Apabila ajaran ini berjalan sebagaimana mestinya, maka dapat diharapkan munculnya generasi baru, generasi penerus yang andal di negeri ini. Akan tetapi dunia pendidikan kita tampaknya tidak memberi pencerahan yang baik terhadap peserta didik. Mungkin terjadi kesenjangan antara kemampuan peserta didik dengan kebutuhan dunia di ‘luar sana’. Dahulu dikenal ada istilah link and match harus terangkai satu dengan lainnya.
Lembaga-lembaga pendidikan harus selalu cepat menyesuaikan dengan kebutuhan ‘pasar’ dari produknya. Jika yang dihasilkan kemampuannya lebih rendah daripada yang dibutuhkan, maka otomatis akan ‘lewat’. Oleh karena itu, pengelola pendidikan mestinya memiliki wawasan yang jauh melangkah lebih di depan dalam mengisi kemampuan peserta didiknya. Sekolah-sekolah bermunculan mengiming-iming peserta didik dengan segala kelebihan. Sekolah-sekolah berbiaya mahal dengan janji kualitas yang terbaik. Boleh ya, boleh juga tidak. Sekolah murahpun akan menghasilkan kualitas terbaik tergantung visi, misi dan tujuan penyelenggara pendidikan tersebut. Hal ini tergantung komitmen pengelolanya. Jika lembaga pendidikan itu dimaksudkan sebagai salah satu kewajiban sosial, maka unsur bisnisnya dikurangi. Tetapi sebaliknya ada lembaga yang memang sengaja menetapkan tarif mahal untuk mencari keuntungan didalamnya.
Pengalaman sendiri, ketika akan memasukkan putri penulis ke sekolah dasar yang berbasiskan agama, cukup mengagetkan. Biaya masuk saja hampir 20-an juta. Belum lagi biaya-biaya lainnya. Ini baru kelas sekolah dasar. Bagaimana lagi yang lebih tinggi dari itu? Seharusnya sekolah yang berbasis keagamaan, mendidik itu dilakukan sebagai kewajiban utuk ummat. Tetapi lagi lagi ini sudah ‘berbelok’ arah untuk kebutuhan duniawi yang lebih utama.