Oleh: Wahyuddin, M. Hum., Ph.D, Staf Pengajar FIB-UNHAS
Dua hari perhelatan kongres kebudayaan, 24 – 25 juni 2023 yang menghadirkan banyak pihak; seniman, budayawan, pemangku adat, akademisi, politisi hingga pejabat daerah yang membidangi masalah tersebut telah berhasil melahirkan beragam fikiran yang diharapkan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi soal perlindungan hingga pemanfaatan kebudayaan daerah. Kongres yang di awali oleh pidato kebudayaan Dr. H. Ajief Padindang selaku inisiator paling tidak telah memperlihatkan dua problem penting yang sedang dan akan terus dihadapi kaitannya dengan pembangunan kebudayaan yakni perjumpaan antara budaya dan agama dan perkembangan teknologi yang telah mencapai titik di mana teknologi tidak lagi sekedar alat bagi manusia tetapi sudah menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri dengan adanya Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence).
Perjumpaan agama dan budaya selalu menjadi krusial karena agama di satu sisi membawa misi penyelamatan manusia dari segala tindakan dan perilaku yang tidak berterima di hadapan Tuhan sedangkan budaya di sisi yang lain juga lahir untuk memudahkan kehidupan manusia dan memberikan makna terhadapnya melalui serangkaian tradisi dan ritual. Ada titik-titik tertentu di mana benturan penafsiran terjadi, sesuatu yang pada dasarnya bukan hal aneh karena manusia dengan segala potensinya memang beragam cara pandang. Di sini dibutuhkan sebuah kearifan untuk dapat saling berbicara satu sama lain, saling memberi kefahaman dari perspektif masing-masing sehingga ditemukan sebuah solusi yang dapat berterima. Budaya tidak boleh dibiarkan kaku dan statis karena memang pada dasarnya budaya yang berasal dari manusia itu terus bergerak secara dinamis menjawab tantangan zaman, sementara agama juga perlu untuk tampil dengan tafsir-tafsir yang memperhitungkan konteks-konteks lokal masyarakat tertentu. Relasinya harus dibangun atas dasar saling pengayaan bukan saling mengeliminasi. Namun ini mensyaratkan adanya kemampuan rasional dan komunikatif seperti yang dikemukakan filsuf asal Jerman J. Habermas.
Demikian pula kemajuan teknologi telah membawa sebuah realitas baru. Sangat nyata teknologi telah masuk mempengaruhi kehidupan kita semua hingga dimensi yang paling dalam. Tapi, teknologi tetaplah organon atau alat bagi manusia yang menyimpan dua sisi; baik dan buruk. Sangat perlu jeda sesaat untuk memikirkan relasi kita dan teknologi ini. Semakin kita larut maka kita memang akan menjadi alat baginya. Pada titik ini, pendidikan dan kesadaran kritis perlu dibangun. Pada titik ini pula kita mengingatkan semua pihak untuk tidak memandang enteng keberadaan ilmu-ilmu sosial-budaya untuk dinomor duakan dari ilmu-ilmu pasti. Kesadaran kritis hanya dibangun melalui pendekatan khas ilmu sosial-budaya. Maka bayangkanlah kalau pemerintah menggelontorkan dana-dana besar hanya untuk kemajuan dan penemuan besar di bidang ilmu eksakta, maka resiko kehancuran masyarakat tinggal menunggu waktu karena aspek dimensi kritis masyarakat tidak dibangun secara bersamaan. Keasadaran kritis masyarakat akan menjadi salah satu harapan jalan keluar dari ancaman ekses buruk teknologi dan juga ancaman bencana lingkungan hidup.
Isu kebudayaan ini pada dasarnya telah mendapat payung hukum melalui UU no 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan dan pada tingkat lokal Perda tentang literasi akasra lontara bahasa dan sastra daerah juga telah disahkan. Apresiasi harus diberikan terhadap upaya tersebut. Warisan-warisan kebudayaan dari masa lalu adalah aset yang merupakan identitas sekaligus menyimpan potensi ekonomi. Meskipun demikian ada pengertian kebudayaan lain yang juga perlu diakomodasi dan harus menjadi bagian kesadaran bersama terutama pengambil kebijakan yaitu membangun Civic Culture (budaya warga negara).
Kalau dalam tataran konsep kita membedakan antara “budaya warga” dan “ budaya warga negara”, maka 10 objek perlindungan dan pemajuan kebudayaan dalam UU no 5 tahun 2017 itu terkait dengan “budaya warga” yakni manusia dilihat dalam kerangka etnisitas atau identitas primordialnya. Sekali lagi ini penting sebagai identitas dan juga sebagai aset ekonomi. Namun tak kalah pentingnya adalah membangun dan mendidik manusia bukan sebagai warga etnis tertentu tetapi sebagai warga negara Indonesia bahkan sebagai warga dunia. Konsep Civic culture ini mentransformasikan ethnic culture. Rasa bangga etnis harus memiliki batas ketika berjumpa dengan orang lain. Pendidikan multikultural harus dibangun sebagai salah satu upaya membangun “budaya warga negara”. Masalah-masalah sehari-hari seperti pelanggaran lalu lintas, korupsi dan yang lainnya sesunggunya terkait dengan ketiadaan civic culture. Intinya adalah bagaimana manusia patuh pada hukum negara dan menjaga tatanan sosial bukan karena dia orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja dan yang lain tapi karena dirinya sadar sebagai warga negara Indonesia dan juga sebagai warga dunia. Negara-negara yang kita sebut maju seperti Singapura, Eropa persis membangun budayanya dalam kerangka Civic Culture. (*)