OLEH: Nasrullah Mappatang, Pembelajar Budaya Politik Asia Tenggara, Tinggal di Kuala Lumpur
Jagad media Malaysia tengah diwarnai dua berita besar: Banjir di Johor dan Korupsi mantan Perdana Menterinya (PM), Muhyiddin Yasin.
Setelah era Mahathir Mohamad yang kedua pada tahun 2018 – 2020 lalu memenjarakan mantan perdana menteri Najib Razak, era Anwar Ibrahim saat ini seperti tak ingin ketinggalan dalam menangani rasuah di negeri jiran. Tahun – tahun pertama Anwar berkuasa langsung tancap gas dengan diperiksanya mantan perdana menteri sebelumnya, Muhyiddin Yassin, juga atas tuduhan rasuah. Orang awam dan khalayak media Malaysia dan Asia Tenggara serta media asing lainnya pun gempar. Setelah Najib, satu lagi mantan PM Malaysia terancam masuk bui. Kasus keduanya pun sama: korupsi.
Dalil lama politik dan kekuasaan seolah tak berubah. Power tends to corrupt. Kekuasaan cenderung korup. Itu kecurigaan konstan para filsuf dan pemikir atas kekuasaan. Najib adalah penguasa Malaysia dari partai UMNO (partai “Melayu” berkuasa terlama di Malaysia). Begitupun dengan Muhyiddin, sebelum mendirikan BERSATU (partai “Melayu baru” di Malaysia), Muhyiddin adalah petinggi sekaligus elit kenamaan UMNO bersama Najib. Baik UMNO maupun BERSATU, di bawah Najib dan Muhyiddin sama – sama pernah berkuasa.
Bedanya, UMNO di bawah Najib berkuasa relatif lama, selama periode. Sedangkan BERSATU di bawah Muhyiddin berkuasa relatif singkat, hanya lebih kurang dua tahun. Itupun di masa pandemi. Ketika negara sedang darurat dan anggaran jor – joran dialihkan untuk “perang” melawan pandemi COVID-19.
Seperti kutukan
Menjadi penguasa di Malaysia belakangan ini seperti kutukan. Yakni, siap – siap menerima kutukan: masuk penjara ketika kalah pilihan raya (sebutan pemilihan umum di Malaysia) dan tak lagi berkuasa. Itu kalau Muhyiddin terbukti juga melakukan rasuah lalu masuk bui karena pembuktian itu.
Pada Pilihan Raya 2018, Najib yang kalah dari Mahatir, diperiksa dan akhirnya terbukti lalu masuk penjara. Setelah itu pada tahun, 2022 Muhyiddin yang juga kalah dari Anwar Ibrahim akhirnya tak cukup setahun juga diperiksa, tinggal menunggu waktu apakah akan mengikuti nasib Najib, pendahulunya, yang masuk bui karena terbukti korupsi atau malah sebaliknya, bebas dari tuduhan.
Secara pribadi, sosok Muhyiddin tentu berbeda dengan Najib. Citra keduanya berbeda di media dan di mata masyarakat awam Malaysia. Muhyiddin dikenal keturunan ulama dan berkharisma Melayu-Islami. Tak ada juga isu – isu miring dengan keluarganya yang hidup mewah lagi glamour.
Berbeda dengan Najib, anak Perdana Menteri kedua Malaysia, Tun Abdul Razak ini memiliki citra Melayu-modern dalam artian positif. Dikenal “gaul” oleh pendukungnya, dengan sapaan “bos”, yang bertolak belakang dengan Muhyiddin yang seperti kebapakan ala keluarga Melayu dengan sapaan “Abah”. Lagi, keluarga Najib diterpa isu miring dengan istrinya yang terkuak hidup mewah ala kaum sosialita “jaman now”. Deretan koleksi barang mewah seperti tas – tas branded (bermerek) dan penampilan aduhai di hadapan publik kerap menyita perhatian.
Dari persamaan dan perbedaan itu, siapa sangka kedua bekas PM Malaysia itu, kini hampir berada posisi yang sama: dipenjara karena terbukti korupsi.
Alarm Peringatan
Banjir di Malaysia yang kerap terjadi di Malaysia, dimana saat ini tengah melanda Johor, seperti alarm peringatan. Bahwa, alam dan lingkungan negeri kaya sawit dan minyak-gas ini, tengah bermasalah. Krisis ekologis menunjukkan parasnya.
Belum hilang di ingatan bencana tanah runtuh (sebutan tanah longsor di Malaysia) di Camerron Highland, negeri Pahang dan Banjir di Pantai Timur, Kelantan beberapa bulan lalu, kini banjir Johor kembali membuat rakyat Malaysia mendekam di tenda – tenda pengungsian. Duka dan kesedihan tak terelak. Biaya besar mau tak mau harus ditanggung. Itulah harga yang sepertinya hendak dibayar ketika hutan – hutan perawan diubah manusia menjadi kebun – kebun sawit dan perlombongan serta aktivitas pembangunan lain untuk kesejahteraan.
Berita diperiksanya Muhyiddin pun juga seperti alarm. Bahwa Malaysia tidak main – main memberantas rasuah (korupsi). Tidak pilih merek, bekas Perdana Menteri pun disikat. Setelah Najib yang dikenal memang hidup mewah, Muhyiddin yang dicitra sederhana dan islami serta pro Melayu pun tak ada ampun. Semua “disentuh” oleh hukum di negeri ini.
Alarm ini pun berbunyi untuk pemimpin – pemimpin lain di Asia Tenggara hingga seluruh dunia yang telah dan sedang berkuasa. Bahwa, selain Korea, ada contoh penguasa akan diadili hingga dipenjarakan setelah berkuasa ketika terbukti bersalah. Tak ada yang tak mungkin dilakukan bagi penguasa yang korup dan zalim terhadap rakyatnya.
Bahwa ada yang beranggapan itu “politis”, yah. Memang, kekuasaan adalah arena politik yang tak mungkin lepas dari urusan – urusan politis. Tapi, pembuktian hukum adalah keputusan yuridis. Asumsi politis berhenti di sini, meski anggapan demikian tak mungkin dilarang.
Dua Warisan
Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia kini, tengah menjalani dua warisan para pendahulunya: Banjir dan Korupsi. Selain rasuah yang menjadi konsen utama, krisis dan degradasi ekologis sepertinya menjadi pekerjaan rumah alumni Pengajian Melayu Universiti Malaya ini.
Dengan slogan dan program – program “Malaysia Madani” dengan visi Reformasi Malaysia, pria yang bergelar dan bernama lengkap Dato’ Seri Anwar Ibrahim ini, diharapkan dapat membawa kejayaan lanjutan Kerajaan Malaysia. Di samping mitigasi bencana banjir yang ramai di tivi-tivi Malaysia, Anwar juga tengah mengusahakan mitigasi rasuah bahkan hingga pemberantasannya.
Olehnya, selain “pemberantasan tindakan korupsi”, Anwar Ibrahim, PM Malaysia saat ini, sepertinya juga patut mencadangkan “pemberantasan krisis ekologis” untuk menyelamatkan rakyat Malaysia dari sapuan banjir dan tanah runtuh yang kian sering terjadi belakangan ini di saat perubahan iklim (climate change) semakin tak terhindarkan.
Bagaimanapun, banjir dan korupsi adalah dua warisan yang tengah dihadapi pemerintahan PM Malaysia Anwar Ibrahim sekarang ini. Mampukah beliau mengatasinya? Rakyat Malaysia sepertinya perlu bersabar menunggu pembuktiannya. (*)