English English Indonesian Indonesian
oleh

Cerpen: Another Side

Ini sudah berjam-jam dan bahkan aku belum mendapatkan apa-apa. Kaki mungilku terus kupaksa berjalan meski sebenarnya aku sangat lelah. Jika aku tiba-tiba berhenti di gang sempit ini, tidak menutup kemungkinan para jantan akan kembali mengejarku.

“Huuh.., aku benar-benar lapar sekarang,” keluhku sesaat setelah di depanku tidak ada lagi jalan.

“Oh, apa itu? Mengapa tempat ini begitu bau dan kotor?”

Kakiku terus melangkah mendekati tepian sungai, sementara bau menyengat itu kian kuat.

“Ya ampun… Mengapa sungai ini sangat menjijikkan? Ewwhh!” ucapku sambil mundur perlahan.

Oh, ayolah, aku ini berasal dari tempat yang bersih dan terawat plus sangat dimanjakan. Melihat tempat seperti ini pertama kali rasanya lapar di perutku langsung hilang, berganti dengan rasa jijik dan mual. Aku benar-benar benci Max sekarang, kalau bukan karena dia yang mengagetkanku mungkin aku tidak akan lompat dari mobil begitu saja dan berakhir menyedihkan di jalanan.

“Tuhan jika kau benar-benar ada bisa turunkan pesawatmu sekarang? Atau beritahu Carla aku ada di sini! Aku benar-benar ingin pulang…!” aku berteriak frustasi sambil memandang langit yang mulai menampakkan sinar jingganya.

“Berhenti menggerutu! Kau pikir kau adalah makhluk paling menderita di sini? Dasar menyebalkan. Kau hanya menambah sesak di sini dengan gerutuanmu itu,” ucap sebuah suara yang entah datangnya dari mana.

“Siapa kau? Kau di mana?” aku berteriak sambil memandangi sekitar dengan waspada, jangan sampai kawanan tadi kembali menemukanku. Namun, sampai beberapa menit suara itu tidak muncul kembali.

“Hei! Jangan main-main denganku. Tunjukkan dirimu…”

“Tampakkan dirimu, jangan jadi pengecut yang bersembunyi!” aku berteriak lagi dan lagi.

“Aku di bawah, bodoh!”

“Hey beraninya kau!” aku berteriak tidak terima ia mengataiku bodoh. Kemudian aku menengok ke bawah, “Apakah kau sejenis ikan?”

“Sekarang aku tahu kau benar-benar bodoh.”

“Ayolah jangan mengujiku, katakan siapa dirimu!” ini benar-benar menguji kesabaranku yang hanya setipis tisu dibagi dua.

“Bagaimana bisa ikan hidup di tempat seperti ini…”

“Hum… kau benar. Bahkan ikan akan mati sebelum sampai di tempat ini. Lalu siapa kau?”

“Aku adalah sungai ini.”

“Oh, jadi kau yang sedari tadi mengeluarkan bau tak sedap itu.”

“Sebenarnya aku benci mengakuinya, namun iya itu aku.”

“Kau terlihat sangat tidak terurus, begitu kotor,” komentarku. Bagaimana tidak, sungai di depanku ini dipenuhi tumpukan sampah di pinggir bahkan ada yang berada di tengah, jangan lupakan airnya yang keruh dengan bau yang tidak sedap.

“Hei, jangan mengatakan hal itu, lihatlah dirimu…”

Refleks aku melihat diriku sendiri. Buluku yang semula seputih kapas kini penuh debu, jangan lupakan kakiku yang becek akibat menginjak lumpur pada saat berlari. Aku berdecak dalam hati, tadinya aku adalah kucing persia yang cantik, namun sekarang sudah seperti kucing liar, padahal kurasa aku belum berjalan seharian.

“Aku tidak sengaja turun dari mobil dan akhirnya tersesat di jalanan. Max mengagetkanku sehingga aku refleks melompat dan berlari menjauh, dan Carla sepertinya tidak menyadari ketidakhadiranku. Benar-benar menyebalkan, Max pasti sengaja karena dia ingin menguasai kandang dan semua makanan. Apakah kau bisa menunjukkanku jalan pulang?” jelasku tanpa diminta.

“Kau berasal dari pusat kota?”

“Tentu saja,” ucapku jemawa.

“Lalu kenapa bisa kau sampai sejauh ini? Kau tahu, dirimu sedang berada di pinggir kota yang jaraknya cukup jauh? Melihat dirimu, kau pasti tidak akan sanggup berjalan pulang seorang diri.”

“Lalu bagaimana?! Aku tidak mungkin terus berada di tempat ini…” ucapku begitu frustasi.

“Terima saja nasibmu.”

Aku melirik sinis, “Enteng sekali kau mengatakannya, Bung!”

“Lalu kau mau apa, terus berdiri di sini sambil mengutuk keadaan? Ayolah anak muda, kalau kamu ingin perubahan, maka kau harus bergerak. Kalau kamu ingin pulang, maka kamu harus berusaha menemukan jalannya dan usahakan sekuat tenagamu, terus mengeluh dan menggerutu tidak akan pernah membuatmu sampai ke tujuanmu.”

“Sekarang kau sudah mirip Pak Tua yang menasihati cucunya.”

“Aku memang sudah tua…”

Mendengar hal itu aku refleks bertanya, “Setua presiden?”

“Aku bahkan sudah hadir di sini beratus tahun yang lalu.”

Aku terkesiap, sungai ini ternyata jauh lebih tua dari yang kubayangkan sebelumnya. “Kau pasti sudah melewati banyak hal.”

“Tentu saja!”

Lalu kami sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kau tahu, tempat ini dulunya sangat indah. Orang-orang sekitar menggantungkan hidupnya di sini, mulai dari menangkap ikan, mandi, mencuci, dan keperluan rumah tangga lainnya. Selain itu air dari sungai ini juga dipakai untuk memakmurkan ladang yang berada di sekitarnya. Air di sini benar-benar dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan. Tempat ini dahulu sangat asri, sejuk, dan juga bersih. Tapi, sejak beberapa tahun yang lalu, sejak manusia mulai mengenal industri dan teknologi, kerusakan ini bermula. Mereka hidup untuk kepentingan mereka sendiri.”

Aku sama sekali tak menimpali, membiarkan sungai tua ini menyampaikan hal yang dipendamnya selama bertahun-tahun.

“Sekarang kau lihat tubuhku,” ucapnya yang membuatku cekatan memandanginya.

“Tidak ada yang menarik lagi saat ini, dahulu aku begitu dipuja, namun sekarang hanya sumpah serapah yang tiap saat kudengar. Manusia itu selalu mengeluhkan tempatku yang kotor, bau, dan menjijikkan padahal merekalah yang membuatku seperti ini. Sampah-sampah mereka alirkan padaku begitu saja, mereka sama sekali tidak menanyakan apakah aku terima atau tidak. Lalu saat banjir tiba aku juga yang pertama kali mereka kutuk. Katanya aku tidak becus sehingga air meluap dan kotoran yang ada di sini ikut memenuhi pemukiman mereka.”

“Bukankah kamu adalah bagian dari alam yang sering dielu-elukan sebagai ibu bumi?”

“Kau benar! Sampai saat ini manusia-manusia itu masih menganggap kami sebagai ibu bagi bumi. Tapi, hal tersebut tidak lantas membuat mereka menghargai kami, justru kami habis dieksploitasi. Setelah tak berdaya sepertiku, maka kami akan dibuang, dikutuk, dan seolah tidak berarti apa-apa…”

“Benar-benar tidak tahu diri,” ucapku menimpali.

“Kau benar. Manusia itu bertindak seolah kaumnya saja yang berhak ada di bumi ini, sementara makhluk seperti kita hanya figuran yang harus mengikuti apa keinginan mereka.”

“Kau benar,” ucapku pelan. Tiba-tiba teringat perlakuan manusia itu padaku sebelumnya. Aku diperjualbelikan tanpa meminta persetujuanku, aku dikurung di dalam kandang. Mereka memang merawatku, tetapi banyak tindakan yang mereka lakukan tanpa persetujuanku.

“Sedang mengingat-ingat perbuatan manusia, heh?” ucapan itu tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan panjang.

“Tapi di luar sana masih banyak manusia baik,” bantahku ketika wajah Carla terlintas dalam benakku.

“Kau benar, anak muda. Hanya saja mereka seringkali kalah oleh mayoritas, apalagi ketika dihadapkan pada uang dan kekuasaan.”

Aku kembali terdiam. Setelah menghabiskan delapan bulan di dunia, aku akhirnya tahu ada sisi lain dari kehidupan ini. Yang kulakukan sehari-hari hanyalah makan, bermain bersama Max dan Carla, juga tidur. Kupikir semua baik-baik saja dan sama nyamannya dengan kehidupanku, ternyata ada banyak bagian lain yang tidak aku ketahui. Terutama bagi makhluk seperti kami, alam dan binatang.

“Sudahlah, tak usah terlalu kau pikirkan,” ucapan itu kembali menyadarkanku. “Lihat ke atas sana…”

Mendengar hal tersebut kepalaku yang semula menunduk kini mendongak menatap langit. “Ini benar-benar indah, aku belum pernah melihat ini sebelumnya,” gumamku.

Penampakan langit hari ini benar-benar indah, semburat jingga begitu memanjakan mata. Ditambah pantulan sinar pada sungai menambah kadar keindahannya. Kilau kemuning itu membawa ketenangan dalam jiwaku yang semula gelisah.

“Maka diam dan nikmatilah. Meskipun hidup kita sedang sama-sama sulit, setidaknya kita masih bisa menikmati pemandangan indah ini dengan gratis.”

Aku mengiyakan ucapan itu dalam hati kemudian terdiam, ikut terlarut dalam suasana alam dan seolah melupakan hal-hal yang mengangguku tadi. Setelah sinar itu hilang, langit benar-benar gelap dan hanya disinari temaram bulan. (*)

NURYUSRIATI

Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar (UNM) yang sedang magang di FAJAR. Tulisan ini untuk memenuhi latihan membuat “CERPEN”.

News Feed