OLEH: Fajlurrahman Jurdi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Kegiatan tiap tahun Dewan Pers adalah riset untuk mengukur Indeks Kemerdekaan Pers (IKP). Riset ini untuk mengukur bagaimana pers benar-benar imparsial, tidak terkooptasi oleh kekuasaan, tidak mengalami kekerasan dalam melaksanakan tugasnya dan mereka dituntut untuk professional dalam menjaga stabilitas demokrasi.
Tahun ini, Dewan Pers bekerja sama dengan Sucofindo melakukan FGD sebagai rangkaian kegiatan riset rutin itu. Ada tiga instrumen untuk menguji validitas kemerdekaan pers, yang disebut dengan “kondisi lingkungan”. Tiga “kondisi lingkungan” yang dimaksud adalah lingkungan fisik dan politik, lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum.
Pada Selasa, 9 Mei 2023 di sebuah hotel di Makassar, kegiatan ini dilakukan untuk mengukur bagaimana IKP dengan melibatkan sejumlah informan ahli. Dalam artikel ini, saya akan menguraikan beberapa hal yang akan kita jumpai dalam dunia jurnalis, dan akan mempertukarkan istilah pers, jurnalis(me), dan media dalam satu makna yang sama.
Pertama, relasi pers dengan kekuasaan yang sulit untuk dihindari. Kekuasaan adalah sumber penting bagi pers. Selain sumber pemberitaan, juga regulasi dan kerja sama iklan, cukup menjanjikan. Begitu banyak pengaruh kekuasaan dalam hal ini. Makin besar kekuasaan, makin luas cakupan kebijakan yang bisa ia ambil, dan makin banyak program yang bisa dikerjasamakan dengan media, atau bantuan yang bisa diberikan, baik dalam bentuk hibah, program dan sebagainya, maka makin dalam intervensi yang bisa dilakukan.
Tak sedikit media yang harus mengikuti jalur logika kekuasaan, juga yang mendukung kekuasaan tanpa reserve. Tentu ini karena relasi si pemilik media dengan kekuasaan yang terlalu intim. Dari sana, sumber daya industri media itu “dipungut” melalui serangkaian kebijakan dan program kerja sama. Jika “media mau hidup”, maka dia harus lunak pada kekuasaan yang memberinya “cahaya kehidupan”.
Kedua, Pers dan pemilik modal. Tidak ada yang bisa menyangkal, bahwa kemerdekaan pers akan dipengaruhi oleh “siapa” pemegang saham terbesar. Makin besar saham si pemilik, makin kuat intervensinya. Makin kuat intervensinya, makin kecil tingkat kemerdekaan pers. Makin kecil tingkat kemerdekaan pers, makin ‘suram’ kebenaran yang harus ia ungkap. Pers dalam konteks ini akhirnya tunduk pada kehendak pemilik modal.
Pers adalah industri, karena ia industri, maka harus berpikir untuk bertahan sehingga bisa terus berproduksi. Produksi berita ditentukan oleh kekuatan modal yang dimiliki, dan pemilik modal akan menjadi penentu isi berita. Meskipun redaksi akan mengelak, tetapi sebagian isi berita, apabila menyangkut relasi bisnis si pemilik modal, maka harus disortir, agar tidak terjadi konflik yang menyebabkan renggangnya hubungan si pemilik modal dengan pihak lain.
Dari sini, kemerdekaan pers menjadi tak berarti, regulasi pers menjadi tak begitu penting, ideologi wartawan tidak diperlukan, kebijakan redaksi diamputasi, karena yang berdaulat adalah suara pemilik modal.
Ketiga, Pers dan ideologi. Pers itu merdeka jika ia punya ideologi. Dalam konteks jurnalisme, ideologi itu bertengger pada dua titik, yakni: (1) Ideologi media. Pada titik ini, media memiliki peta jalan berpikir sendiri dan tidak dapat diganggu jika menyangkut kemerdekaannya. Mereka secara industri akan berteriak keras bila diganggu titik pijak imparsialitasnya. (2) ideologi aktor. Dalam hal ini, wartawan dan pimpinan redaksi, punya keyakinan dan pendirian jurnalisme yang sama tentang situasi dan keadaan tertentu. Hal ini dibangun karena perspektif dan ideologi mereka sama dalam melihat suatu kasus atau suatu persoalan.
Tetapi jarang diperoleh pers dan wartawan yang benar-benar kental ideologinya, apalagi kalau sudah menyangkut “kelanjutan hidup” dan “bertahan hidup” dalam dunia jurnalistik. Maka banyak kompromi dilakukan demi tetap eksis dalam dunia pers. Biasanya yang suka datang mengganggu hanya dua entitas, yakni pemilik modal dan kekuasaan. Karena, jika media dan wartawan punya ideologi dan dibiarkan merdeka, itu mimpi buruk bagi mereka.
Keempat, Kompetensi dan profesionalitas versus ratting berita. Dalam diskusi terungkap, ada banyak judul berita dari hampir semua media, yang memuat peristiwa dengan “menghakimi” peristiwa itu. Misalnya, “Polisi menangkap Pengedar Narkoba”, padahal seharusnya judul yang tepat adalah; “Polisi Menangkap Seorang Pemuda/Pria”. Karena untuk disebut sebagai “pengedar narkoba” jika sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bahwa ia terbukti bersalah sebagai pengedar narkoba. Ada banyak jenis judul serupa dengan ragam kasus dan kejadian.
Banyak catatan lain yang perlu diungkap, penting dan harus menjadi perhatian dalam dunia pers. Gaji wartawan yang rata-rata di bawah UMR juga menjadi persoalan. Karena itu akan menjadi sebab utama mereka menjual profesinya kepada kekuasaan dan pemilik modal. Sehingga perlu dipikirkan dan dicarikan jalan keluar, bagaimana caranya agar wartawan bisa hidup sejahtera. Wallahu a’lam bishowab