kebijakan, ekonomi, politik dan SDA profesional, sehingga mampu mengendalikan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri. Pemerintah juga harus mendorong pengembangan teknologi daur ulang sehingga meningkatkan nilai tambah yang lebih.”
Penulis: Nur Alief Rizkiyah, Ahmad Hidayatullah, Nur Wahid Ashari
Mahasiswa FTI UMI