OLEH: Dr. Mohammad Arif, SH, MH, Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum UMI Makassar
Sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia diawali oleh sisi gelap yakni perbudakan, perhambaan, kerja rodi/paksa, dan romusha.
Sejarah kelam ini seolah menegaskan bahwa kedudukan pekerja selalu inferior dibandingkan dengan pengusaha, bahkan di era modern ini, pekerja secara sosiologis selalu didudukkan pada posisi yang tidak setara dibanding pengusaha. Jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang berakibat posisi tawar perkerja sangat rendah, berdasarkan data BPS pengangguran terbuka secara nasional per bulan Februari 2022 mencapai 5,8% itu artinya bahwa ada ± ada 15 juta pengangguran terbuka, kondisi ini mengakibatkan posisi tawar pekerja dalam sebuah hubungan kerja sangat lemah, pekerja hamper tidak punya ruang untuk bernegosiasi tentang besaran upah serta benefit lainnya, pekerja tidak memiliki pilihan lain selain take it or leave it.
Mengemukanya pandangan tentang negara kesejahteraan (welfarestate) yang memperluas ruang lingkup kekuasaan negara yang tidak hanya mencakup ketertiban dan keamanan (nachtwachterstaat), namun juga bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, termasuk dalam bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut John Rawls tugas negara adalah menciptakan posisi netral (the original position), negara harus mampu menyetarakan kedudukan yang tidak setara, sehingga setiap warga negara memiliki peluang yang sama dalam kesempatan meraih kesejahteraan, kaitannya dengan kedudukan pekerja maka negara harus menetapkan kebijakan yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja agar kedudukan pekerja dan pengusaha dapat disetarkan, konsep ini juga memiliki landasan konstitusional dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Salah satu bentuk perlindungan hukum tersebut adalah dengan perlindungan upah untuk menjamin kesejahteraannya pekerja, salah satu bentuknya adalah kebijakan Upah Minimum. Upah minimum diarahkan kepada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Penentuan upah minimum yang merujuk pada KHL memiliki dasar konstitusiolan pada Pasal 27 (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebu UUD NRI Tahun 1945) : “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan Pasal 28D (2) : “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Frasa kata “layak” dalam kedua pasal tersebut mengisyaratkan bahwa setiap orang tidak hanya sekedar berhak atas pekerjaan, penghidupan atau imbalan belaka, namun harus dimaknai sebagai pekerjaan, penghidupan, atau imbalan yang adil dan layak, karena Pasal 28D termasuk dalam pengelompokan tentang Hak Asasi Manusia, maka makna kata layak harus dimaknai dari sudut pandang kemanusiaan, Oleh karena itu yang dimaksud dengan upah minimum adalah upah yang dibayarkan oleh pengusaha yang sesuai dengan standar minimal kelayakan hidup manusia, untuk itu konsep KHL sebagai parameter penentuan upah minimum yang direview setiap tahunnya oleh Dewan Pengupahan.
Dengan adanya frasa “…berdasarkan kebutuhan hidup layak…” dalam Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan maka menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menjadikan dasar utama penetapan komponen KHL menetapkan Upah Minimum. Dengan berlakunya PP No. 78/2015 penetapan komponen KHL dilakukan secara berkala setiap 5 (lima) tahun, sepanjang periode peninjauan komponen KHL secara berkala (lima tahunan) belum dilakukan maka pemerintah dalam hal menetapkan upah minimum hanya berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan dengan formula/rumus tertetu.
Pasca diundangkannya UU No 11 Tahun 2020 tentang Ciptakerja jo Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja khususnya cluster ketenagakerjaan maka ketentuan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang merupakan landasan hukum penetapan upah minimum dengan menggunakan metode Komponen KHL dihapus/dihilangkan, sebagai penggantinya kemudian dimunculkan Pasal baru yakni Pasal 88D ayat (1) dan (2) bahwa upah minimum dihitung menggunakan formula perhitungan upah minimum dengan mempertimbangkan variable pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Dihilangkannya Pasal tersebut menurut penulis adalah sebuah kebijakan yang mereduksi makna yang tersirat dalam Pasal 27 (2) dan Pasal 28D (2) UUD NRI 1945, yang juga dapat dimaknai sebagai upaya mengkerdilkan kedudukan UUD NRI 1945 sebagai norma hukum tertinggi dalam kerangka negara hukum Republik Indonesia. Pengerdilan makna tersebut dapat dianggap sebagai ancaman serius terhadap perlindungan hukum bagi pekerja, wallahu a’lam bissawaf. (*)