OLEH : Rismayanti, S.S., M.Hum, Dosen FIB Unhas
Bukit Sampuna ini memiliki pesona panorama yang menawan. Sangat indah menyaksikan pemandangan pegunangan yeng berderet dengan rimbunan pepohonan yang menyelimutinya. Pertama kali saya mengunjungi bukit ini yang beralokasi di wilayah Battang Barat. Battang Barat merupakan wilayah perbatasan Palopo menuju Toraja. Tempat ini sudah menjadi objek tempat wisata. Sangat kunikmati pemandangan ini karena yang berkunjung hanya ada saya bersama keluarga. Wisata ini belum terlalu banyak diketahui orang, bahkan keluarga yang besar di Palopo baru tahu tempat wisata ini. Wisata yang dikelola oleh Kelompok Tani Hutan Konservasi. Sebelum masuk area bukit ini, kita kan menemui loket untuk biaya administrasi, Rp.10.000 untuk perorang. Beruntungnya saat itu kami ditemani Ammatoa yang dianggapnya kami keluarga Ammatoa.
Sebenarnya kami bertujuan ke tempat wisata Pango-pango yang berada di Toraja. Namun karena ada insiden ditengah jalan, akhirnya tanpa sengaja kami mengunjungi bukit ini. Tetiba mobil kami mogok dan ini pertama kalinya mobil saya mogok selama ia menemani hari-hariku menelusuri jalan. Ini disebabkan semenjak meninggalkan jalan perbatasan Palopo kota, jalan yang kami lewati mulai mananjak dan semakin menanjak ternyata asap mulai mengepul.
Tanjakan itu membuatku semakin menciumi bau aneh, “sepertinya ada bau hangus”, kataku pada keluarga. “Tidak, bau seperti itu sudah biasa kalau menanjak karena kampas rem bekerja keras”, timpal keluargaku yang kami panggil Akhlakul yang masih melanjutkan studinya di kampus merah. Saya tetap merasa aneh karena aroma ini semakin menyengat dan perlahan kendaraan ini jalannya semakin lambat. Pada akhirnya saya menengok keluar, saya melihat asap yang mengepul, ternyata sudah dari tadi. Saat itu pun mobil perlahan terhenti dan tetiba terhenti. Akhirnya kami mencoba menepi lalu Akhlakul turun dari mobil dan mengecek. Yah memang ada masalah.
Kami mencoba menghubungi keluarga yang berada di Palopo untuk datang ke lokasi kami, untung saja ada signal. Kami pikir tidak ada signal karena pas dikaki bukit nan sepi, sesekali saja mobil lewat. Tetiba Akhlakul mengingat Ammatoa wilayah Battang, yang baru-baru ini ia telah menyelesaikan KKN nya di sini. Kami pun meninggalkan mobil dan mencari tumpangan untuk ke rumah Ammatoa yang bernama Pak Hasbullah atau disapa Papa Putri karena memiliki anak sulung yang bernama Putri. Ada beberapa yang mengajak tumpangan, tapi saya ragu dengan melihat orang-orang yang didalamnya pria semua, bukannya curiga hanya saja ini kali pertama saya menumpang dengan orang lain apalagi dengan tempat yang tidak ramai seperti ini. Berselang beberapa menit kemudian, tetiba ada seorang bapak singgah dan menanyai kami, kenapa dan mau kemana? Sembari pandanganku bergerilya ke dalam mobil, kumelihat ada seorang wanita di dalam mobil, saya pun menjelaskan dan meminta tumpangan dengan perasaan yang cukup aman dibandingkan mobil sebelumnya yang isinya pria semua.
Selama perjalanan yang membutuhkan sekitar 10 menit, kami mengobrol tentang tujuan kami dan kejadian yang menimpa kami. Bapak yang sedang menyetir ini, ternyata sopir rental mobil dan yang duduk di belakang adalah sepasang suami istri bersama seorang putrinya yang kira-kira berusia tiga tahun. Pasangan ini dari Palu yang singgah di Palopo dan melanjutkan perjalanan ke Toraja. Karena putri kecilnya ingin buang air kecil, mobil ini menepi. Situasi itu kami manfaatkan untuk menelepon keluarga Ammatoa, ternyata kami melewati jalan rumah Ammatoa. Kami pun mengucapkan pada bapak sopir yang kami tumpangi untuk kami singgah di sini saja.
Berada di tepi jalan lagi demi mencari tumpangan berikutnya. Dari sekian mobil yang singgah, pada akhirnya ada sebuah mobil Avanza berwarna putih yang menepi dan seorang Ibu berjilbab menanyai kami, “Kenapa Dek?”, tabe’ mobil kami mogok dan kami mau mengunjungi rumah keluarga yang tidak jauh dari sini, jelasku sembari tersenyum. “Oh begitu Nak, naik saja kami antar”, timpal ibu yang kutaksir usianya 60an dan disamping kirinya, seorang Bapak yang juga sepertinya berusia 60an. Ibu dan Bapak itu adalah sepasang suami istri yang ternyata pensiunan TNI dan sangat kebetulan, beliau tinggal di Makassar tepatnya di kodam 3 Daya, mereka memperkenalkan diri yang Bernama Pak Syamsul dan istrinya sbeut saja Ibu Syamsul, bahkan kami diajaknya untuk jalan-jalan ke rumah beliau. Katanya kami sesusia cucu pertamanya, semua anaknya sudah bekerja dan di rumah hanya mereka, masa tuanya ia nikmati dengan berjalan-jalan. Bahagiaku melihat mereka, menua bersama dan menghabiskan sisa hidup dengan traveling. Oh iya saya salah taksir, usia Pak Syamsul sudah 70an dan istrinya yang 60an.
Kami menikmati perjalanan tumpangan ini, “wow luarbiasa saya merasakan tumpangan untuk pertamakalinya saat mobil mogok, saya pikir hanya kusaksikan di acara film-film,” ucapku pada Akhlakul. “Jadi serut toh?,” balasnya. Lalu kami singgah bertanya, khawatir kami lewat lagi. Ada sebuah masjid di kaki bukit dan berderet warung-warung makan. Ada beberapa mobil dan sebuah bus yang parkir dipinggir jalan. Kami bertanya pada salah satu pedagang yang berjejeran.
“Om, tabe’ dimana rumah Papa Putri?”, tanyaku pada pria paruh bayah yang rambutnya sudah memutih. Bapak tersebut langsung saja mengarahkan telunjuk ke arah salah satu warung makan bercat biru.
Tetibanya kami di warung makan yang bercat biru, kami langsung saja kami memberi salam dan menanyai keberadaan Papa Putri. Salam kami dijawab oleh seorang laki-laki dan kami dipersilakan duduk sambil menunggu Ammato datang. Pemandangan rumah Ammatoa sangat indah, dapat menikmati pemandangan gunung-gunung yang menjulang yang sangat asri dengan gradasi warna hijau oleh pepohonan, gradasi biru langit menambah keindahannya.
Sekitar sepuluh menit kami menunggu, tetiba Ammatoa sudah datang dan menyapa kami dengan sangat akrabnya. Usia Ammatoa kisaran 60an dengan perawakan tubuhnya yang masih sangat fit. Ia bercerita dengan selalu beraktivitas dan dapat membantunya menjaga Kesehatan. Aktivitas masyarakat Battang atau hajatan-hajatan wajib mengundang dan dihadiri oleh Ammatoa. Ammatoa merupakan salah seorang yang sangat dihormati karena merupakan pemimpin adat yang diperoleh secara turun-temurun.
Tetiba muncul seorang ibu menyuguhi kami teh, kopi dan dua topleks kue kering. Sembari kami bercerita tentang peristiwa yang menimpa kami, saya pun bertanya tempat wisata sekitar wilayah Battang. Katanya ada air terjun, tetapi kendaraan tidak dapat memasuki area tersebut. Kita mesti berjalan kaki untuk memasuki area tersebut. Saya menanyai tempat wisata lainnya karena pertimbangan lainnya sementara menunggu keluarga yang datang dari Palopo untuk memperbaiki mobil yang mogok, jangan sampai kami tidak bertemu.
Ammatoa dengan senang hati ingin mengantar kami ke tempat wisata Bukit Sampuna yang letaknya tidak jauh dari rumah Ammatoa. Sebenarnya ingin sekali saya melihat air terjun. Kami pun berpamitan dengan istri beliau sebelum kami berangkat. Ammatoa meminjamkan kami sebuah motor vixion dan beliau menggunakan motor yang lain. Tepat kami keluar dari rumah Ammatoa, mobil keluarga yang dari arah Palopo pun lewat. Untung saja kami bertemu sebelum kami menuju Bukit Sampuna.
Sebelum beramai-ramai ke Bukit Sampuna, Ammatoa mempersilakan keluarga kami untuk sejenak mengobrol sembari mencicipi suguhan teh dan kopi hangat yang ditemani kue kering. Ada yang menarik dari kue khas oleh-oleh wilayah Battang, yaitu Baje. Baje yang ada di kepala saya, baje yang terbuat dari beras ketan putih yang dicampur dengan gula merah dan kelapa ternyata berbeda dengan Baje di sini. Baje wilayah Battang mirip dengan tenteng yang berasal dari Malino. Baje di Battang terbuat dari kacang tanah yang dicampur dengan gula merah hanya saja ebdanya dengan tenteng, Baje ini dibungkus dengan daun jagung yang kering lalu dikemas dengan masing-masing ujungnya dipelintir seperti bungkusan permen.
Dengan hanya sekitar lima menit, kami pun tiba di Bukit Sampuna. Saya sangat takjub dengan udara dan pemandangan yang tepat kaki bukit. Untuk melihat pemandangan dari atas bukit kami, kami menaiki bukit tersebut sekitar 200 m. Kami disuguhi beberapa property untuk spot foto, seperti properti berbentuk kupu-kupu, mobil jeep yang kami duduk di dalamnya serta beberapa kutipan yang menarik. Salah satu kutipan yang menarik perhatianku “Nilailah saya… ketika kamu sempurna,” tentu saja saya memotret kutipan tersebut, selain maknanya yang menarik pemandangan di belakang papan kutipan itu sangat indah.
Lalu saya melanjutkan berjalan menaiki bukit tersebut, ada terdapat gazebo untuk beristirahat. Saya menjulurkan pandanganku di sekitar yang betapa indahnya karena kita dapat melihat keindahan panorama dengan leluasa serta udara yang sangat sejuk. Tentu saja saya sangat menikmatinya dibandingkan manusia urban yang sperti saya, menghabiskan keseharian dengan aktivitas yang tentu saja melewati jalan dengan kempulan asap kendaraan.
Saya memanfaatkan suasana ini dengan berfoto dan sedikit mengambil video untuk membuat konten wisata. Sembari itu saya menanyai Ammatoa tentang pengelola tempat wisata ini. Bukit Sampuna ini masih terbatasa dalam pengelolaan karena baru dirintis dan dikelola oleh Kelompok Tani Hutan Konservasi wilayah Battang. Harapan Ammatoa, semoga tempat-tempat wisata sekitar di sini dapat semakin diketahui oleh khalayak yang tentu saja tanpa merusaknya. Setelah berfoto dan duduk bercengkrama kami berpamitan kepada Ammatoa dengan harapan kami dapat berjumpa lagi. Karena dengan rasa penasaran, tentu saja trip berikutnya saya ingin mengunjungi air terjun yang diceritakan Ammatoa. (*)