Kaum intelektual dituntut untuk memaksimalkan perannya agar ilmu pengetahuan yang dimiliki. Pemanfaatan akal dalam memaksimalkan peran juga tentunya memiliki pengaruh yang signifikan, kecerdasan dalam mengelolah pengetahuan akan mengarahkan kader yang berhimpun dalam tubuh ikatan mampu mewujudkan cita-cita ikatan sebagai akademisi islam, intelektual yang turut berhimpun dalam ikatan seharusnya mampu mencari solusi dalam menghadapi berbagai problem yang ada dalam ikatan yang tentunya melalui pertimbangan yang rasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan, kita akan senantiasa dipertemukan dengan kerikil ataupun duri yang mengharuskan kita untuk menghindar dari keduanya.
Hemat penulis dalam hal ini menilai bahwa seorangi ntelektualis seharusnya konsisten menunjukkan berbagai gagasan yang sifatnya membangun, miris rasanya jika value yang bernilai positif disandarkan kepada para intelektualis bahkan harus rela menunjukkan wajahnya yang koyak akibat beberapa permainan yang membawanya bermain jauh hingga jatuh di kubangan lumpur. Utamanya dalam tubuh ikatan, konsistensi dalam menggagas inovasi-inovasi harus terus berlanjut agar tidak mendapati rasa jenuh sebagai akibat dari adanya rasa cukup dengan apa yang dijalani saat ini. Jangan sampai kita terninabobokkan oleh rasa cukup hingga tergiring pada lembah yang menjebak dengan berbagai tendensius yang ada didalamnya.
Tentunya tulisan ini hanyalah sebuah bahan perefleksian bagi kita yang berhimpun dalam tubuh ikatan dengan ikhtiar untuk membangun dan melanjutkan ghirah perjuangan, serta mengingatkan kembali sejauh apa langkah yang telah kita bangun bersama. Satu hal yang paling menakutkan dan memalukan dalam hal ini jika kita dilabeli sebagai “ntelektual seolah-olah”, yang merasa paling banyak menyumbang gagasan dan paling banyak berkorban hingga mampu memberikan justifikasi yang tidak bermoral atau bahkan lepas dari etika intelektual.
Billahi fii sabililhaq Fastabiqul khaerat.(*)