English English Indonesian Indonesian
oleh

Idulfitri dalam Perspektif Ekonomi dan Keadilan Sosial

Oleh Dr. H.M. Amir Uskara

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Ekonomi awalnya suci. Sesuai dengan fitrah manusia. Seperti orang hidup butuh makan dan pakaian. Lalu orang bekerja untuk mendapatkannya. Sesudah kebutuhan itu tercapai, cukup. Kalau hasilnya berlebihan, sisanya diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makah ke Madinah, Nabi minta para sahabatnya untuk saling mengasihi sebagaimana layaknya keluarga.

Sahabat Anshar di Madina menjadikan sahabat Muhajirin dari Makah seperti keluarga sendiri. Jika sahabat Anshar punya dua baju, satu baju diberikan ke “saudara”nya itu. Demikian juga uang dan makanan. Nabi Muhammad mengibaratkan orang Anshor dan Muhajirin seperti tubuh. Jika bagian tubuh tertentu sakit, seperti luka atau bisulen di kaki, maka seluruh tubuh akan merasakan perihnya Konsep tubuh yang menggambarkan kekeluargaan sahabat Anshar dan Muhajirin itu, kemudian berkembang ketika Nabi Muhammad membangun — apa yang oleh Dr. Abdul Aziz, now Dubes Indonesia untuk Saudi Arabia, disebut Chiefdom Madinah. Atau negara kemimpinan.

Di Chiefdom Madinah, makna umat diperluas; bukan hanya untuk umat Islam. Tapi untuk seluruh penduduk Madinah. Yang beragama Islam, Kristen, Yahudi, Manusia, bahkan penganut agama lokal yang jumlah banyak sekali. Di masa inilah, Nabi membangun umat melalui pendidikan politik, ekonomi, hukum dan hak asasi manusia. Tentu semuanya atas kesepakatan umat yang di-drive Wahyu Allah. Semua pasal dan ayat tentang pembangunan umat tersebut tercatat dalam Piagam Madinah.

News Feed