MAKASSAR, FAJAR— Ramadan sampai saat ini masih diyakini oleh umat Islam sebagai bulan mulia yang penuh dengan keberkahan. Sayang, kesadaran tentang lingkungan masih lemah.
Sejatinya, bulan ini banyak orang yang berloma-lomba meraih keberkahan dan kemuliaan. Pada bulan suci ini, selain melatih menahan lapar dan haus, muslim juga dilatih untuk peka terhadap yang ada di sekitar, termasuk lingkungan.
Salah satu firman Allah dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 41 yang isinya adalah bencana ekologis sebabnya adalah ulah tangan manusia. Hal ini menandakan bahwa ketika manusia tidak mampu menjaga perilakunya dengan alam, maka akan terjadi kerusakan dan hal tersebut sebabnya adalah manusia sendiri.
Menurut data terakhir dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, setiap orang menghasilkan 0,6 kg sampah setiap hari di Kota Angingmammiri. Jika ditotal dengan jumlah penduduk Kota Makassar yang mencapai 1,5 juta jiwa, volume sampah penduduk sebanyak 1.100 ton setiap hari.
Salah satu fenomena yang terjadi pada Ramadan adalah banyaknya jajanan yang tersedia di pinggir jalan dan pusat perbelanjaan dengan kemasan plastik sekali pakai. Hal tersebut tentu meninggalkan pekerjaan rumah (PR) setelahnya, yaitu sisa sampah dari makanan dan kemasan yang digunakan.
Kepraktisannya membuat orang yang berpuasa seringkali membeli makanan atau takjil sebagai menu berbuka puasa. Itu mengakibatkan produksi limbah makin meningkat. Jika pada hari-hari biasanya saja setiap orang menghasilkan sampah plastik 0,6 kg, maka pada Ramadan jauh lebih besar lagi.
Kenyataan seperti itu harus mendapatkan perhatian lebih dari setiap manusia dan diberi tindakan solutif untuk mengurangi produksi limbah plastik.
Mamasuki bulan Ramadan pola konsumtif mahasiswa yang ingin serba praktis meningkat, apalagi yang bertempat tinggal di indekos serta memiliki kegiatan kampus yang padat. Solusi yang paling tepat dengan membeli menu berbuka puasa.
“Saya lebih memilih cara praktis dengan membeli menu berbuka dalam kemasan atau siap saji yang banyak dijual di luaran sana,” ujar salah satu mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM), Sakinah Aulia Rahmah, pekan lalu.
Ia juga menyampaikan setiap Ramadan dirinya lebih memilih membeli menu berbuka puasa dibandingkan harus memasak sendiri yang akan menghabiskan waktu lama. Pola konsumtif mahasiswa seperti ini akan meningkatkan limbah plastik yang berasal dari kemasan makanan atau minuman menu berbuka yang dibeli.
“Begitu habis, saya langsung membuangnya ke tempat sampah. Saya tidak terpikirkan untuk mendaur ulang sampah-sampah tersebut,” tambahnya.
Ia meyampaikan sampah plastik akan menimbukalkan berbagai kerusakan terhadap lingkungan apabila dibiarkan, tanpa adanya tindakan daur ulang, “Perlu adanya kebijakan pengurangan penggunaan plastik terhadap masyarakat bisa diganti dengan eco bag yang penggunaannya bisa berulang dan ramah lingkungan” harap mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris ini.
Di bulan yg suci ini tidak mengurangi semangat para kaum muslim untuk menjaga kebersihan, sebab kebersihan adalah bagian dari ibadah.
“Kalau aku selama di bulan Ramadan selalu menghindari pemakaian barang sekali pakai seperti botol plastik, apalagi di bulan puasa ini banyak orang-orang yang membeli takjil makanya sampah plastik lebih banyak daripada biasanya,” jelas Dwi.
Dwi terkadang membawa tempat sendiri dari rumahnya saat membeli takjil agar meminimalisir banyaknya sampah.
“Walaupun sesekali aku membeli takjil diluar, tapi setelah itu sampahnya langsung aku buang kecuali tempatnya masih bisa di pakai aku bawa pulang ke rumah,” tutur Dwi.
Dwi selalu membeli makanan yg dibutuhkan dibandingkan makanan yg dia inginkan, karena dwi berkata saat kita lapar kita pasti akan cepat tergiur dengan melihat makanan-makanan yang enak. Dwi selalu mengutamakan isi perutnya daripada kepuasan matanya, sebab itu Dwi tidak terlalu menghasilkan banyak sampah dari makanan yang dia beli.
“Biasanya ada botol plastik sehabis aku pakai, itu aku bawah ke rumah dan ku simpan sampai terkumpul banyak, setelah itu aku kasih ke pemulung karena biasanya ada pemulung yang mencari botol-botol plastik seperti itu,” tutup Dwi.
Umat islam di Indonesia pada bulan suci ramadhan, tepatnya di sore hari menjelang buka puasa, masyarakat pasti berbondong-bondong ke pasar ataupun ke pedagang pinggir jalan untuk membeli santapan takjil sebelum berbuka puasa.
Tidak lepas dari itu, sampah-sampah plastik kian menumpuk dan di pinggiran jalan pun banyak yang berserakan. Oleh karena itu, masyarakat mesti saling mengingatkan untuk menjaga serta menanggulangi sampah yang meningkat pada bulan ramadhan ini.
“Tentunya sampah yang semakin meningkat di bulan ramadhan itu dari sampah plastik seperti pembungkus takjil. Saya sebagai seorang pedagang takjil sangat senang ketika ada pelanggan yang beli takjil dengan membawa wadah dari rumah. Karena itu saya sering kali mengingatkan keluarga dan kerabat saya jika ingin belanja takjil ataupun lauk pauk dari luar, ada baiknya menggunakan wadah dari rumah. Selain lebih ramah lingkungan, wadah dari rumah juga lebih higenis” ungkap Ikha (20).
Bulan Ramadan adalah bulan yang mulia dan penuh keberkahan. Pada bulan Ramadan semua umat muslim melaksanakan kewajibannya dengan menjalankan ibadah puasa selama satu bulan.
Namun, indahnya di bulan suci Ramadan ini juga menyisihkan masalah lain, yang tidak lain adalah memproduksi lebih banyak sampah dibandingkan hari-hari biasanya.
“Ya, mengalami peningkatan sebab memasuki bulan puasa kebutuhan konsumen bertambah seperti ada yang mengadakan bukber, mengadakan kegiatan kajian, bertambahnya pedagang yang menjual menu takjil, dan lain sebagainya” Pungkas Nika Stiyaningrum (28).
Ia yang melakoni profesi sebagai seorang guru juga menyebutkan bahwa di sekolah belum ada siswa yang memanfaatkan limbah plastik sebagai bahan daur ulang, karena masih minimnya pengetahuan siswa, bahan dan alat yang menunjang proses daur ulang tersebut juga masih terbatas.
Nika (28) juga menyampaikan bahwa ada cara sederhana dalam mengelola limbah plastik ini sebagai bentuk kepedulian umat muslim di bulan suci Ramadan yaitu dengan membiasakan memakai barang yang terbuat dari wadah berupa kayu atau anyaman bambu, mengurangi bahan plastik dengan menggunakan barang yang bisa dipakai kembali, sedia kantong belanjaan sendiri, membawa botol minuman sendiri atau tumbler, dan daur ulang sampah plastik.
“Kita pisahkan jenis sampahnya ada sampah organik dan non-organik, setelah itu kita bisa daur ulang sampah yang tidak dipakai tersebut menjadi barang yang bermanfaat lagi” tutur Nika (28).
Di bulan Ramadan produksi sampah tentu mengalami peningkatan, baik itu sampah organik maupun sampah plastik. Sampah organik berasal dari sisa-sisa makanan, sedangkan peningkatan sampah plastik berasal dari hasil-hasil bungkusan takjil sekali pakai. Untuk mengurangi produksi sampah, tentunya harus ada tindakan yang dilakukan.
Padli Septian, Manager Perlindungan Ekosistem Esensial Hutan WALHI Sulsel, yang sebelumnya sebagai Kordinator Kampanye Anak Muda mengatakan, saat ini WALHI telah bekerjasama dengan beberapa lembaga lokal yang bergerak di bidang penangan sampah plastik.
“Jadi sampah plastik itu sekarang memiliki semacam rumah sampah, jadi kita mengumpulkan sampah, membeli sampah dan menjual ke lembaga itu. Kalau di Gowa ada YPL, sedangkan di Makassar ada YAPTAU,” ucap Padel.
Menyikapi peningkatan produksi sampah di bulan Ramadan, hal tersebut tentu tergantung kesadaran individu apalagi di kalangan anak muda, “Harusnya kalau anak muda sekarang sudah tahu apa yang menjadi bahaya dan solusi dari bahaya tersebut. Anak muda Harusnya sudah tahu bahaya sampah dan bisa memilih serta memilah sampah sekali pakai. Kalau keluar rumah dan kemungkinan buka puasa diluar, bisa membawa tumbler atau botol air minum sendiri. Botol itu bisa di isikan takjil yang ingin di beli, atau lebih bagus membawa takjil dari rumah,” ucapnya.
Sebagai umat muslim, kita seharusnya sadar bahwa membuang sampah sembarangan dan merusak lingkungan adalah sesuatu yang salah. Di masyarakat kita, seringkali menemukan orang yang paham terhadap agama namun etikanya terhadap lingkungan tidak patut di contoh.
Yang harus dilakukan adalah memupuk kesadaran akan pentingnya lingkungan. WALHI Sulsel juga giat melakukan upaya penyadaran akan bahaya kerusakan lingkungan dan solusi yang harus di lakukan melalui kegiatan Kampanye, diskusi, dan pembuatan konten-konten edukasi. “Selain itu kita juga masih sering melakukan pelatihan-pelatihan yang pesertanya adalah anak muda, karena anak muda adalah generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Sebagai anak muda yang sudah sadar akan pentingnya lingkungan, tugas selanjutnya adalah melakukan penyadaran kepada orang-orang yang ada di sekitarnya,” lanjutnya.
“Saya mengajak kepada seluruh masyarakat Sulsel, khususnya anak muda untuk menjaga lingkungan. Karena Tuhan menciptakan bumi untuk di jaga, bukan untuk di rusak. Kita bisa mengurangi produksi sampah khususnya sampah plastik dengan selalu membawa wadah makanan dan minuman sendiri, mengurangi penggunaan kantong plastik dengan membawa kantong belanjaan sendiri,” tutup Padel. (*)
Tulisan ini disusun oleh kelompok 2 Mahasiswa magang Harian Fajar yang berasal dari Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Bahasa dan Sastra Indonesia UNM:
- Nuryusriati
NIM: 200511500004 - Fitriani
NIM: 200511500007
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNM:
- Lathifah Mufidah Janah
NIM: 200501502001 - Andi Muhammad Aqshal
NIM: 200501501032
Ilmu Komunikasi UNG
- Valya Buluati
NIM: 291420067