Kemarin 25 tahun reformasi di Indonesia. Sejumlah mantan aktivis di tahun 1998 berkumpul di Gedung DPR-RI. Masih saya ingat, Kamis subuh itu (21 Mei 1998) — beberapa dosen muda (saat itu) Amran Razak, Faisal Abdullah, Andi Alifian Mallarangeng, Hamid Paddu, Ilham Mahmud, Syamsul Bachri (Teknik) dan satu dua kawan yang tidak saya ingat, mampir ke rumah saya – di perumahan dosen Tamalanrea. Mereka membicarakan tentang beberapa jam nanti Pak Harto akan lengser. Kami berdiskusi seperti biasanya. Ujung diskusi — sudah seharusnya kalangan Unhas punya gagasan yang bisa ikut mewarnai perjalanan reformasi. Saat itu disadari Unhas sebagai lembaga, dan beberapa kelompok dosen bahkan mahasiswa tentu akan punya gagasan untuk Indonesia ke depan. Namun saat itu, pilihan kelompok kecil kami adalah gagasan tentang pemilihan Presiden langsung.
Saat itu kami menyadari Andi Mallarangeng — paling siap dengan konsep itu karena disertasi doktornya di Amerika terkait ‘pemilihan presiden langsung.’ Diskusi subuh sampai pagi setelah Pak Harto berpidato dan menyerahkan jabatan ke Habibie — menyarankan agar Andi Mallarangeng merapikan konsep dan gagasan Pemilihan Presiden langsung. Belakangan Andi Mallarangeng — menjadi motor dari konseptor pemilihan langsung ini dan bahkan menjadi wakil pemerintah di Komisi Pemilihan Umum. Anto — begitu kami menyapa Andi Mallarangeng — setelah subuh itu memutuskan mengabdi untuk negara ini di Jakarta. Sebelumnya Anto aktif sebagai dosen di Unhas. Semua teman yang hadir subuh itu — saat ini sudah menjadi gurubesar di fakultasnya masing-masing.
***
Reformasi di lima tahun pertama sepertinya ‘menggapai’ begitu banyak harapan-harapan para pejuang reformasi di Jakarta dan kota lainnya di Indonesia. Secara konkret kita melihat: Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilihan anggota DPR dan DPRD secara langsung oleh rakyat. Presiden Habibie dan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah (keduanya berasal dari Sulsel) secara menghadirkan – ‘Kebebasan pers’ yang senyata-nyatanya. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Hal lain yang dicapai: Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Peningkatan keterbukaan dan akuntabilitas pemerintah. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pemerintahan.
Namun setelah dua dekade reformasi — memasuki tahun ke-25 kekecewaan terhadap jalannya pemerintahan serta harapan atas kesejahteraan dan keadilan sosial — sepertinya makin jauh dari harapan para pejuang reformasi. Sebagaimana laporan Majalah Tempo: sebagian pejuang — dengan argumen masing-masing menikmati ‘hasil reformasi’. Namun sebagian pejuang dan aktivis di tahun 1998 bahwa lebih banyak ‘hantu reformasi’ yang menikmati hasil perjuangan mereka. ‘Hantu reformasi’ adalah semua wujud yang tidak benar di masa lalu dan sudah dimatikan oleh roda reformasi, seperti perilaku korupsi, perilaku nepotisme, perilaku menindas sesama, perilaku keserakahan ekonomi dan banyak lainnya, hari-hari ini hidup kembali. Harusnya mereka menjadi hantu masa lalu tetapi secara lambat tapi pasti mereka sudah mengisi kembali ruang-ruang reformasi yang ada. Hadir sebagai ‘hantu jahat’ bagi ‘reformasi’ dan menghisap semua kesempatan bagi orang banyak. Kesempatan bangsa ini untuk lebih sejahtera dan pengelolaan negara yang lebih adil bagi siapapun. ****