English English Indonesian Indonesian
oleh

Tentang Monolog Mutiara Pulau

Oleh: Eka Besse Wulandari*

“A mother’s treasure is her daughter.” – Catherine Pulsifer

Saya mengawali bulan kelima tahun ini dengan menonton Pertunjukan Monolog Perempuan 3 Pulau berjudul Mutiara Pulau. Rasanya sudah lama tidak menonton pertunjukan monolog, saya bahkan lupa kapan terakhir kali, yang pasti rasa kagumku melihat kemampuan akting para aktor monolog tidak pernah berubah. Pertunjukan ini digagas sekaligus dimainkan oleh Mega Herdiyanti dan naskahnya ditulis sekaligus disutradarai oleh Nirwana Aprianty.

Pertunjukan Mutiara Pulau dimulai pukul 8.30 wita setelah pertunjukan monolog Kala Teater berjudul Kisah Kirana berakhir.

Bunyi kecapi mengalun perlahan melalui speaker dan sang aktor mulai masuk ke panggung sambil berteriak “Pulau pulau, pulau… Langsung langsung…”

“Pulau lakkang, lae lae, kodingareng, kayangan…”

Ia mengenakan manset putih dilapisi kaos kuning polos berlengan pendek, bercelana kain krem, menggunakan sandal jepit, dan waistbag. Tak ketinggalan handuk putih yang sesekali ia letakkan di pundak, sesekali ia tenteng. 

Sang aktor kembali berteriak memanggil penumpang, mengajak beberapa penonton untuk ke pulau. Suara deburan ombak menjadi latar adegan demi adegan.

Di panggung ada bangku panjang serta meja kayu yang di atasnya ada termos, toples gula dan kopi, gelas serta sebuah speaker portable dan mic yang sempat ia gunakan untuk memanggil penumpang sambil berjoget. Tak jauh dari meja beberapa gabus ikan dan jaring nelayan terpanjang.

Namanya Dg Cia. Seorang pa’limbang yang menawarkan jasa membantu penumpang mendapatkan kapal saat ingin menyeberang ke pulau dari dermaga. Pekerjaan ini sebenarnya adalah pekerjaan laki-laki, namun sebagai seorang ibu tunggal, ia mengaku rela mengerjakan apa saja asal halal demi menghidupi rumah dan membesarkan anak perempuannya.

Sebagai seorang pa’limbang Dg Cia heran mengapa hari itu ia kesulitan mendapat penumpang, padahal biasanya hari sabtu ada banyak orang yang ingin ke pulau, datang untuk menghadiri acara keluarga atau sekedar healing. Ia tidak pernah menceritakan tentang suaminya. Ia hanya berkeluh kesah atas apa yang terus ia alami. Mulai dari omongan beberapa penumpang yang heran mengapa ia memilih pekerjaan pa’limbang, mengenai anak perempuannya yang sebaiknya langsung bekerja setelah tamat SMA, hingga saran untuk menikahkan anaknya sesegera mungkin. Dg Cia tidak suka dengan semua omongan itu, terlebih tentang saran menikahkan anaknya di usia dini, sebagai perempuan yang terpaksa menikah di usia 15 tahun sama seperti perempuan lainnya di lingkungannya, ia tidak ingin anaknya memiliki nasib yang sama dengan dirinya. Namun sebagai penjual jasa, ia hanya bisa memendam semua kejengkelan dan tidak merilis emosinya. Ia harus beramah tamah dengan semua penumpang dan beginilah dunia kerja, bekerja.

Ia lalu teringat masa kecil anaknya yang ceria dan pernah bercita-cita menjadi seorang polisi. Namun kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ia hanya bisa berdoa satu hal, agar anaknya bisa terus bersekolah. Sebab apakah ada orang tua yang tega melihat anaknya terluka? Beruntung karena ia memiliki kenalan yang mau membantu anaknya agar bisa melanjutkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi Makassar.

Dg Cia juga pernah berniat bekerja sebagai nelayan namun ditentang oleh orang sekitarnya karena menganggap pekerjaan itu berat sehingga hanya bisa dilakukan oleh laki-laki saja. Ia hanya bisa mengeluh bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, yang pasti hanyalah stereotip gender di masyarakat yang masih tinggi sehingga pekerjaan tertentu dan sekolah tinggi hanya untuk para laki laki. Ia juga tak terima saat tetangganya meminta menerima nasib dan kodratnya sebagai perempuan. Dg Cia marah dan mengatakan bahwa kodrat perempuan hanyalah haid dan melahirkan.

Tiba-tiba ia mendapat sebuah telepon. Awalnya ia tampak heran lalu raut wajahnya berubah ceria. Ternyata itu telepon dari anaknya bernama Mutiara yang memberi kabar bahwa ia lulus seleksi perguruan tinggi. Dg Cia kembali berteriak, mengambil speaker dan mic untuk mengabarkan ke semua orang bahwa anaknya kini resmi menjadi seorang mahasiswa. Kebahagiaannya tak terkira.

Pertunjukan monolog Mutiara Pulau pun selesai tepat pukul 9.00. Meski sempat terganggu dengan beberapa gigitan nyamuk di Teater Arena, Gedung Kesenian Societeit De Harmonie serta suara rekaman burung walet dari luar gedung, tapi semua pesan yang dikirimkan lewat pertunjukan ini tersampaikan dengan baik. Tentang pentingnya pemerataan akses pendidikan khususnya untuk perempuan di pulau-pulau terluar Makassar, tentang dampak putus sekolah, tentang pernikahan anak, dan stereotip gender yang membatasi ruang perempuan masih berlaku. 

Sebab saya masih percaya bahwa “…seni tidak selamanya harus terlihat bagus, tapi seni seharusnya membuatmu merasakan sesuatu…” maka saya pulang dengan perasaan lebih tenang karena mengetahui bahwa saya tidak sendiri memikirkan berbagai masalah itu selama ini. Saya selalu ingin terlibat dalam merubah warisan kebiasaan yang menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua. Semua perempuan tentu memiliki mimpi yang sama, sama-sama ingin kesetaraan dalam menikmati hidup. Dan mengetahui bahwa saat ini ada banyak yang juga memiliki keresahan yang sama dan mengangkatnya dalam sebuah pertunjukan sebagai pengingat dan pemantik bara untuk terus berjuang, adalah hal yang membahagiakan.

Monolog Mutiara Pulau hari kedua masih dilaksanakan di tempat dan jam yang sama. Yang berbeda hanyalah warna pakaian sang aktor, kali ini karakter Dg Cia mengenakan kaos abu-abu dan celana merah. Sang aktor juga lebih luas menjangkau penonton saat memulai pertunjukannya dengan mengajak ke pulau “Adami kita dapat kapal?” “Mauki je mana?” “Pulau… Pulau… Pulau” “Langsung mi adami kapalku” “Langsung berangkat”

Salah satu kalimat yang paling kutunggu pada pertunjukan hari kedua ini adalah “Apakah saya harus duduk dulu di ruang rapat dulu baru bisa menyampaikan pendapat?” ketika Dg Cia memulai monolog nya.

Ini adalah kalimat penegasan yang membuat saya, sebagai anak perempuan, semakin percaya diri untuk berani mengungkapkan pendapat. Sebab saya dibesarkan dalam hirarki sosial di masyarakat Bugis-Makassar yang membuat banyak anak perempuan menderita karena harus menoleransi banyak hal yang terjadi di masyarakat. Teman, keluarga, dan kerabat laki-laki yang kukenal selalu diberikan kebebasan untuk “mencari jati diri” sedangkan kami anak perempuan sebaliknya. Saya harus menekan rasa ingin tahu pada banyak hal karena disuruh diam. Sejak kecil, saya menyadari suara anak kecil dalam keluargaku tidak pernah diperhitungkan, apalagi anak perempuan. Hal itu yang membuat kami, anak-anak tumbuh menjadi anti kritik, tidak percaya diri mengemukakan pendapat, bahkan berpotensi menjadi pelaku kekerasan selanjutnya jika saat kecil dibungkam dengan cara dipukul.

Satu lagi yang berbeda dan paling menarik dari pertunjukan hari kedua pertunjukan ini. Yaitu sesi diskusi di akhir pertunjukan yang menghadirkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yaitu Achi Soleman, S.STP, M.Si, seorang Pegiat Isu Seksualitas dan Gender yaitu Sartika Nasmar, serta sang aktor dan penggagas pertunjukan ini, Mega Herdiyanti. Diskusi seputar pertunjukan monolog perempuan 3 pulau ini dimoderatori oleh Syareeva Firdha A.A.

Sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Achi Soleman mengapresiasi pertunjukan monolog ini sebab mengangkat fakta di masyarakat kita bahwa kesetaraan gender memang belum benar-benar terwujud apalagi jumlah kepala keluarga perempuan, tercatat cukup banyak di Kota Makassar. Selain itu angka kekerasan terhadap perempuan juga masih tinggi, tahun 2021 tercatat ada 926 kasus yang dilaporkan. Ia sepakat bahwa anak semestinya diberikan haknya berupa ijazah, bukan buku nikah.

Sedangkan Sartika Nasmar mengapresiasi bahwa akhirnya isu kesetaraan gender tidak hanya dikampanyekan oleh kelompok tertentu, tapi juga sudah masuk dalam ranah seni. Ini adalah sebuah langkah maju sebab isu kesetaraan gender memang mesti melibatkan semua pihak, bukan hanya pemerintah dan aktivis saja. Sebab ini adalah masalah struktural, maka semua orang harus terlibat. Faktanya kekerasan berbasis gender masih banyak dialami perempuan, jangankan masalah besar kawin anak, kekerasan verbal juga menjadi langgeng dan jadi bahan bercanda. Misalnya saat perempuan marah karena sesuatu, yang bersangkutan bukannya meminta maaf, malah menciptakan komentar seksis seperti “lagi menstruasi kah?” Sartika mengatakan ia pernah meneliti di Pulau Kodingareng dan benar di sana memang jumlah sarjana masih terhitung jari. Tingginya angka kawin anak sampai-sampai ia pernah mendengar ungkapan seorang guru di sana bahwa lebih susah menjaga anak perempuan pulau, daripada menjaga sapi.

Dan Mega Herdiyanti bercerita bahwa riset sebelum pertunjukan ini telah dimulai sejak Maret 2023 dan salah satu pendorong utama Mega menggagas pertunjukan ini adalah pengalamannya sebagai anak perempuan yang tumbuh di pelosok Luwuk Banggai, merasakan tidak meratanya pendidikan. Lalu saat ia berangkat ke Makassar berkuliah, ia juga merasakan ironisnya kota ini sebagai pusat pendidikan di Sulawesi namun di sisi lain banyak warga-nya ternyata masih susah mengakses pendidikan, terutama yang berada di pulau.

Sang moderator pun mengiyakan bahwa saat SMA beberapa temannya dari pulau hanya punya dua pilihan setelah tamat. Menikah atau bekerja. Berkuliah tidak menjadi pilihan bagi mereka. Dan setelah ditelusuri, beberapa dari mereka sebenarnya tidak terkendala oleh ekonomi, serta jarak yang sebenarnya masih bisa diatasi, namun karena orang tuanya belum memiliki kesadaran bahwa pendidikan penting untuk anak perempuan.

Diskusi berjalan cukup lancar, beberapa penonton mengajukan pertanyaan, saran, serta apresiasi bentuk pementasan monolog yang masuk dalam kategori pementasan tradisional karena berinteraksi dengan penonton ini.

Namun ada salah satu pernyataan yang cukup mengganggu pikiranku. Salah satu penonton yang merupakan senior dalam bidang teater mengatakan bahwa isu yang diangkat ini sudah terlalu sering didapatkan di media-media dalam bentuk artikel sehingga terkesan klise lalu menyarankan untuk digali lebih dalam lagi. Untuk sarannya, tentu bagus. Namun ungkapan bahwa isu yang diangkat terkesan klise? Sudah sering diungkapkan?

Sebagai perempuan, saya ingin sekali mengatakan bahwa isu-isu yang sedari tadi dibahas tentu tidak akan lagi diangkat jika angka kekerasan berbasis gender sudah benar-benar hilang. Tidak seorang pun nyaman membahas tentang kekerasan berbasis gender terus menerus. Namun karena angkanya masih tinggi, sehingga semua orang mestinya terus membicarakan dan melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Kami tidak akan berhenti mengangkat isu ini sampai semua orang benar-benar gerah dan bergerak bersama. Dan kita berada di masa semua orang tergerak untuk berkolaborasi, tidak lagi berkompetisi, mestinya ini menjadi lebih mudah untuk dilakukan bersama. Sayangnya waktu diskusi telah habis. (*)

*Eka Besse Wulandari lahir di Wajo, Sulawesi Selatan. Menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Budaya, Unhas tahun 2014. Saat ini bekerja sebagai penulis, seniman kriya, dan relawan di beberapa komunitas salah satunya Perpustakaan Katakerja.

Pernah mengikuti Lokakarya Menulis Fiksi di House of the Unsilenced, Jakarta 2018 dan Lokakarya Penulisan Cerpen Ekofeminisme dan Kota yang diadakan oleh Jakarta International Literary Festival dan Katakerja yang menghasilkan buku antologi cerpen “Makassar yang hilang : Perempuan, Kota, Cerita, 2022.

Serta membuat karya bertajuk “Tragedi Meja Makan” di Makassar Biennale 2021 : Sekapur Sirih.

News Feed