SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Naik haji bukan hanya milik mereka yang berduit, yang sehat, dan yang muda. Tapi naik haji adalah milik mereka yang mendapatkan “panggilan” (labbaikallahumma labbaik). Pertunjukan dimulai di Miqat, tempat dimana ummat Islam berpakaian ihrom, pakaian yang menutupi diri dan watak manusia. Manusia terbebas dari status, “aku” berganti menjadi “kita”. Mengenakan pakaian ihrom ibarat mengenakan kain kafan. Individu menjadi sebuah partikel yang mengikuti massa, bagai setetes air yang melebur dalam samudra. Saat memasuki sekitar tanah haram, maka seruan “Labbaika” segera dihentikan, yang tinggal adalah keheningan, tapi hati masing-masing “terbakar” api cinta, kecintaan terhadap Allah SWT.
Sebagai sebuah gerakan, ibadah haji membuat manusia “memutuskan” untuk “mengubur” segala bentuk ego dan kecenderungan individual di Miqat. Manusia menyaksikan “mayatnya” sendiri dan menziarahi “kuburnya” sendiri. Ini merupakan sebuah peristiwa yang mengingatkan kita pada akhir kehidupan yang sejati. Di Miqat kita tidak saja mengalami “kematian” seolah jazad-jazad kita ditinggalkan, tapi juga mengalami “kebangkitan” dan yang bangkit adalah ruh-ruh kita yang selanjutnya menembus teriknya gurun pasir antara Miqat dan Mi’ad.
Mekkah adalah bait-atiq, bait (rumah) dan atiq (bebas dan tidak dimiliki oleh siapapun). Mekkah adalah negri ummat, komunitas ummat, dan ummat aman di sana. Kota Mekkah bagai mangkuk raksasa yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Setiap lembah, jalan, dan lorong menghadap ke lantai rumah besar itu, Ka’bah berada di pusatnya, sebagaimana Neil Amstrong telah membuktikan bahwa Kota Mekkah adalah pusat dari planet Bumi. Gerombolan manusia turun membanjiri, Masjidil Haram bagai lautan berwarna putih, bagai roh-roh yang sedang bangkit, menjadi manusia baru.
Ka’bah merupakan awal pergerakan, tempat bertemunya Allah SWT, Ibrahim AS, dan Muhammad SAW. Manusia “dihadirkan” di sana hanya jika ia tidak terpikat oleh atau terbebas dari fikiran-fikiran yang bersifat egosentris. Manusia tidak “diizinkan” memasuki rumah suci ini jika ia masih memikirkan dirinya sendiri, maka tidak mengherankan jika banyak cerita aneh tentang pengalaman orang yang masih membawa egonya ketika memasuki Ka’bah. Manusia egois bukan bagian dari lingkaran Ka’bah. Ia hanya seorang pengunjung yang berdiri di tepi sungai, bukan di dalamnya. Pengabaian ego sangat terlihat ketika tawaf, manusia saling tolong-menolong, yang sehat membantu yang sakit, yang muda membantu yang tua, yang kuat membantu yang lemah, sebuah kedermawanan yang muncul secara spontan. Semua menyatu dan membuat Ka’bah menjadi “rumah ummat manusia”.
Yang dirasakan adalah perpaduan antara rasa takut, senang, kepanikan, keterpesonaan, dan kegembiraan yang muncul bagaikan partikel-partkel yang kecil dalam sebuah medan magnet dan Allah berada di pusatnya, meski tak ada visualisasi Allah yang dapat diimajinasikan oleh manusia karena Allah YMK memang tidak berbentuk, tidak berwarna, dan tidak berwujud.
Gerakan manusia di sekeliling Ka’bah adalah sebuah gerakan satu arah, sebuah kedisiplinan tanpa perintah, yang mencerminkan keteraturan alam semesta. Ka’bah diam tak bergeming di tengah, sementara manusia di sekelilingnya terus bergerak mengelilinginya. Manusia digerakkan bukan oleh kakinya, tapi oleh gelombang manusia, sehingga kita mendapati diri kita terbawa oleh arus. Semakin mendekati Ka’bah, semakin kita merasakan desakan lautan manusia menghimpit begitu kuat. Ini merupakan pusat orbit ruh jiwa manusia yang tertarik oleh gerakan kehendak Allah SWT untuk menghadapkan wajah senantiasa menghadap kepada Ka’bah bukan untuk disembah, namun sebagai penunjuk arah kepada satu arah, satu tujuan dan satu kepentingan hanya kepada Yang Maha Esa.