English English Indonesian Indonesian
oleh

The Death Penalty

Oleh : Lutfie Natsir, SH. MH, CLa, Pemerhati Masalah Hukum

Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana, “Pidana Mati merupakan pidana pokok yang bersifat alternatif masa percobaan, Pidana mati bersyarat diperlukan sebagai proses evaluatif narapidana dalam menjalani hukuman dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.”

Dalam ketentuan pasal 100 KUHP disebutkan sebagai berikut:
(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 ( sepuluh ) tahun dengan memperhatikan :
a. Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. Peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 ( sepuluh ) tahun dimulai 1( satu ) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji. pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
(5) Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.
(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimna dimaksud ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas printah Jaksa Agung.

Pembaharuan hukum adalah sebuah keniscayaan karena pasti akan terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan hukum pidana yang berubah mengikuti perkembangan manusia sebagai penyusun hukum. Pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya terus menerus melalui perundang-undangan untuk menyerasikan perundang-undangan pidana dengan asas-asas hukum, serta nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat baik di tingkat nasional dan internasional.

Pembaharuan hukum di Indonesia ditunjukkan melalui penyusunan KUHP baru sebagai hukum yang dicita-citakan bangsa Indonesia (ius constituendum) bukan sebuah warisan masa dahulu. Hal ini dikarenakan nilai yang dianut oleh zaman dahulu saat zaman penjajahan adalah nilai liberalisme, non-religius, diskriminasi ras, penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak terbatas, individualistis, dan absolutisme negara yang kaku. Nilai tersebut jelas tidak sesuai dengan nilai jati diri bangsa Indonesia yang bersifat Ketuhanan, Gotong Royong, Penghormatan Kepentingan Umum, dan Musyawarah Mufakat.

Penyusunan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah menyesuaikan dengan nilai jati diri masyarakat Indonesia. Adapun nilai jati diri bangsa Indonesia dapat ditemui dalam Pancasila yang terdiri dari Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai tersebut adalah bentuk penemuan bukan pembentukan nilai yang disusun oleh para pendiri bangsa (founding father).

Hukum memang harus sesuai dengan nilai yang dianut oleh pelaksana hukum Pidana mati termasuk dalam golongan pidana pokok, yakni pidana yang diancamkan secara langsung. Letak pidana mati di urutan pertama pidana pokok juga merupakan analisa bahwa pidana mati merupakan pidana yang paling berat dibanding pidana pokok lainnya seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Di berbagai negara lain yang belum menghapuskan pidana mati memang menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling berat dibanding bentuk pemidanaan lainnya. Dalam proses pembaharuan KUHP di Indonesia, terdapat beberapa pihak yang berbeda pendapat dengan hukuman mati.

Dari kaum golongan yang mendukung penghormatan HAM secara penuh ingin menghapuskan pidana mati secara total di Indonesia, golongan ini di dunia internasional lazim disebut dengan nama golongan abolisionis (paham yang meyakini bahwa tindak pidana dapat mencapai penghapusan hukuman dengan metode perbaikan diri). Adapun golongan yang masih tetap mempertahankan hukuman mati di Indonesia biasanya terpengaruh dari latar belakang yang memperbolehkan dan bahkan memandang hukuman mati adalah hukuman yang utama dan efektif dalam menanggulangi kejahatan. Golongan ini dalam dunia internasional sering disebut dengan golongan retensionis (kelompok yang menilai bahwa orang yang telah melakukan perbuatan tertentu mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang maka orang tersebut hakekatnya melanggar hak tertinggi seseorang lainnya).

Golongan abolisionis ingin menghapuskan pidana mati secara total dalam KUHP karena berpendapat bahwa hak hidup (the right to life) adalah hak yang melekat dalam diri manusia. Hak melekat tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh hal apa pun kecuali oleh sang pemberi hidup yakni Tuhan Yang Maha Esa. Secara kajian konstitusional kaum abolisonis berpegang pada Pasal 28 A Amandemen UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan kehidupannya, banyak kalangan dari kaum abolisonis dan bahkan di luar golongan tersebut berpendapat bahwa eksistensi pidana mati di Indonesia bertentangan dengan Pasal 28 A Amandemen UUD 1945.

Dalam Pasal 64 KUHP pidana mati bukan termasuk pidana pokok tetapi merupakan pidana khusus yang diancamkan selalu berdampingan dengan pidana lain sehingga dinamakan pidana mati bersyarat. pengaturan pidana mati bersyarat dalam KUHP adalah solusi jalan tengah yang bercirikan Inndonesia. hal ini sesuai dengan pasal 98 KUHP dimana tujuan pidana mati adalah upaya terakhir (ultimum remidium) untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.

Pasal ini juga sebagai penyelesaian konflik antara golongan retensionis dan abolisionis dimana diambil jalan tengah bahwa pidana mati tetap dilakukan sebagai upaya terakhir demi kepentingan yang lebih besar yakni melindungi dan mengayomi masyarakat. (asas hukum) Ketentuan agara pidana mati bersyarat (conditional death penalty) dapat dijatuhkan diatur dalam Pasal 99 KUHP yakni dalam Pasal 99 ayat (1) bahwa eksekusi pidana mati dapat dilakukan setelah permohonan grasi ditolak oleh presiden, kemudian di ayat (2) dijelaskan bahwa pelaksanannya tidak dilakukan di muka umum, kemudian di ayat (3) tentang cara ekseskusi dengan regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan oleh undang-undang, serta ayat (4) tentang penundaan eksekusi terhadap wanita hamil sampai melahirkan, wanita menyusui sampai tidak lagi menyusui bayinya, dan orang gila sampai sembuh.

Kemudian di Pasal 100 ayat (1) KUHP dijelaskan tentang masa percobaan selama 10 tahun yang dapat dijatuhkan hakim jika memenuhi tiga syarat yakni: a) terdakwa menunjukan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b) peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting; atau c) ada alasan yang meringankan. Kemudian dalam pasal 100 ayat (2) KUHP dijelaskan bahwa masa percobaan tersebut harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Selanjutnya dalam pasal 100 ayat (3) KUHP dijelaskan penghitungan harinya dilakukan satu hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum tentang masa tunggu bagi terpidana.

Dalam pasal 100 ayat (4) KUHP dijelaskan bahwa terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Disini dijelaskan tentang sisi evaluatif dari pidana mati bersyarat dimana jika ada harapan terpidana untuk bertaubat maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.

Dalam pasal 100 ayat (5) KUHP menyebutkan Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Hal ini menunjukan ketegasan pemerintah untuk tetap mengeksekusi terpidana mati jika tidak ada harapan untuk diperbaiki.

Dalam Pasal 101 RKUHP mencantumkan ketentuan Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara jika selama masa percobaan yang bersangkutan, menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji dengan Keppres dengan pertimbangan MA, Hal ini menunjukan sisi kepastian hukum bagi pelaksanaan eksekusi setelah grasinya ditolak oleh presiden. Kemudian dalam Pasal 102 KUHP dijelaskan bajwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang- Undang.

Hal ini mengisyaratkan bahwa KUHP tetap memberi kesempatan bagi para pembuat kebijakan untuk dapat mengoreksi bagaimana cara eksekusi pidana mati yang terbaik sesuai dengan pekembangan wawasan dan zaman. Pengaturan seperti ini mengisyaratkan bahwa KUHP menganut asas fleksibilitas/ elastisitas. Demikian juga terhadap wanita mengandung atau ibu baru serta orang yang menjadi gila.

Hak untuk mengajukan banding adalah wajib ada bagi terpidana, pidana mati tidak menghilangkan hak bagi terpidana untuk mencari permohonan pengampunan atau grasi pidana mati harus ditangguhkan apabila perkara sedang ditunda karena sedang banding atau sedang ada prosedur lain sehubungan dengan grasi atau komutasi.

Dalam Pasal 52 KUHP tentang tujuan pemidanaan, dirumuskan bahwa pidana tidak boleh merendahkan martabat manusia. Jadi dapat diartikan bahwa ketika putusan pidana mati dijatuhkan maka harus dijatuhkan dengan menerapkan penderitaan paling sedikit bagi terpidana. Demikian sekadar kami sampaikan semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal ibadah. Wallahu A’lam Bishawab, Jazakkalahu Khairan. (*)

News Feed