English English Indonesian Indonesian
oleh

Wisuda TK – SMA: Pride or Ego?

Oleh: Rahmat, Pengajar di SD Rumah Sekolah Cendekia, Gowa

Belakangan ini wacana tentang wisuda peserta didik mulai dari jenjang PAUD/TK, SD, SMP, hingga SMA sedang viral. Ihwal ini tentu saja menjadi fenomena dalam masyarakat. Sebab acara wisuda dulunya hanya untuk lulusan sarjana atau wisuda santri TPA saja, sekarang anak sekolah juga sudah mulai mengadakan acara seremonial tersebut. Bahkan beberapa anak TK pun tak mau kalah, mereka turut serta mengenakan toga saat acara wisuda. Seolah hendak menyaingi wisudawan sarjana.

Berbagai media pun yang menyoroti hal tersebut. Republika, dengan judul pemberitaan “Beratkan Orang Tua, Kemendikbudristek Diminta Tegas Larang Wisuda di Tingkat TK-SMA”. Liputan 6, dengan judul “Warganet Protes Wisuda Bikin Susah Orangtua, Pinta Kemendikbud agar Dibuat untuk yang Lulus Kuliah Saja”.

Namun, semakin kesini perihal tersebut mengalami pergeseran substansi. Bila berangkat dari definisi, wisuda adalah peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Kini, definisinya seolah ditambah “mesti dilakukan di tempat yang mewah”. Indikasinya, seringkali kita jumpai di media social. Misalnya, seorang ibu dengan bangga memposting foto wisuda anaknya yang diadakan di Gedung ternama atau bahkan di hotel bintang 4. Terlihat cantik sebab dimake-up layaknya para wisudawan sarjana walaupun masih usia TK. Meski begitu, ada juga beberapa orangtua sampai mengeluh namun tetap saja mengikuti arus walaupun biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit. Seolah-olah wisudanya tidak sah bila tidak bermewah-mewahan.

Di sisi lain, kita juga sering menjumpai, kekesalan orangtua melalui cuitan di media social, lantaran telah membayar biaya wisuda hingga jutaan, namun yang didapatkan tidak sesuai dengan ekspektasinya. Misalnya, dibiarkan menunggu lama, konsumsi kurang enak, pelaksanaannya kurang menarik dan hanya mendapatkan selembar Ijazah dan foto yang barangkali kurang memuaskan.

Berangkat dari fenomena ini, tentu saja kita sebagai tenaga pengajar mesti bersuara akan hal tersebut sehingga fenomena seperti ini tidak menjadi kebiasaan dan berujung jadi budaya pamer, adu gengsi, strata sosial di kalangan masyarakat yang mengedepankan egonya. Sebab, selain berdampak kepada perilaku masyarakat, tanpa disadari anak juga menjadi korban eksploitasi sebagai generasi muda yang akan melanjutkan tongkat estafet bangsa ini. Bisa saja dipikiran mereka akan terbentuk, bahwa wisuda mesti harus mewah.

Kedepannya, acara wisuda bisa jadi akan hilang esensinya, dan mereka akan menganggap acara ini biasa saja. Bukan sebagai sesuatu hal yang sakral lagi atau membutuhkan usaha lebih untuk menggapainya. Sehingga berpotensi mempengaruhi psikologi anak untuk wisuda-wisuda pada jenjang lebih tinggi. Sekali lagi, Jika tidak disikapi dengan bijak, tentu akan mempengaruhi juga perilakunya di kemudian hari.

Lebih dari itu, kebiasaan seperti itu berpotensi menimbulkan bullying ketika ada salah satu anak yang tidak mengikuti wisuda. Meski punya alasan lain atau bahkan jika orangtuanya memang tidak sanggup untuk mengeluarkan biaya yang besar. Bagi yang berduit, tentu saja tidak menjadi masalah. Bahkan ada kecenderungan untuk menunjukkan rasa bangga ke semua orang atas pencapaian anaknya. Kejadian seperti ini tentu menjauhkan kita dari esensi acara wisuda.

Sependapat dengan tanggapan Kemendikbud Ristek baru-baru ini, bahwa kuncinya kita mesti berkomunikasi. Diadakan atau tidak, bergantung pada keputusan bersama. Dikutip dari kompas.com, “Kemendikbud Ristek mengimbau agar pihak sekolah dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan komite sekolah dan persatuan orangtua murid dan guru (POMG),” (16 Juni 2023). Jadi, dapat disimpulkan bahwa perihal acara wisuda boleh dikatakan opsional.

Maka dari itu, sebagai pendidik tentu kita bisa memberikan pemahaman ke orangtua tentang acara seremonial tersebut. Banyak hal bisa dilakukan untuk membuat kesan, atau menciptakan momen spesial untuk anak, dan tidak harus mahal. Seperti membuat kegiatan family gathering yang melibatkan semua murid orangtua, dan keluarga dekatnya. Selain penamatan dan penampilan seni, kegiatannya juga bisa diisi dengan games antar keluarga. Selain sebagai hiburan, kegiatan ini tentu akan memberi kesan tersendiri bagi anak.

Institusi Pendidikan juga tidak boleh memaksakan orangtua untuk mengikuti kehendaknya. Sebab, dalam aturan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 menyebutkan kegiatan bersama antara satuan Pendidikan yang melibatkan orangtua harus didiskusikan dengan komite sekolah. Intinya mesti dikomunikasikan dengan baik.

Terakhir, sebagai generasi terdidik, kita harus lebih jeli dalam melihat situasi. Kita bisa menilai sendiri sejauh mana kapasitas dan kemampuan kita. Alih-alih menciptakan momen special untuk anak kebanggaan kita namun justru malah terjerumus ke dalam budaya konsumerisme. Hal ini mesti kita hindari demi menutup keran peluang terjadinya pungli. (*/)

News Feed