Oleh: Nasrullah, Alumni Fakultas Sastra Unhas, Pengajar FIB Unmul Samarinda
Merantau (migrasi) merupakan salah satu aspek penting dalam studi demografi selain kelahiran (fertility) dan kematian (mortality). Fertilitas (fertility), mortalitas (mortality), dan migrasi (migration) merupakan istilah yang sering digunakan oleh ahli demografi dalam mengkaji pertumbuhan dan perubahan penduduk dalam suatu daerah maupun negara. Diantara ketiganya, migrasi merupakan aspek yang jarang dibahas oleh studi demografi, terutama aspek sosial politik dan politik kultural di baliknya.
Riwanto Tirtosudarmo (2021) dalam buku terbarunya From Colonization to Nation State: The Political Demography of Indonesia menjelaskan perihal aspek – aspek sosial politik dan politik kultural di balik data – data demografis Indonesia sejak era kolonial hingga setelahnya di abad ke-21 ini. Riwanto Tirtosudarmo, sebagai peneliti LIPI bidang demografi itu, melihat bahwa migrasi sebagai salah satu bagian dari studi demografi, yang dalam kebudayaan Nusantara disebut dengan merantau, mengandung aspek politis alih – alih sebagai sesuatu yang bersifat romantik dan tanpa kepentingan/relasi kuasa di baliknya.
Tirtosudarmo boleh dikata adalah pengkaji demografi dengan perspektif kritis. Kritiknya terhadap kebijakan transmigrasi dan pembiaran enkapsulasi etnik di kantong – kantong kaya Sumber Daya Alam, termasuk orang Bugis di dalamnya, selalu menarik untuk dibaca. Data – data yang disajikan begitu terbaru lengkap dengan analisis kuantitatif dan kualitatifnya. Aspek politik adalah analisis kualitatif yang senantiasa mewarnai publikasi – publikasi Riwanto yang disatukan dalam bukunya di atas.
Merantau dan Migrasi
Mengenai perbedaan antara konsep migrasi dan merantau ini, Professor Syed Farid Alatas (2022) dalam penjelasan makalahnya yang berjudul On Stupidity pada Konferensi Internasional “Iran and The Malay World” (Iran dan Dunia Melayu) tahun lalu di Kuala Lumpur menegaskan konsep “migrasi”, “merantau” dan “berhijrah” sebagai praktik yang berbeda. Istilah “merantau” digunakan jika seseorang atau sekelompok orang berpindah wilayah dalam masih satu rumpun kebudayaan yang sama. Sementara itu, “berhijrah” digunakan untuk perpindahan penduduk ke wilayah yang memiliki kebudayaan berbeda. Misalnya, seorang Bugis asal Bone berpindah tempat tinggal dari kampung halamannya di Kajuara ke Banjarmasin, itu disebut merantau. Alasannya, karena masih berada pada satu wilayah kebudayaan yang sama, yakni masih dalam suatu wilayah negara Indonesia atau masih dalam satu kesatuan budaya Nusantara/Dunia Melayu. Akan tetapi, akan berbeda jika dia berpindah ke Australia atau Madinah, keduanya merupakan wilayah kebudayaan dan negara berbeda, maka disebut “berhijrah”. Itu dari segi konsep kebudayaan, menurut penjelasan Prof Farid.
Kedua istilah tersebut bagi Professor Syed Farid Alatas, putra mendiang Professor Syed Hussein Alatas penulis The Myth of Lazy Native (Mitos Pribumi Malas) (1977) itu, merupakan suatu bentuk “dekolonisasi pengetahuan”, terangnya pada Konferensi Internasional 29-30 Oktober 2022 di Universitas Nottingham, Kuala Lumpur itu. Dimana, masih dalam penjelasannya, sistem pengetahuan Barat melakukan proses kolonisasi pengetahuan dengan menyamaratakan semua konsep perpindahan penduduk dengan istilah “migrasi”. Apakah perpindahan penduduk itu dilakukan pada satu wilayah dengan rumpun kebudayaan yang sama atau berbeda, semua menggunakan kata “migrasi”. Hal itu tentunya dengan mengabaikan konsep yang telah ada dan membudaya di masyarakat Nusantara. Meskipun sebenarnya, kata “hijrah” pun berasal dari kosa kata Bahasa Arab, namun setidaknya konsep tersebut telah lebih dahulu ada dan dikenali oleh masyarakat Nusantara sebelum gelombang kolonialisme budaya Barat melanda Nusantara. Selain itu, konsep merantau juga mengindikasikan bahwa perpindahan tersebut masih memungkinkan untuk kembali ke daerah asal ketimbang migrasi yang relatif bermakna berpindah untuk menetap.
Perantau Bugis Kekinian
Tulisan Profesor Nurhayati Rahman sebelumnya di Fajar berjudul Sompeq: Representasi Budaya Maritim pada Masyarakat Sulawesi Selatan, setidaknya melengkapi penjelasan dari konsep “merantau” di atas dengan adanya konsep “mallekke’ dapureng” yang menandai suatu proses perpindahan penduduk (merantau) yang tak lagi berniat untuk kembali. Mirip dengan konsep “migrasi” ala Barat yang sebenarnya. Namun, hal itu juga sejalan dengan konsep merantau jika masih dalam satu rumpun kebudayaan yang sama, meskipun dia masuk kategori “merantau permanen” yang dibedakan dengan “merantau sementara/temporal”, jika harus dibuatkan lagi kategorisasi konsep demikian.
Akan tetapi, yang membedakan tulisan ini dengan tulisan Prof Nurhayati di atas adalah dari segi pandangan bahwa apakah merantau dewasa ini masih bisa disebut sebagai suatu budaya maritim atau bukan, dalam hal ini apakah merantau merupakan sebuah bentuk kebudayaan yang menjadi tradisi atau sebuah keterpaksaan sebagai cara bertahan hidup (survivability) “orang bugis” dewasa ini?
Argumen pada tulisan ini berangkat pada pengalaman mengamati para perantau Bugis di Kalimantan. Beberapa perantau yang saya jumpai mengatakan bahwa mereka merantau karena “terpaksa”. Salah satu yang memaksa mereka adalah “faktor ekonomi” berupa “keterbatasan lahan garapan” untuk bertahan hidup. Baik itu lahan garapan pertanian, maupun “lahan” berdagang, dan “lahan” mengabdi.
Pertama, mengenai terbatasnya lahan garapan pertanian. Hal ini sudah lazim terjadi, bahwa mereka yang tak lagi kebagian lahan warisan maupun tak mampu membeli lahan untuk bertani akan memilih merantau. Soal apakah di tanah rantau mereka membuka lahan atau menjadi buruh kasar, biarlah nasib yang menjawabnya. Bagi yang memiliki modal untuk berniaga, beberapa memilih membuka warung kelontongan di tempat yang disewa atau dibelinya di tanah rantau, atau menyewa tempat di pasar, dan tak sedikit menjadi peniaga di pasar malam. Yang terakhir ini khas masyarakat Melayu Kalimantan dan Semenanjung Malaysia, dimana orang Bugis juga turut serta menjadi pedagang / peniaga pasar malam di dalam praktik “Ekonomi Melayu” ini.
Kedua, keterbatasan lahan berniaga. Hal ini berkaitan dengan perantau yang memiliki modal kecil. Keterbatasan lahan berdagang terkait peluang berniaga di tanah asal di Sulawesi Selatan yang dinilai sudah lebih sulit karena banyaknya saingan sementara pasar semakin sempit. Atas dasar itu, mereka memilih merantau mencari tempat berniaga yang relatif jarang pesaing dan daya beli masih tinggi. Maka menjadi pedagang pasar, membuka warung kelontongan yang dikenal dengan “Warung Daeng” — yang ini khas Samarinda dan Kalimantan Timur secara umum — dan menjadi pedagang atau penjual di pasar malam, adalah pilihan mata pencaharian (livelihood) untuk bertahan hidup dan menyambung hidup di tanah rantau. Mereka “dipaksa” keluar mencari tempat berniaga karena keterbatasan ruang berniaga di tanah asal.
Ketiga, terkait keterbatasan lahan pengabdian atau pekerjaan di sektor jasa dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Keterpaksaan ketiga ini merupakan faktor pendorong orang – orang Bugis – Makassar, khususnya kaum mudanya untuk merantau di masa kekinian. Sempitnya peluang untuk bekerja di sektor jasa dan ASN di Sulsel membuat ratusan bahkan barangkali ribuan anak muda Sulsel beterbangan ke seluruh Indonesia untuk mendaftar dan menetap di pulau dan provinsi lain. Bahkan beberapa diantara mereka menyeberang hingga ke Australia dan Malaysia. Kata mereka yang saya sempat temui, “daripada menganggur dengan status berijazah sarjana apalagi Master di kampung halaman, lebih baik (terpaksa) merantau ke luar daerah hingga ke luar negeri supaya bisa ada dikerja”, karena “menunggu lowongan di Sulsel, apalagi di Makassar, serba tak pasti dan bisa lama, sementara kebutuhan semakin mendesak”. Terpaksa karena terdesak kebutuhan, sementara pekerjaan tetap tak kunjung didapat membuat gelombang perantauan anak muda Sulsel semakin tak terbendung.
Dari ketiga bentuk faktor pendorong “keterpaksaan” di atas, maka menurut saya, apa yang Prof Nurhayati sebutkan bahwa “merantau sebagai representasi budaya maritim masyarakat sulsel”, untuk saat ini adalah bagian dari “romantisme masa lalu”. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa merantau bagi masyarakat sulsel kekinian (jaman now), terutama kaum mudanya adalah sebuah “keterpaksaan” yang didorong oleh faktor ekonomi, alih – alih sebuah representasi budaya, apalagi budaya maritim. Karena, hal yang sama juga dilakukan oleh anak – anak muda dari Pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan pulau – pulau lain di Indonesia. Bahkan, perantau muda dari Jawa jumlahnya jauh lebih banyak dan semakin massif. Dan, sebagian besar didorong oleh faktor ekonomi, bukan budaya.
Fakta semakin menguatnya keterpaksaan merantau ini sebenarnya dapat menyasar kebijakan pemerintah atau penguasa di Sulawesi Selatan dari Gubernur, Bupati, Camat, hingga Lurah dan Kepala Desa dalam menyiapkan mata pencaharian memadai kepada rakyatnya agar tidak “terpaksa” merantau ke luar daerah. Bahkan secara kultural hal ini juga merupakan cermin kegagalan kaum cerdik cendekia, akademisi di Universitas, para punggawa dan tomatoa (para patron), dan tokoh masyarakat dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang dapat menyiapkan pekerjaan di kampung halaman agar dapat menekan laju angka “perantauan terpaksa” ini.
Mengapa menekan laju angka merantau/migrasi ini penting bagi pemimpin pemerintahan pemimpin informal bagi masyarakat Bugis? Hal itu karena di awal abad ke-21 ini dan kedepannya, kerentanan (vulnerabilities) di tanah rantau juga semakin tinggi mengingat faktor perubahan iklim dan pemanasan global membuat pekerjaan dapat menjadi “rebutan” dengan penduduk setempat (natives/local residents) yang rawan konflik sosial – komunal. Selain itu, kota – kota yang menjadi tujuan merantau orang – orang Bugis juga semakin sesak dan semakin tidak layak huni. Hal ini terkait dengan prediksi hasil – hasil riset yang melihat masih tingginya angka urbanisasi ke depan dan di saat bersamaan kota – kota tujuan urbanisasi semakin menurun kualitas “layak huni”-nya (Kompas, 2023). Ini kenapa pemimpin – pemimpin dan cendekia di tanah Bugis layak “ditagih” peran dan fungsinya untuk dapat menyediakan hidup yang layak bagi rakyatnya agar tak meninggalkannya dengan merantau ke luar Sulsel.
Kemudian, hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan tingginya jumlah “keterpaksaan” merantau sekarang ini di Sulsel, turut menggugah sifat “siri’ na pesse” pemerintah dan penguasanya bersama kaum cerdik pandainya untuk melahirkan solusi berupa kebijakan dan strategi dalam mengurangi “tingkat keterpaksaan merantau” tersebut? Jika tidak, “narasi romantik” tentang “merantau sebagai budaya” tak lain dan tak bukan sesungguhnya adalah cara “melarikan diri” atau langkah melepas tanggung jawab dari peliknya kenyataan hidup orang Bugis – Makassar dan masyarakat Sulsel secara umum dewasa ini, yang sebenarnya juga sedari dulu sudah ada yang hidup susah di kampung halaman maupun di tanah rantau. Dengan demikian, semakin jelas bahwa keterpaksaan akibat desakan ekonomi adalah faktor pendorong merantau (sompe’), bukan semata karena faktor budaya secara an sich.
Siri’ na Pesse adalah masa lalu?
Publikasi Tessa D. Toumbourou dkk tentang penggunaan lahan dan perubahan mata pencaharian di Kalimantan Timur berjudul Plantations enabling mines: Incremental industrial extraction, social differentiation and livelihood change in East Kalimantan, Indonesia, menampilkan profil para perantau Bugis di pulau seberang tersebut. Publikasi ini bahkan mengkonfirmasi bahwa para perantau Bugis, khususnya di Kalimantan Timur, tidaklah selamanya memiliki kisah yang “romantik” lagi “heroik”, melainkan boleh jadi “tragik”. Pada faktanya, kisah sukses tak selalu mewarnai perjalanan hidup perantau Bugis di kampung orang. Bahkan, kisah sulit hingga sedih juga turut menjadi warna lain dari kisah para perantau Bugis.
Para perantau Bugis Kalimantan di jurnal internasional ini terbagi dua, yaitu perantau lama (frontiers) dan perantau baru (new comers). Perantau bugis lama akrab dengan Orang Dayak Modang, penduduk setempat. Sementara itu, perantau baru (new comers) disebut kurang akrab dengan perantau Bugis lama maupun masyarakat Dayak Modang setempat. Bahkan, keduanya, perantau bugis lama dan baru boleh dikata memiliki rivalitas secara tidak langsung dalam hal penguasaan tanah. Artinya “romantisme pesse” yang Prof Nurhayati sampaikan pada tulisannya di atas boleh dikata gugur dengan sendirinya pada kasus ini, karena sesama Bugis tidaklah saling membantu satu sama lain melainkan dapat dilihat sebagai “ancaman”, bahkan pesaing baru.
Bahkan perantau baru ini tidaklah begitu akrab dengan penduduk setempat apalagi sampai ma pesse dengan penduduk asli setempat karena akses terhadap tanah garapan yang sudah semakin terbatas / terbatas akibat penguasaan lahan yang besar oleh perusahaan sawit dan batubara atas izin pemerintah. Diketahui, tak sedikit pemimpin setempat yang juga berketurunan Bugis, tapi tak berpengaruh signifikan untuk mewadahi kepentingan ekonomi para perantau Bugis baru ini yang juga adalah “sempugi”-nya. Sekali lagi, sampai di sini masihkah siri’ na pesse relevan??
Boleh jadi, kelangkaan sumber daya juga turut mengikis rasa sempugi (solidaritas / pesse) sesama perantau Bugis. Dengan demikian, faktor ekonomi menjadi penentu dari wujud tidaknya praktik budaya yang dianggap sebagai “nilai yang senantiasa terbawa” (inheren/embodied) oleh perantau Bugis tersebut. Olehnya, perwujudan siri’ na pesse di tanah rantau saat ini, boleh dikata bersifat fluktuatif/dinamis alih – alih statis mengikuti fluktuasi ketersediaan sumber daya material. Artinya, sesama orang Bugis di tanah rantau bisa saja menjadi bersaing satu sama lain dalam memperebutkan sumber daya material tersebut dengan mengesampingkan nilai – nilai siri’ na pesse yang dibilang karakteristik manusia Bugis tersebut.
Jika demikian, siri’ masing – masing tak lagi dilengkapi oleh pesse kepada sesama. Padahal, siri’ na pesse merupakan pasangan nilai yang tak terpisahkan dalam masyarakat Bugis-Makassar. Ini juga lah yang menjadi ciri khas masyarakat Bugis – Makassar dengan menjadikan nilai siri’ (malu/harga diri) berpasangan dengan pesse (empati / solidaritas)dan warani (berani) berpasangan dengan macca (pandai). Tanpa memasangkan keduanya, nilai – nilai tersebut merupakan nilai – nilai tersendiri yang sesungguhnya merupakan nilai universal yang juga dimiliki oleh kebudayaan lain.
Kematian sejarah Nilai Budaya Bugis?
Kembali ke merantau (sompe’) sebagai budaya atau keterpaksaan dewasa ini, aktivitas merantau saat ini sepantasnya tidak lagi dilihat sebagai “kisah romantik” semata. Sebagaimana, kematian dua orang Pekerja Migran Indonesia (PMI) setiap hari di tahun 2022 (Data Kompas, 2023) masih saja diromantisasi sebagai “pahlawan devisa”. Senasib dengan guru kita yang digaji rendah namun diberikan tugas berat di pundaknya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tak henti – hentinya dipuja sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Padahal cerita suram dan menyedihkan baik PMI maupun Guru Indonesia merupakan sebuah kegagalan manusia bernama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Para perantau Bugis – Makassar dan manusia perantau asal Sulawesi Selatan juga sepantasnya dipandang demikian. Tak lagi senantiasa diromantisasi sebagai “penerus budaya maritim”, melainkan dipandang secara kritis. Bahwa semakin banyak rakyat suatu wilayah yang keluar untuk mencari sesuap nasi, berarti kegagalan pemimpinnya untuk memenuhi keperluan dasar tersebut untuk menyediakan pekerjaan di kampung halaman sendiri. Karena keterbatasan akses secara material boleh jadi berpotensi mempercepat kematian nilai budaya siri’ na pesse bagi masyarakat perantau Bugis-Makassar tersebut. Baik di tanah rantau maupun di kampung halaman.
Dengan begitu, semoga kisah sedih di tanah rantau tak perlu dielus – elus dengan cerita – cerita romantik berbalut “narasi budaya”, melainkan melahirkan aksi mendesak untuk diatasi secara kritis dan serius.
Semoga. (*)