English English Indonesian Indonesian
oleh

Mengapa Harus Ambang Batas Maksimum?

Oleh: Dian Fitri Sabrina, Dosen Hukum Tata Negara

Pengujian Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa syarat pencalonan Presiden minimal 20% kursi di DPR RI atau 25%  suara sah nasional bukanlah hal yang baru terjadi. Tercatat hingga April 2023, UU 7/2017 telah diuji 99 kali ke Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK. Sudah lebih dari 20 kali Pasal tersebut dibawa pemohon ke MK. MK dalam putusannya tetap berpendapat bahwa ambang batas pencalonan Presiden merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sebagaimana yang telah dituangkan dalam makna Pasal 222 UU Pemilu dan dalam Putusan MK No.53/PUU-XV/2017 bahkan beberapa kali dalam putusan MK menyatakan bahwa para pemohon tidak memilikikedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal Standing)terakhir dalam putusan MK Nomor 20/PUU-XX/2022.

Konsep ambang batas dalam KBBI mengartikan bahwa ambang batas adalah tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi. Konsep threshold dalam kamus hukum adalah Boundary atau batas jika dilewati memiliki keadaan yang berbeda yang ada. Yang kemudian ambang batas dapat diartikan nilai maksimum atau minimum sebagai tolok ukur untuk membandingkan dan memandu setiap pelanggaran yang dapat menyebabkan peninjauan kembali situasi atau mendesain ulang sistem.

Dapat diartikan dari konsep di atas bahwa ambang batas pencalonan Presiden masih dapat diubah selama dengan kondisi saat ini ambang batas minimum sudah tidak dapat diterima dan ditoleransi lagi mengingat sudah tidak sejalan dengan makna Pasal 6A ayat (2) UUDNRI 1945 dan sudah tidak sejalan dengan tujuan awal mengapa ambang batas minimum digunakan dalam pencalonan Presiden. Sedangkan ambang batas sendiri tidak hanya dimaknai sebagai ambang batas minimum tetapi juga dapat mengunakan ambang batas maksimum sebagai tolok ukur dalam pencalonan Presiden selama sejalan dengan konstitusi dan meminimalisir pelanggaran dalam pemilu khususnya pencalonan Presiden.

Ambang batas maksimum muncul karena dianggap bahwa ambang batas minimum seringkali merugikan hak partai politik, polarisasi warga negara terhadap calon presiden yang diusulkan oleh partai politik, cenderung mengabaikan suara warga negara melalui partai politik, dan membatasi munculnya calon presiden yang ideal. Hal inilah yang membuat hak warga negara dalam menentukan pilihan tidak tersalurkan. Konsep ambang batas maksimum ditawarkan dalam mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden agar memberikan peluang kepada partai politik peserta pemilu dalam menentukan calon-calon Presiden dan Wakil Presidennya.

mekanisme pencalonan melalui ambang batas maksimum yang menempatkan perolehan persentase suara partai politik yang dijadikan dasar patokan. Partai politik yang telah memperoleh ambang batas maksimum tidak dapat melakukan koalisi partai politik namun, memiliki hak untuk mencalonkan presiden. Sedangkan partai yang tidak memenuhi ambang batas maksimum tetap memperoleh kesempatan untuk melakukan koalisi atau tidak dalam pencalonan presiden selama tidak melampaui ambang batas maksimum yang diperoleh oleh partai politik yang dijadikan patokan dalam memperoleh ambang batas tertinggi.

Ambang batas minimum selain tidak relevan dengan makna yang terkadung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 juga tidak mampu menciptakan penguatan sistem partai politik dan melemahkan sistem pemerintahan presidensial.Mengingat hal tersebut partai politik hanya berfikir melakukan koalisi partai sebanyak-banyaknya dengan tujuan bagi-bagi kekuasaan dengan melahirkan koalisi partai gemuk sehingga menghilangkan kekuataan partai oposisi di DPR RI. Dalam konsep negara demokrasi keberadaan partai politik diperlukan partai oposisi sebagai sistem kontrol dan penyeimbang (check and balance) dalam parlemen atau di DPR RI agar tidak melahirkan kekuasaan yang otoriter.

Mengutip tulisan Otto Kirchheimer dalam jurnal West European Politics, Vol.26, No.2 (April 2003), halaman 23–40PUBLISHED BY FRANK CASS, LONDON,Kirchheimer sudah mengamati asal-usul kartel partai sentris, penurunan oposisi politik, dan pergeseran perimbangan kekuasaan dari parlemen ke eksekutif semuanya yang akan berujung pada apa yang disebut kartel partai politik.

Erosi demokrasi parlementer, tidak hanya melalui kebangkitan kekuatan rezim fasis atau komunis, tetapi juga hilangnya partai oposisi dari negara demokratis. Pembentukan kartel politik, di mana partai politik bergabung pada negara, mereduksi politik menjadi formalitas dan melakukan pengelolaan negara oleh politisi professional yang akan menyalagunakan sarana hukum untuk tujuan politik mereka. Hal ini pada akhirnya mengarah pada depolitisasi yang luas, sikap apatis politik populasi massal dan memudarnya pemisahan klasik kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Hal inilah yang menjadikan alasan penting mengapa ambang batas maksimum diperlukan dalam pencalonan Presiden di Indonesia. Jika kemunculan ambang batas bertujuan untuk penguatan sistem pemerintahan presidential namun tidak menghilangkan prinsip check and balance maka ambang batas maksimum sudah sangat tepat digunakan dalam pencalonan presiden dan sejalan dengan makna yang terkandung dalam konstitusi. (*)

News Feed