Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf, Tenaga Pengajar FEB Unhas/ Ketua KPPU RI 2015-2018
Ekonom senior Amerika Serikat (AS), Nouriel Roubini pada Mei 2023 menyebutkan sistem cadangan devisa global sedang mengalami perubahan. Dari unipolar yang didominasi oleh dolar AS menjadi bipolar dengan dua mata uang utama global.
Saat ini, sedang terjadi pergeseran dominasi penggunaan dolar AS dalam cadangan devisa dan transaksi internasional. Hal ini dapat diamati pada kesepakatan Local Currency Settlement (LCS), yaitu kesepakatan penggunaan mata uang lokal dalam membayar transaksi ekspor, impor, dan transaksi keuangan lain.
Kesepakatan LCS terbaru dilakukan oleh negara-negara ASEAN, yaitu kesepakatan untuk melakukan pembayaran ekspor dan impor antarnegara Asia Tenggara menggunakan mata uang masing-masing negara ASEAN. Transkasi ekspor dan impor ASEAN sebelumnya dilakukan dengan menggunakan dolar AS.
Demikian juga dengan kelompok BRICS yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, menyepakati penyelesaian transaksi internasional dengan menggunakan mata uang lokal masing-masing negara. Kesepakatan-kesepakatan LCS di atas akan menurunkan peran dolar AS dalam transaksi internasional.
Sistem Bipolar
Peranan dolar AS sebagai cadangan devisa global mengalami penurunan dari 71 persen pada 2000 menjadi 59 persen 2021. Namun, angka ini masih jauh dari kontribusi mata uang lainnya, seperti Euro sekitar 21 persen, Yen Jepang lebih kecil lagi hanya 6 persen, Poundsterling Inggris 5 persen, dan Renminbi China sekitar 2 persen.
Dominasi dolar AS secara global dimulai saat pertemuan sekitar 700 delegasi yang berasal dari 44 negara pada 1944 di Bretton Wood, New Hampshire, AS. Kesepakatan Bretton Wood juga menjadi titik awal dolar AS menggantikan peran Poundsterling Inggris sebagai mata uang global.
Pertemuan tersebut menyepakati sistem devisa yang menguntungkan bagi semua negara dengan mengaitkan mata uang masing-masing negara terhadap dolar AS. Di mana 44 negara juga bersepakat untuk mengonversi cadangan devisanya ke dalam dolar AS. Sistem tersebut dikenal sebagai Bretton Woods System (BWS).
Akan tetapi, seiring dengan menurunnya porsi perekonomian AS dalam perekonomian global, peran dolar AS sebagai mata uang global juga mengalami penurunan. Di mana, banyak negara yang mengalihkan transkasi dan cadangan internasionalnya dari dolar AS ke mata uang lain, khususnya Renminbi China.
Pergeseran penggunaan dolar AS ke mata uang lainnya yang dikenal dengan dedolarisasi berlangsung secara lebih cepat setelah AS memberlakukan sanksi keuangan kepada Rusia. Pergeseran penggunaan dolar AS karena pemerintah AS selalu menggunakan tekanan finansial kepada negara lain terkait dengan isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM).
Dominasi Renminbi
Dedolarisasi dalam dua tahun terakhir berlangsung sangat cepat. Hal ini dapat diamati pada penurunan porsi dolar AS dalam cadangan devisa dan transaksi internasional yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yaitu sekitar 47 persen pada 2022. Diperkirakan akan terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun ke depan.
Ekonom senior, pemenang hadiah Nobel Ekonomi, Paul Krugman justru memperingatkan adanya potensi bahaya terhadap pasar keuangan jika terjadi disrupsi dalam penggunaan dolar AS. Di mana tidak satu pun mata uang yang dapat berperan sama, seperti dolar AS sebagai mata uang safe haven dan paling likuid.
Paul Krugman dalam kolomnya di The New York Times menyebutkan, menurunnya dominasi dolar AS dan meningkatnya peran Renminbi China adalah sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan. Renminbi China bukan rival yang sepadan bagi dolar AS mengingat hingga saat ini pemerintah China masih menerapkan regim capital control (mengawasi arus modal masuk dan keluar China).
Selain itu, Renminbi China juga menghadapi tantangan lain untuk berperan lebih besar dalam sistem devisa dan transaksi internasional, yaitu keberadaan institusi keuangan bank dan nonbank dalam memfasilitas transkasi internasional investor swasta yang kompleks. Produk keuangan China yang lebih beragam akan memberikan kesempatan kepada investor memilih menempatkan portofolionya dalam berbagai produk keuangan China.
Kesepakatan LCS tidak cukup untuk menggantikan dominasi dolar AS dalam transaksi internasional. Pemerintah China diharapkan mampu meyakinkan negara-negara BRICS dan ASEAN untuk menggunakan Renminbi China dalam cadangan devisa dan transaksi internasionalnya.
Tantangan terbesar Renminbi China justru berasal dari anggota BRICS lainnya, yaitu India yang secara politik bersebarangan dengan China. Selain itu, pemerintah India juga sedang melakukan kampanye penggunaan Rupee India dalam transaksi internasional.
Kesepakatan LCS antara anggota BRICS yang diikuti oleh 10 negara anggota ASEAN akan mengurangi peran Dollar AS dalam transaksi internasional. Namun, kesepakatan tersebut tidak akan menggantikan dominasi dolar AS dalam cadangan devisa dan transaksi internasional. (*)