English English Indonesian Indonesian
oleh

Lebaran Dulu dan Sekarang

Oleh: Nurhayati Rahman, Guru Besar di Unhas

Ketika masih kecil, hari lebaran adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak se-zamanku. Menunggunya, seperti menghitung hari, menghitung jam, rasanya lama sekali. Tak henti-hentinya saya ke kamar melihat baju dan sepatu baruku yang dibeli di toko Tentara atau Sarinah dekat Karebosi, Makassar. Itulah toko yang sangat terkenal  di zamanku, sehingga memakai baju lebaran dari kedua toko itu adalah sesuatu yang sangat  bergengsi. Sebetulnya ibuku jago menjahit, tapi saya tak mau kalau baju lebaranku dijahit ibu, tidak keren kalau bukan dari toko.

Di dapur ibuku bersama anggotanya (maklum ayah adalah Anregurutta/Kiai jadi banyak santrinya baik yang tinggal di rumah mau pun yang tidak menetap) sibuk di dapur  sambil gedebak-gedebuk bunyi alat tumbukan rempah ini dan itu. Orang Bugis Makassar tidak terbiasa memakai ulekan, mereka menggunakan alat tumbuk yang terbuat dari batu, bentuknya kecil bulat yang berlubang di tengahnya, alat tumbuknya juga batu yang memanjang, jadi tidak terbayang bagaimana bisingnya saat ada acara apalagi rumahku ketika itu  masih rumah panggung. Maklum waktu itu belum ada alat dapur yang secanggih sekarang.

Sehari sebelum lebaran, ayahku sudah duduk menunggu pengumuman pemerintah di muka radio transistornya yang besarnya seperti TV 14 inc, untuk menunggu pengumuman  jadwal Hari Raya yang pasti.  Bila menteri Agama sudah mengumumkan serentak seluruh penghuni kota keluar dari rumah bergembira membunyikan gendang, sambil takbiran, aduh betapa bahagianya hati ini. Rasanya mata tak bisa terpejam semalaman menunggu hari yang dinantikan itu. Begitu subuh ayah membangunkan kami mandi semua,  lalu memakai pakaian baru sambil ayah mengoles punggung tangan mungil kami dengan parfum, orang Bugis menyebutnya minyak2 Arab, baunya sangat menyengat, tapi itulah parfum terbaik saat itu, sampai berhari-hari baunya tidak hilang. Kami sekeluarga ikut berlebaran bersama ayah, di mana ayah memberi khutbah.

Waktu itu tak ada lebaran dua kali, semuanya bersatu merayakan hari yang sama dan patuh pada pengumuman pemerintah. Kami  bergembira, berbaur, saling menziarahi, baik antar tetangga maupun handai-taulan yang jauh tempatnya, tanpa mengenal apakah kamu dari Muhammadiyah atau NU. Alangkah nikmatnya menjadi muslim yang satu saat itu.

Tapi entah dari mana mulainya, tiba-tiba  ada lebaran dua kali, barangkali satu-satunya negara di dunia, orang berlebaran dua kali ala Indonesia. Dulu, terutama di tahun 1980-an sebetulnya juga sering ada dua kali lebaran, antara pemerintah dan Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah merayakannya secara kecil-kecilan di komunitas mereka sendiri dan menggunakan fasilitas mereka sendiri, tanpa melibatkan orang luar, maklum waktu itu Soeharto masih sangat kuat kontrolnya terhadap ormas-ormas. Namun sejak reformasi, perbedaan itu disuarakan dengan sangat terbuka, dan banyak penumpang gelap yang menelusuri masuk untuk mencari panggung, lalu menyuarakannya tak terkontrol melalui medsos.

Tahun 70-an ketika saya sudah SMP, ada juga perdebatan dan perbedaan antara Muhammadiyah dan NU,  sebatas perbedaan pendapat soal ajaran agama disertai dalil-dalilnya. Mereka berdebat melalui radio amatir (radam) mereka masing-masing. Radio Muhammadiyah namanya Al-Ikhwan, dan radam NU namanya Bintang Sembilan,  wah seru perdebatannya. Waktu itu sebetulnya saya belum paham apa substansi yang diperdebatkan, saya cuma kadang ke radam itu untuk mengirim salah satu acara yang disebut salam perkenalan, salam kenal lewat udara. Karena itu, mengetahui perbedaan itu kadang melalui ayah atau   dari guru di Madrasah Tsanawiyah Darud Dakwah wal Irsayaad (DDI) tempatku belajar.

Apabila belum tuntas di radio perdebatan mereka kadang ulama dari keduanya saling mengunjungi sambil bawa kitab-kitabnya masing-masing untuk menjustifikasi dalil mereka,  semuanya benar dari sudut pandang mereka masing-masing. Rumahku ramai pula dikunjungi oleh generasi muda untuk bertanya kepada ayah tentang perbedaan itu.

Meski memang di antara keduanya Muhammadiyah dan NU kadang-kadang terjadi  saling menyerang dengan sengit.

Karena memang keduanya mempunyai metode dakwah yang saling berbeda, kl NU sangat kompromi dan akomodatif dengan adat dan budaya sepanjang tidak bertentangan dengan sayaariat agama sesuai yang dipahaminya, sehingga sangat  disukai dan dicintai oleh masayaarakat dari kelas atas sampai bawah, sementara Muhammadiyah tidak ada kompromi, semua haram, bid’ah, dan sayairik kalau berbeda dengan apa yang  dipahaminya.

Berbeda itu indah, itulah hakikat Bhinneka Tunggal Ika, tapi persatuan itu juga penting, bagian dari Pancasila sila ke-3 tentang persatuan Indonesia. Karena itu, sebaiknya kita bersatu saja dalam melaksanakan ibadah Ied, apalagi cuma sunat, tidak dilaksanakan jg tdk apa, karena terkesan di luar umat Islam Indonesia terbelah, dan wewenang dan tanggung jawab untuk menyatukan kita ada di tangan pemerintah. Kata Habib Rizieq, meski dulu saya sering tidak setuju dengan fatwanya, kali ini aku suka, katanya:  berbeda itu indah, terserah mau buka puasa kapan saja, mau mengakhiri puasa  di akhir puasa ke-29 atau di ke-30,  tak masalah, tapi demi persatuan Indonesia, mari kita merayakan lebaran secara bersama-sama, mengikuti pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan untuk menyatukan bangsa.

Sekarang ada yang ingin sidang isbat ditiadakan, lalu meminta kepada pemerintah untuk menyerahkan urusan  ied itu kepada umat Islam saja, tapi berapa banyak sekte dan aliran dalam Islam, berapa banyak org berlebaran dalam hari yang berbeda-beda?  Lantas bagaimana kalau mereka saling mengkritik, saling menyerang, secara vulgar dan tak beradab seperti yang kita temui di medsos sekarang ini? Justru ini yang sangat berbahaya tanpa kontrol dari pemerintah karena  bisa  mengundang konflik yang berpotensi mengancam persatuan.

Ada juga yang menyarankan untuk membuat kalender global utk menyeragamkan hari raya yang sama di seluruh dunia seperti umat Kristiani yang melakukan Natal secara global. Yah ini jelas tidak bisa, karena di balik lebaran ini ada pesan agama melalui Al-Qur’an dan hadits, bahwa harus ada bulan, ada hilal, karena itu harus ada hisab atau rukyah, sudah tercantum  secara eksplisit dalam fikhi.  Nah bagaimana kalau sayaarat itu tidak terpenuhi antara negara yang satu dengan negara yang lain karena kondisi cuaca yang tidak sama, mungkin di Indonesia bulan dan hilal sudah muncul sementara di Eropa masih siang, atau di Arab Saudi sudah muncul bulan dan hilal, di Indonesia belum karena selisih jam Indonesia dan Arab Saudi berselisih jauh.  Bahkan di Indonesia pun, perbedaan itu ada,  Indonesia Barat dan Timur itu selisih 2 jam, yang menyebabkan kemunculan hilalnya tidak sama, sehingga pemerintah mengambil ambang batas dengan posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat, yang didahului proses pengamatan hilal yang dilakukan di 99 titik lokasi di seluruh Indonesia.

Berbeda dengan umat Kristiani yang memang kelahiran Yesus itu jelas dan pasti, tdk ambigu, tidak mesti menunggu siang atau malam sesuai jam kelahiran Yesus karena tidak ada  perintah ayat Injil yang mengharuskan untuk itu, sehingga mereka sepakat dan final di seluruh dunia.

Karena itu, saya berharap, dan mungkin harapan kita bersama, mudah2an di tahun-tahun mendatang kita bersatu dalam perbedaan.

Selamat saudara-saudaraku bagi yang sudah melaksanakannya, kalau saya Insayaallah besok baru lebaran karena tradisi dalam keluargaku ikut pemerintah, dan diajari untuk taat pada Ulil Amri sepanjang tidak mengajak kita ke hal yang batil.  Di samping itu sebagai PNS, saya makan dan minum bersama keluarga dari pemerintah, rasanya tidak etis kalau saya memilih yang lain. Lagi pula di pemerintah, semua ahli sudah berkumpul di situ, ada dari MUI yang anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh agama Islam dan perwakilan ormas-ormas Islam termasuk NU dan Muhammadiyah. Di luar MUI ada sejumlah ulama, tokoh-tokoh agama kharismatik,  dan cendekiawan yang mumpuni dari berbagai universitas terkemuka yang bergelar profesor seperti ahli matematika, fisika, dan sebagainya untuk memutuskan hari raya Id bersama dalam sidang isbat. Saya ingat  ketika masih hidup AG KH Abd Rahman Ambo Dalle ulama kharismatik Sulawesi Selatan, pendiri DDI, selalu diundang oleh menteri agama utk menghadiri sidang isbat  penentuan hari raya. Menteri agama tidak menentukan Hari Raya, hanya membacakan keputusan sidang isbat dari para ahli itu. (*)

Tabeq di salamaqki tapada salamaq.

21 April 2023

News Feed