Oleh : Hamsinah, Dosen UMI/ Pengurus MASIKA ICMI Sulsel
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan peraturan yang menurut saya aturan tersebut mencederai hak perempuan untuk berpartisipasi dan ikut terlibat dalam kontestasi Pemilihan Umum tahun 2004 mendatang.
Kenapa demikian? Karena aturan tersebut tidak berlaku adil bagi calon legislatif perempuan terkait perhitungan suara untuk mencapai kuota 30 persen sesuai dengan amanah undang-undang kepemiluan no 7 tahun 2017.
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sebagai berikut :
Dalam hal perhitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon Perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat decimal di belakang koma bernilai:
a. Kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau
b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Jika KPU tidak merevisi aturan tersebut maka akan sangat merugikan perempuan dan kuota 30 persen keterwakilan perempuan tidak akan pernah terwujud. Apalagi dilakukan sistem perhitungan pembulatan ke bawah. Contoh kasus, misalnya jika ada bakal calon legislatif perempuan yang mendaftar sebanyak 4 orang maka keterwakilan perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen adalah 1,2. Jika menganut paham pembulatan ke bawah karena pecahan desimalnya di belakang koma kurang dari 50 maka keterwakilan perempuan hanya 1. Artinya kuota perempuan hanya 25 persen tidak sampai 30 persen.
Menurut saya peraturan KPU tersebut akan menghalangi pencapaian target afirmasi perempuan di parlemen. Dan hal tersebut sangat merugikan dan menghalangi semangat perempuan yang sampai saat ini berjuang untuk meningkatkan keterwakilannya di parlemen. Dengan aturan tersebut maka keterwakilan perempuan untuk mencapai kuota 30 persen tidak akan pernah tercapai.
Peraturan KPU juga ini bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal 245 yang berbunyi, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 % (tiga puluh persen). Pasal ini sudah jelas mengatakan bahwa keterwakilan perempuan minimal 30 persen, bukan maksimal 30 persen.
KPU harus segera merevisi peraturan yang dibuatnya, sebaiknya perhitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil yang menghasilkan angka pecahan dua tempat desimal di belakang koma kurang dari 50 sebaiknya dilakukan pembulatan ke atas. Sehingga keterwakilan perempuan sesuai dengan amanah undang-undang bisa terwujud.
Fenonema kuota 30 persen keterwakilan perempuan bukan hanya menjadi dilema pada proses pencalonan legislatif saja, tetapi di anggota komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) baik di tingkatan pusat, provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Misalnya KPU RI hanya satu perempuan yang menjadi komisioner dari tujuh komisioner KPU RI yaitu Betty Epsilon Idroos. Bawaslu RI hanya satu perempuan dari lima anggota yaitu Lolly Suhenty.
Penyelenggara pemilu di Sulawesi Selatan dalam hal ini KPU dan Bawaslu juga hanya beranggotakan masing-masing satu perempuan. Anggota komisioner perempuan yang terpilih di KPU provinsi Sulawesi Selatan hanya satu yang terpilih yaitu Upi Hastati yang merupakan incumbent anggota KPU Sulawesi Selatan periode sebelumnya. Begitu juga di Bawaslu Provinsi Sulsel yang terpilih juga hanya satu perempuan yaitu Mardiana Rusli.
Dengan keterwakilan perempuan yang tidak memenuhi kuota 30 persen di parlemen bahkan sebagai penyelenggara pemilu, saya beranggapan apakah perempuan masih dipandang sebelah mata yang kurang memiliki kemampuan di wilayah tersebut, ataukah perempuan dianggap hanya cocok di wilayah domestik saja?
Kalau benar demikian, maka ini tantangan bagi perempuan untuk memaksimalkan segala potensi yang dimiliki agar bisa bekerja dan menempatkan diri secara profesional sehingga bisa berkarir sesuai dengan minat dan passion masing-masing, dengan tidak meninggalkan tanggung jawab sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya. (*)