Inilah kota pelajar di Jerman yang namanya menjadi viral di seluruh belahan dunia: Marburg. Nama kota yang dikenal sengan keromantisan pusat kotanya yang dipenuhi bar dan kedai kopi serta sungai, disematkan ke sebuah virus yang kini dianggap
bisa mematikan dengan cepat.
Semuanya bermula di tahun 1967 — di Marburg sejumlah orang mengalami sakit dengan gejala deman berdarah, muntah, diare, dan perdarahan di badan. Virus ini memiliki tingkat mematikan hampir 80 persen bagi mereka yang ditularinya. Saat itu — virus dideteksi juga menyerang sejumlah orang di Belgrade, Serbia. Marburg (filovirus) merupakan satu dari sekian virus mematikan dengan gejala seperti demam berdarah yang belum ditemukan obat, vaksin, atau antivirusnya. Berdasarkan catatan para ahli: berbeda dengan Covid-19 yang menyerang sistem pernapasan, Marburg menyerang sistem darah. Virus ini juga menyebabkan gangguan respons imun dan proses pengentalan darah. Sebuah gangguan yang dapat mengakibatkan kondisi koagulopati (coagulopathy) —mengakibatkan munculnya perdarahan. Selain itu, berbeda dengan Covid-19 yang menyebar lewat udara, penularan Marburg terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh semacam air liur dan alat-alat yang digunakan oleh pasien yang terkontaminasi virus ini.
**
Saat ini dilaporkan — virus ini sudah ada di beberapa negara Afrika. Marburg menjadi ancaman baru bagi kesehatan dunia. Virus yang telah ada sejak puluhan tahun tersebut menjangkiti warga di Guinea Ekuatorial dan membuat wilayah tersebut menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) sejak 7 Februari lalu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis ada sembilan kematian dan 20 kasus suspek virus ini.
Lalu bagaimana kemungkinan virus ini ‘datang’ ke Indonesia? Bagaimana upaya untuk mencegahnya? Atau benarkah kata banyak orang bahwa Afrika masih cukup jauh dari negeri ini. Benarkah kita tak perlu mengkhawatirkan sama sekali Marburg ini.
Ada baiknya kita membaca dan memperhatikan pernyataan Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, Australia, mengatakan virus yang mash satu famili dengan ebola ini cukup berbahaya. Ketika masuk dalam tubuh, ia lebih cepat menyebar dan belum ditemukan vaksin serta obatnya. Lalu mengapa harus dikuatiran bagi Indonesia yang begitu jauh dari Afrika? Menurut Dicky, negara-negara tersebut belum memiliki data yang transparan dan kemampuan memadai untuk mendeteksi kasus. Menurut Dicky — ini terjadi di kawasan Afrika yang kapasitas deteksinya juga kurang memadai. Epidemiolog ini juga mengkhawatirkan di luar negara Afrika yang terjangkit kasus bisa jadi adanya kelolosan virus menyebar karena ketidaktahuan soal virus. Ia juga mengingatkan bahwa virus ini memiliki masa inkubasi yang lama, yakni tiga minggu.
**
Mungkin untuk tidak mengulangi tragedi ‘Covid-19’ — meskipun Indonesia jauh dari Afrika — menurut beberapa ahli — pemerintah sebaiknya melakukan 3 hal yakni: kemampuan deteksi dini; kemampuan respons dalam bentuk treatment, seperti isolasi dan lainnya; serta kemampuan untuk mencegah masuknya virus.
Selain itu, pemerintah perlu gencar menyosialisasi soal virus ini kepada tenaga medis dan masyarakat agar mereka dapat memahami virus ini serta persebarannya. Apapun, virus ini tetap memiliki berpotensi berkembang menjadi pandemi di masa mendatang. Waspadalah kepada Marburg. ***