OLEH: Syamsul Rijal, Mahasiswa S3 Linguistik FIB Unhas/ Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Mulawarman
Bulan Februari ini mengingatkan kita tentang kelahiran beberapa daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah Sidenreng Rappang (Sidrap) yang resmi berdiri pada tanggal 18 Februari, dan tahun 2023 ini adalah hari jadinya yang ke-679. Di Sidenreng Rappang, lahir seorang cerdik cendikiawan yang pesan-pesan bijaknya masih dipakai hingga sekarang. Dia adalah Nene Mallomo, yang bernama asli La Patiroi atau La Pagala. Dari tokoh ini lahir satu kata bijak yang sangat terkenal di Sulawesi Selatan, yakni resopa temmangingngi namalomo naletei pammase dewata.
Dalam kalimat bijak tersebut terdapat akar kata reso. Akar kata ini menurunkan bentuk kata sifat mareso (sibuk), sedangkan bentuk kata kerjanya sering disebut makkareso (kerja keras). Baik akar kata reso maupun kata-kata turunannya masih tetap digunakan sampai sekarang. Akan tetapi, makna kata reso ini perlu ditinjau kembali karena sepertinya telah bergeser dari makna yang disampaikan oleh Nene Mallomo sekitar 418 tahun yang lalu.
Perlu diingat bahwa kalimat resopa temmangingngi namalomo naletei pammase dewata yang disampaikan Nene Mallomo diikuti dengan frasa pammase dewata. Frasa pammase dewata ini kira-kira bermakna “rahmat Tuhan” jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Nene Mallomo tidak pernah melepaskan unsur religius dalam pesannya, termasuk pesan klasik di atas yang sudah bertahan selama ratusan tahun. Hal ini dapat berarti bahwa setiap kesibukan atau pekerjaan yang dilakukan manusia haruslah kesibukan dan pekerjaan yang direstui dan diridai Tuhan, Allah Swt.
Konsep makna dalam mareso saat ini sudah keluar dari restu Tuhan. Maknanya sudah tidak sejalan dengan makna yang disampaikan Nene Mallomo. Makna mareso telah terdegradasi. Kesibukan-kesibukan yang dilakukan masyarakat sudah tidak sesuai adat budaya dan ajaran agama Islam. Banyak perkerjaan yang dilakoni masyarakat Sidenreng Rappang yang keluar dari konsep makna reso dari Nene Mallomo. Tentu hal ini tidak sesuai dengan tujuan akhir, yakni pammase dewata (rahmat Tuhan) menghampiri kita setelah bekerja keras.
Sudah sekitar dua puluh tahun Sidenreng Rappang dicoreng namanya dengan satu aktivitas penipuan karena ulah sebagian warganya. Masyarakat di Sidrap biasa menyebutnya showbis. Dulu awalnya dikenal dengan nama halo-halo. Bahkan, mungkin sudah lebih dua puluh tahun, karena sudah mulai dikenal sejak adanya telepon seluler. Sekarang sudah semakin parah karena anak-anak usia SMP pun sudah menggeluti aktivitas penipuan ini. Penangkapan dan kurungan tampaknya tidak membuat pelakunya jera. Selalu ada pelaku-pelaku baru yang bermunculan. Yakin, ini bukan lagi soal pekerjaan atau kebutuhan hidup, tetapi sudah masuk ranah budaya. Mari kita bicarakan.
Setidaknya, ada dua hal yang paling berpengaruh terhadap menjamurnya aktivitas penipuan showbis di Sidenreng Rappang, yakni konsumtif dan hedonis. Pertama, budaya konsumtif masyarakat yang telah melampaui kebutuhannya sebagai individu maupun komunitas. Hal ini mendorong sebagian anak muda menggeluti aktivitas showbis untuk memenuhi keinginannya di luar dari batas kemampuan daya belinya. Peluang itu ada, sebab mereka telah mencontoh generasi sebelumnya. Bahkan, mungkin mereka telah belajar langsung dengan praktik dari lingkungannya sendiri. Tentu sangat mudah karena hanya bermodalkan telepon seluler yang berperangkat android atau sejenisnya.
Kedua, budaya hedonis telah merasuki anak muda di Sidenreng Rappang. Kebiasaan ini muncul karena anak-anak muda berupaya memuaskan sifat hedonnya dengan cara-cara yang salah. Mereka menggunakan cara penipuan untuk nafsu hedonnya, salah satunya dengan cara showbis. Sekali lagi, showbis ini sangat mudah bagi mereka karena di lingkungannya sudah ada generasi sebelumnya yang sudah paham cara penipuan daring ini.
Budaya konsumtif dan budaya hedonis ini mendobrak budaya-budaya lain, seperti moralitas, etos kerja, kejujuran, pendidikan, agama, serta tentunya mendobrak literasi hukum mereka sendiri karena mereka paham bahwa ini adalah penipuan dan bagian dari kriminalitas. Mungkin tidak salah kalau dikatakan mereka telah meng-“halal”-kan cara itu sebagai salah satu sumber penghasilan. Anehnya lagi, sebagian dari mereka didukung secara diam-diam oleh orang tuanya. Artinya, tidak ada teguran kepada anaknya yang melakukan aktivitas tersebut. Bahkan, tampaknya orang tuanya juga ikut menikmati hasil dari aktivitas showbis yang dilakukan anaknya. Dan, ini pantas disebut degradasi.
Dengan melihat proses degradasi dari kata reso, tampaknya sudah mengabaikan budaya-budaya lain. Dari mana datangnya degradasi kata reso ini, tentu dari degradasi budaya secara keseluruhan. Kata reso hanya pintu untuk melihat kemerosotan budaya yang lain. Oleh karena itu, perlu meluruskan makna kata reso yang sebenarnya jika Sidenreng Rappang masih mau menggunakan pesan bijak Nene Mallomo sebagai semboyannya. (*)