Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas/ Ketua KPPU RI 2015 – 2018
Permasalahan utama industri perunggasan nasional adalah inefiesiensi peternak rakyat dan tingginya disparitas antara harga di level peternak dengan konsumen akhir. Harga daging ayam sangat tinggi dan berfluktuasi sepanjang tahun. Akibatnya, harga daging ayam menjadi salah satu penyumbang inflasi tertinggi secara nasional.
Kenaikan harga daging ayam tertinggi terjadi pada saat bulan Ramadhan. Pola kenaikan harganya terjadi menjelang hingga minggu pertama Ramadhan kemudian mengalami penurunan pada minggu kedua dan ketiga. Harga daging ayam kembali naik pada minggu keempat Ramadhan.
Kenaikan permintaan daging ayam selama Ramadhan memicu kenaikan inflasi yang dikenal demand pull inflation. Kenaikan harganya bisa semakin tinggi jika peningkatan permintaan diikuti oleh berkurangnya pasokan daging ayam ke pasar karena produksi menurun dan adanya kesepakatan broker besar untuk mengurangi pasokan ke pasar (output restriction).
Struktur Pasar
Industri perunggasan merupakan industri berteknologi tinggi, padat modal dan terkonsentrasi tinggi. Secara nasional, pemain utama industri perunggasan terpusat pada dua pemain besar, yaitu Charoen Pokhphan (CP) dan Japfa Comfeed (Japfa). Kedua perusahaan tersebut menguasai kurang lebih 65% – 70% industri perunggasan nasional.
Struktur pasar industri perunggasan global juga terkonsentrasi pada beberapa perusahaan yang menguasai strean Grand-Grand Parent Stock (GGPS). Satu strean GGPS membutuhkan proses penelitian dan pengembangan (R&D) puluhan tahun dengan dukungan pembiayaan yang besar. Dimana tidak banyak negara yang mampu mengembangkan strean GGPS.
Secara global, indukan utama ayam yang dikenal dengan GGPS hanya terdapat di Amerika Serikat (AS) khususnya Alabama dan Arkansas, Perancis, Australia, New Zealand dan Skotlandia. Dimana perusahan Aviagen di Alabama, AS mengembangkan strean ayam Ross, Indian River (IR), dan AA+. Sementara Arkansas mengembangkan strean ayam Cobb.
Sementara Perancis mengembangkan strean ayam sendiri, yaitu Hubbard. Selanjutnya, Skotlandia, Australia dan New Zealand dengan strean ayam Ross. Namun, strean ayam Hubbard Perancis juga sudah diakuisisi oleh Aviagen, AS. Sehingga pemain global untuk GGPS terpusat pada Aviagen (Ross) yang menguasai 70% dan Cobb sekitar 25% pasar.
Penguasaan pasar strean ayam global yang bersifat duopoli, yaitu dua strean ayam menguasai 95% pasar. Hal ini berdampak ke industri perunggasan nasional yang didominasi oleh dua perusahaan (duopoli), yaitu: (1) CP dengan strean ayam Ross (AS) dan Cobb (AS). (2) Japfa dengan strean ayam Cobb.
Sebagai industri yang padat modal dengan kandungan teknologi tinggi, industri perunggasan global dan nasional secara alami terkonsentrasi tinggi. Hal ini disebabkan oleh sifat industrinya yang terintegrasi secara vertikal dari hulu sampai ke hilir. Integrasi vertikal bertujuan untuk meningkatkan efisiensi.
Integrasi vertikal dimulai dari GGPS yang diimpor dari AS, kemudia GGPS menghasilkan Grand Parent Stock (GPS), GPS menghasilkan Parent Stock (PS), PS menghasilkan Day Old Chick (DOC) dan produk turunan. Industri perunggasan juga secara genetik mensyaratkan integrasi dengan bisnis pakan ternak karena setiap strean ayam memerlukan spesifikasi pakan yang sesuai dengan kondisi genetiknya.
Fluktuasi Harga
Lalu apa yang membuat harga daging ayam di Indonesia tinggi dan berfluktuasi, terutama pada saat bulan Ramadhan? Tingginya harga daging ayam dalam negeri disebabkan oleh inefisiensi peternakan terutama kandang open house (kendang terbuka) yang dikelola oleh peternak kecil.
Selain itu, harga daging ayam tinggi dan berfluktuasi disebabkan oleh rantai distribusi yang terlampau panjang hingga ke konsumen. Dimana harga ayam di kandang peternak lebih banyak dikendalikan oleh pedagang atau broker. Harga ayam di kandang peternak sangat berfluktuasi dan berada di bawah biaya pokok peternak rakyat.
Saat ini, Badan Pangan Nasional (BAPANAS) telah menetapkan harga batas bawah ayam hidup di kandang sebesar Rp. 21.000 per kg dan paling tinggi Rp. 23.000 per kg. Namun faktanya, harga ayam di tingkat peternak hanya sekitar Rp. 15.000 – Rp. 16.000 per kg hidup. Kondisi ini membuat peternak rakyat rugi mengingat Harga Pokok Peternak (HPP) sekitar Rp. 18.000 – Rp. 19.000 per kg hidup untuk kandang terbuka.
Meskipun harga ayam hidup di tingkat peternak sekitar Rp. 15.000 – Rp. 16.000 namun harga daging ayam di tingkat konsumen tetap sangat tinggi, yaitu sekitar Rp. 50.000 – Rp. 60.000,- per kg di level konsumen. Hal ini dapat diamati di pasar Terong, Kota Makassar.
Idealnya, dengan harga ayam hidup di kandang Rp. 15.000 – Rp. 16.000 maka harga di level konsumen paling murah Rp. 25.000 per kg karkas dan paling mahal Rp. 27.000 per kg karkas. Margin keuntungan terbesar Rp. 25.000 – Rp. 35.000 per kg karkas dinikmati oleh broker, bandar, bakul dan retailer yang ada di pasar tradisional.
Pemerintah melalui BAPANAS telah menetapkan batas atas harga ayam karkas di level konsumen sebesar Rp. 36.750 per kg. Pada tingkat harga seperti ini akan membuat konsumen dapat membeli daging ayam pada harga relatif lebih murah dan peternak dapat menjual pada harga lebih besar dari HPP kendang terbuka peternak rakyat.
Beberapa Langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu: (1) Mendorong integrasi vertikal industri perunggasan nasional sehingga terdapat kesesuaian antara strean ayam dengan ketersediaan pakan. Hal ini akan menurunkan Feed Conversion Rate (FCR), dimana untuk menghasilkan satu kilogram daging ayam membutuhkan pakan lebih kecil.
(2). Mendorong konsolidasi industri perunggasan sehingga perusahaan importir GPS terintegrasi dengan perusahaan PS, perusahaan peternakan untuk membesarkan DOC life bird (ayam pedaging), Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU), cold storage, dan produk turunan berupa naget, sosis, serta ready meal atau makanan siap saji.
(3) Menyederhanakan rantai distribusi ayam pedaging melalui digitalisasi (e-commerce) sehingga mengurangi disparitas harga ayam hidup di level peternak dengan ayam karkas di level konsumen akhir. Harapannya, harga ayam hidup di kandang dan konsumen akhir sesuai dengan acuan harga pemerintah. Semuanya dapat menikmati keuntungan dengan harga relatif rendah dan tidak berfluktuasi. (*)