Realitas membuktikan bahwa praktik politik identitas dalam pilgub DKI Jakarta yang begitu seru, terbukti tidak membuat masyarakat terpecah belah apalagi membubarkan negara. Demikan pula dalam pilpres tahun 2014 dan 2019 yang lagi lagi dicap menggunakan praktik politik identitas, masyarakat dan bangsa serta negara tetap utuh dan sama sekali tidak ada indikasi tentang ancaman bahaya seperti yang digembor-gemborkan pencetus hantunisasi politik identitas (HPI). Banyak yang menengarai jika HPI hanya merupakan taktik dan strategi jitu bagi parpol sekuler untuk tetap survive karena mereka sadar jika isu agama dimainkan terutama Islam sebagai kekuatan mayoritas di negeri ini, maka parpol sekuler hanya tinggal nama.
Untuk mengelabui publik, maka HPI dikemas dengan beragam isu yang kesemuanya membangun image destruktif seperti hantunisasi komunisme yang digaungkan penguasa Orba. Padahal politik identitas bukanlah hal yang haram karena negara demokrasi barat saja seperti Amerika Serikat sebagian pendukung Trump juga menggunakan politik identitas itu. White Supremacy, atau Anglo-saxon Protestan misalnya. Atau pada saat Jair Bolsonaro maju di Brazil, politik identitas juga terjadi pada skala tertentu. Bahkan dalam segala hal di Jerman semua identitas Nazi haram, dalam sistem politik Israel partai Likud dan sekutunya, senantiasa mengampanyekan kepentingan Yahudi.
HPI sebenarnya merupakan kelanjutan dari penguatan sekularisasi yang ingin menyingkirkan agama dalam determinasi politik negara. HPI tak lebih sebagai politik kemasan dari agenda terselubung parpol sekuler untuk mengungguli parpol berbasis agama. HPI tidak lain merupakan manifestasi dari politik pembusukan agama sehingga warga digiring untuk mendukung sekularisasi dengan menjauhi segala bentuk pengaruh agama dalam politik negara. (*)