OLEH: Lutfie Natsir, SH, MH
Audit merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh lembaga berwenang terhadap lembaga atau instansi, yang telah disusun oleh pihak manajemen beserta catatan dan bukti pendukung.
Tujuan akhirnya adalah untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan, yang nantinya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh pimpinan lembaga.
Sementara auditor, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap pelaksanaan audit dan opini yang diberikan, harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab dengan kapabilitas dan integritas, serta kemandirian terhadap profesinya.
Maraknya kasus yang berkaitan dengan manipulasi pemberian opini atas laporan keuangan, menandakan masih terdapat oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Dengan tendensi tujuan tertentu yang telah mencoreng marwah, martabat, serta kehormatan lembaga, yang seharusnya terjaga dengan baik untuk memberikan kepercayaan kepada publik.
Auditor dapat menyatakan tidak setuju atas laporan keuangan yang disajikan dalam bentuk opini tidak wajar. Setelah auditor meyakini bahwa laporan keuangan tersebut benar-benar tidak layak. Namun sayangnya, saat ini tanpa banyak disadari, risiko terbesar auditor adalah ketika tidak mengetahui hal-hal yang seharusnya mengubah opini auditor, terhadap laporan keuangan yang mengandung salah saji secara material.
Auditor harus memahami seluruh aspek hukum administrasi pemerintahan, hukum perdata, dan hukum pidana, dalam pelaksanaan audit bahwa norma dalam hukum administrasi adalah pengaturan atau norma yang bersifat mengatur dan terbatas. Maksudnya, apa yang diatur di dalamnya maka itulah yang dibolehkan.
Hal-hal yang tidak diatur bukanlah hal yang diperbolehkan, dan hukum administrasi bersifat prosedural. Hukum Perdata mengatur hubungan antar personal, norma bersifat pengaturan hanya mengikat pihak tertentu secara terbatas atau mengikat para pihak yang membuatnya.
Sifat hukum perdata didominasi oleh asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak, sedangkan norma dalam hukum pidana bersifat memaksa, yaitu melarang atau mewajibkan suatu perbuatan tertentu selama tidak ada larangan / kewajiban, berlaku norma kebolehan.
Dalam pelaksanaan audit, seorang auditor harus memahami undang-undang sebagai langkah prevensi menghindari risiko hukum. Penafsiran-penafsiran undang-undang secara otentik, gramatikal, sistematis, historis, sosiologis, ekstensif dan sebagainya harus dipahami oleh auditor.
Berdasarkan ketentuan mekanisme progres penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan (TLHP), bahwa terdapat beberapa tahap penyelesaian TLHP atas LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) Laporan Keuangan. Diantaranya adalah; Tindak Lanjut Selesai, Dalam Proses, Belum Ditindaklajuti dan yang terakhir Tidak Dapat Ditindaklanjuti.
Pengamat hukum, Lutfie Natsir menilai, temuan hasil pengawasan yang sulit atau tidak dapat ditindaklanjuti dan memiliki sebab-sebab yang logis berdasarkan evaluasi kasus dan kondisi, atau telah diupayakan pelaksanaan tindak lanjutnya oleh auditi, dapat dihapuskan dari temuan hasil pengawasan.
Penghapusan temuan tersebut melalui mekanisme yang diatur, dengan melibatkan tim evaluasi dan membuat berita acara yang ditandatangani pimpinan auditi yang berwenang, pejabat pengawas (BPK atau APIP), pejabat teknis yang berkompeten sesuai dengan substansi permasalahan, juga pejabat instansi terkait yang menjadi objek pemeriksaan.
“Penetapan status temuan tidak dapat ditindaklanjuti merupakan kewenangan masing-masing lembaga audit yang menerbitkan LHP. Apabila kemudian rekomendasi yang tertuang dalam LHP ternyata mengandung kelemahan rekomendasi yang timbul karena berbagai sebab sehingga tidak dapat dilanjutkan sesuai dengan rekomendasi. Hal ini juga telah diatur dalam Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2017, tetang Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksa BPK,” ujarnya.
Dalam Peraturan BPK yang dimaksud telah diatur, apabila sebagian dan seluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan dalam jangka waktunya, pejabat wajib memberikan alasan yang sah.
Alasan yang sah sebagaimana dimaksud meliputi kondisi; keadaan kahar, yaitu suatu keadaan peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran dan gangguan lainnya, dan alasan sah lainnya berdasarkan ketentuan peraturan per undang- undangan, yang mengakibatkan tindak lanjut tidak dapat dilaksanakan.
Adapun hal lain tidak dapat ditindak lanjuti hasil temuan, adalah kesalahan atau kekeliruan auditor menginterpretasi peraturan yang menjadi dasar hukum adanya temuan dalam laporan hasil pemeriksaan. (*)