English English Indonesian Indonesian
oleh

HAM dan Penyadapan

Majalah Tempo edisi tanggal 11 Juni 2023 kemarin memuat sebuah laporan/artikel yang berjudul: “Bahaya Alat Sadap Pegasus di Indonesia.” Dalam artikel itu — dinyatakan bahwa pemerintah sudah saatnya mengkaji ulang pembelian alat sadap oleh lembaga negara. Lemahnya perangkat hukum dan pengawasan membuka ruang terjadinya penyalahgunaan yang mengancam hak asasi warga negara. Dalam artikel itu disebutkan bahwa hasil investigasi sekelompok media yang trgabung dalam IndonesiaLeaks — menenggarai ada pembelian alat sadap buatan perusahaan Israel, NSO Group Technologies, yang bernama Pegasus oleh lembaga resmi negara.

Sesungguhnya kita harus memahami bahwa penyadapan harusnya ‘tindakan hukum’ dalam sejumlah kasus memang berguna sebagai salah satu cara mengungkap kejahatan. Sebuah upaya untuk mendeteksi tindakan kriminal, terorisme, dan korupsi. Namun, dalam praktiknya, alat sadap juga harus diduga dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Bagi beberapa kritikus pemerintah ‘target operasi’ dapat digunakan sebagai ‘alat’ untuk membungkam mereka. Alat sadap pada akhirnya bisa saja membungkam para pihak yang diinginkan oleh pihak tertentu. Pada gilirannya alat sadap bisa menjadi bagian dari ‘pelanggar hak asasi seseorang.’

***

Ada pengamat yang menegaskan dalan perspektif Hak Asasi Manusia, penyadapan — apalagi itu tidak dilakukan dengan kepatutan yang diatur hukum — dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Itu termaktub dalam Pasal 12 Declaration of Human Right dan Pasal 17 International Covenant on Civil and Political Rights yang menyatakan bahwa: “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.”  Indonesia kemudian meratifikasi substansi tsb dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On  Civil and Political Rights). Pasal tersebut menyatakan bahwa seseorang atau kelompok orang termasuk tidak boleh seorang pun yang dapat secara aparat negara baik disengaja maupun tidak sewenang-wenang atau secara tidak sah disengaja atau kelalaian yang secara melawan dicampuri masalah-masalah pribadinya, hukum mengurangi, menghalangi, keluarganya, rumah atau hubungan surat-membatasi, dan atau mencabut hak asasi menyuratnya, atau secara tidak sah diserang manusia seseorang atau kelompok orang yang kehormatan dan nama baiknya.

Masifnya penyalahgunaan alat sadap tak lepas dari tidak adanya undang-undang yang mengatur secara jelas aktivitas penggunaan alat sadap oleh lembaga pemerintah. Kekosongan aturan ini ikut memberi ruang bagi orang sipil yang bisa dengan mudah membeli perangkat sadap untuk kepentingan pribadi. Lebih parah pagi — jika karena aturan yang tak jelas — objek penyadapan diperluas hingga mengganggu pribadi dan kehormatan seseorang.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan kita harapkan bisa segera tiba di DPR agar nantinya bisa menjadi alat kontrol penggunaan alat sadap oleh lembaga negara, sekaligus memastikan jaminan perlindungan hak privasi masyarakat.

***

Kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di Turki di tahun 2018 silam oleh oknum ‘petugas khusus’ dari Arab Saudi mengingatkan kita pada alat penyadap Pegasus. Edward Snowden — mantan staf intelijen Amerika Serikat — menuding Arab Saudi menggunakan Pegasus, untuk ‘mengintai aktivitas’ kolumnis yang selalu kritis terhadap pemerintahnya tersebut. Kita berharap tak ada kasus Khashoggi yang menimpa siapapun di republik ini. Kita menunggu hukum yang mengatur urusan sadap-menyadap ini. Adagium latin mengatakan: Inde datae leges be fortior omnia posset. Hukum harus dibuat, jika tidak orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas. ***

News Feed