PRISMA : Muliyadi Hamid
Pelayanan perizinan merupakan salah satu kewajiban administratif pemerintah yang dibutuhkan banyak warga Negara. Selain karena sangat dibutuhkan, juga karena masih bersifat monopolistik, maka pelayanan perizinan ini seringkali dijadikan sebagai ‘lahan’ bagi oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan pribadi secara illegal. Modusnya bermacam-macam. Salah satu yang paling umum adalah memanfaatkan proses yang panjang dan berbelit-belit. Oknum biasanya menawarkan ‘jasa’ mempersingkat proses tadi. Dan karena ‘jasa’, tentu saja berbiaya. Maka terjadilah biaya tinggi dalam pelayanan perizinan.
Proses yang panjang dan berbelit-belit dari pelayanan perizinan mutlak dipangkas. Upaya ke arah itu terus dilakukan. Salah satunya adalah melalui penyederhanaan perizinan. Secara umum, penyederhanaan perizinan dapat dilakukan melalui tiga strategi pokok, yakni; (1) penyederhanaan proses dan prosedur, (2) penyederhanaan administratif, dan (3) penyederhanaan melalui pengurangan jumlah izin.
Karena keterbatasan ruang, maka kali ini yang dibahas adalah strategi penyederhanaan proses dan prosedur. Salah satu strategi penyederhanaan proses dan prosedur perizinan yang telah ditempuh oleh pemerintah adalah melalui penerapan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Bahkan saat ini sudah banyak dilakukan dengan membentuk mal pelayanan publik (MPP). Di dalam MPP, biasanya beberapa layanan tersedia, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, maupun yang sudah diselenggarakan badan usaha (BUMN/BUMD). Karena masih relative baru, maka belum semua daerah memiliki MPP.
Sistem PTSP atau MPP memungkinkan pemohon izin hanya mendatangi satu tempat saja. Biasanya PTSP diselenggarakan oleh Kantor atau Badan perizinan yang diberikan kewenangan oleh Gubernur pada tingkat provinsi dan Bupati/Walikota pada tingkat kabupaten/kota untuk menyelenggarakan perizinan secara terpadu. Jika sistem ini diterapkan dengan baik, maka akan sangat efektif mengurangi waktu dan biaya pelayanan. Selain itu, memudahkan aksesibiltas pemohon, karena hanya berhubungan dengan satu instansi saja.
Esensi penyederhanaan melalui sistem PTSP ini meminimalkan interaksi antara pemohon dengan penyedia layanan. Dengan demikian, potensi pungutan liar dapat diminimalkan. Bahkan, di kantor PTSP sendiri, pemohon hanya diperkenankan bertemu dengan petugas kantor depan (front office) saja. Proses selanjutnya akan diselenggarakan secara internal oleh petugas kantor dalam (back office), termasuk jika diperlukan proses kajian teknis atau kunjungan lapangan oleh intansi teknis, seperti SKPD. Penandatanganan izin pun dilakukan oleh kepala PTSP.
Esensi lain dari PTSP ini adalah memungkinkannya dilakukan proses perizinan secara paralel bagi permohonan sekaligus lebih dari satu izin dari satu pemohon. Artinya, jika seorang pemohon membutuhkan lebih dari jenis izin, maka dapat diproses secara bersamaan, tanpa harus menunggu selesai lebih dahulu satu izin. Meskipun, yang satunya menjadi persyaratan bagi izin lainnya. Meskipun sistem PTSP dinilai mampu meminimalkan interaksi, namun memangkas waktu dan biaya pelayanan masih membutuhkan strategi penyederhaanaan administratif dan pengurangan izin. (*)