English English Indonesian Indonesian
oleh

Banjir Makassar dan PR Wali Kota

OLEH: Laode M Syarif, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Hasanuddin dan Komisioner KPK 2015-2019

Tulisan ini dibuat karena rasa cinta dan prihatin dengan banjir besar yang menenggelamkan Makassar minggu ini dan dipicu oleh penjelasan Wali Kota Makassar yang mengatakan bahwa banjir besar Makassar diakibatkan oleh curah hujan tinggi yang bertepatan dengan air laut pasang. Penjelasan Wali Kota sangat mirip dengan komentar pemerintah pada umumnya yang selalu menyalahkan alam, padahal kita tahu persis bahwa banjir tahunan Makassar yang besar hanya terjadi pada beberapa tahun terakhir, dan pemicunya lebih banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, dibanding faktor alam yang sering dikambinghitamkan oleh pemerintah.  

Oleh karena itu, mungkin ada baiknya kita mulai belajar “menyalahkan diri sendiri” dibanding menyalahkan alam. Semua warga Makassar diharapkan dapat berkontribusi langsung pada perbaikan Makassar, walaupun hanya dalam bentuk keluhan, karena protes adalah halal sifatnya agar pemerintah lebih berupaya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang dilayaninya. Pemerintah tidak boleh alergi pada kritik dan haram hukumnya memonopoli kebenaran, karena kebenaran bisa datang dari mana saja. Intinya, pemerintah harus berlapang dada mendengarkan keluhan masyarakat jika ingin diingat sebagai pemerintah yang baik dan responsif.

Dalam rangka untuk menunaikan tanggung jawab tersebut, mungkin ada baiknya kita tafakur dan merenungkan kesalahan kita pada alam dan kota Makassar yang menghidupi kita semua. Renungan itu penting karena mungkin saja komentar-komentar yang dianggap miring itu adalah sebagian dari solusi, jika kita berlapang dada dalam mendengarnya.

Tidak dapat disangkal bahwa curah hujan tinggi dan air laut pasang adalah penyebab terjadinya banjir, tetapi pada saat yang sama ada faktor-faktor ‘non alam’ lain juga berkontribusi signifikan dalam banjir Makassar. Beberapa penyebab dan sumber banjir Makassar dapat kita kategorikan dalam kategori-kategori sebagai berikut: 

Reklamasi Pantai Makassar

Reklamasi pantai Makassar yang makin meluas menjadi salah satu biang kerok banjir Makassar karena ‘run off’ dari sungai Jeneberang dan air yang berasal dari kota menjadi terhalang atau tersendat ke laut. Reklamasi ini dari awal tidak direkomendasikan oleh PSL UNHAS, karena pada perencanaan awal saya ikut kajian dari segi hukum lingkungannya dan kesimpulannya memang tidak direkomendasikan. Reklamasi pantai Losari dan sekitarnya bahkan tidak memiliki kajian AMDAL yang baik bahkan WALHI pernah menggugat Gubernur Sulsel pada April 2016 karena ditenggarai bahwa dokumen AMDAL-nya abal-abal. (Kompas, 14 April 2016). Sebagai orang yang pernah menerima banyak laporan soal proses reklamasi pantai Losari dan sekitarnya, saya paham persis bahwa proyek reklamasi pantai Makassar banyak menyimpang dari prinsip-prinsip good governance. Sayangnya saya tidak bisa tuliskan detailnya di sini tetapi saya ‘haqul-yaqin’ banyak pelanggaran tata kelola dalam proyek reklamasi pantai Makassar bahkan telah ditulis banyak dalam kajian ilmiah. (Zulkifli Aspan, 2017, Tinjauan Yuridis Izin Reklamasi Pantai Makassar Dalam Mega Proyek Centre Point Indonesia). 

Untuk melihat kontribusi reklamasi pantai terhadap banjir Makassar sebenarnya dapat dilihat perbandingan frekuensi banjir “sebelum dan sesudah” reklamasi. Sebelum reklamasi sangat jarang dan bahkan tidak pernah terjadi banjir, dan setelah reklamasi makin sering terjadi banjir. Bahkan sejak awal-awal reklamasi Kecamatan Mariso langsung sering banjir, padahal dahulunya jarang terjadi. Dengan segala hormat kepada Wali Kota yang mengatakan bahwa reklamasi Makassar juga berfungsi sebagai pencegahan banjir, sangat sukar dibenarkan karena kenyataannya banjir terjadi setelah proyek reklamasi diperluas. Wali Kota juga tidak bisa ‘memonopoli  kebenaran’ karena beliau terlibat secara langsung dalam desain reklamasi sehingga pasti ada ‘conflict of interest’ dan pasti sulit untuk menilainya secara obyektif. Intinya, proyek reklamasi pantai Makassar didesain untuk permukiman, perkantoran, pusat usaha dan hotel, tetapi bukan sebagai flood control. Masih dalam poin ini, agar lebih adil dalam menilai, reklamasi pantai Makassar dapat berfungsi sebagai ‘barrier’ untuk menghambat ‘sea level rise’ tapi pada saat yang sama juga sangat menyulitkan ‘run off’ air dari sungai dan curahan air dari dalam kota untuk mencapai laut, karena proyek reklamasi menjadi lebih tinggi dibanding daratan tanah ‘non-reklamasi’. Jika fakta ini dapat dipahami oleh sarjana hukum seperti saya, seharusnya city planners, civil/environmental engineers, dan pengambil kebijakan seharusnya jauh lebih paham akan konsekuensi proyek reklamasi yang bermasalah sejak awal. 

Kualitas dan ketidaktaatan pada RTRW

Sebagaimana dikemukakan oleh banyak pihak, termasuk mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla (JK), pernah  mengatakan bahwa RTRW harus dibuat baik dan ditaati oleh Pemerintah Kota dan masyarakat Makassar. Pak JK bahkan pernah berseloroh kepada Gubernur dan Wali Kota bahwa  “Harus dilihat petugas, jangan semua dikasih. Bukan jumlah tapi kualitas izin juga harus baik. Izin juga harus sesuai, jangan jadi ruko semua. Nanti jadi kota ruko.”  (JK, Jangan Jadi Kota Ruko, Republika, 7 Mei 2015). Jadi ketidakseriusan pemerintah kota dalam mengurus dan mengelola RTRW Makassar, sudah diingatkan dari dahulu tapi sayangnya tidak banyak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan karena pembangunan pusat pemukiman dan pusat perbelanjaan banyak yang menerobos RTRW karena ‘dikondisikan’ oleh pengusaha dan penguasa. Contoh nyata dari pelanggaran itu dapat dilihat pada pembangunan hotel yang sekarang menjadi Swisbell Hotel di depan Fort Rotterdam, yang dahulunya bahkan sempat disegel oleh polisi karena tidak memiliki izin. Tapi sayangnya, tidak pernah ada ketegasan karena telah ‘dikondisikan’ dengan tidak transparan. Mungkin sudah saatnya juga kita bertanya kepada pemerintah kota, mengapa daerah terlarang menjadi bisa dibangun? Yang jelas pembangunan hotel tersebut juga memberikan kontribusi dalam menyulitkan run off air hujan ke laut.

Perlu diingat bahwa kota yang baik adalah kota yang melibatkan masyarakat dalam perancangan RTRW dan dokumen RTRW sebaiknya dibuat transparan agar ada rasa memiliki dan komitmen dalam menjalankannya. RTRW yang transparan juga menyulitkan pemerintah untuk ‘mengakali’ perubahan RTRW dan pada saat yang sama akan memudahkan kontrol dari masyarakat, sehingga tercipta ‘check and balance’ yang menyehatkan berjalannya suatu pemerintahan. 

Lahan basah (wet land) dan RTH

Lahan basah (wet land) seperti daerah aliran sungai, rawa, dan muara sungai harus dirawat vegetasi yang tumbuh di lahan basah karena sangat penting dalam menampung air sungai yang luber saat curah hujan tinggi dan menjadi pusat kehidupan bagi biodiversity lahan basah. Sayangnya dalam 10 tahun terakhir hampir semua lahan basah di Makassar telah berubah jadi pusat perumahan dan dunia usaha. Contoh nyata dari perubahan landscape lahan basah di Makassar dapat dilihat di sekitar sungai Tallo yang dahulunya luas dan menjadi pendukung ekosistem sungai Tallo yang luas, sayang seribu sayang sekarang telah dipenuhi oleh bangunan usaha dan tempat tinggal. Oleh karena itu, jangan heran jika sungai Tallo menjadi gampang meluap karena ekosistem pendukungnya telah berubah fungsi. Tentunya hal yang sama juga diderita oleh ekosistem pendukung sungai Jeneberang sehingga menjadi pemicu banjir yang sukar dikendalikan. 

Di samping itu, UU Tata Ruang mewajibkan kota seperti Makassar untuk memiliki ruang terbuka hijau (RTH) sebanyak 30 persen dari luas wilayah, sayangnya menurut keterangan wali kota, RTH Makassar hanya sekitar 10 persen dan tidak ada penambahan signifikan selama 10 tahun terakhir. Hal ini perlu diseriusi, karena ruang terbuka hijau sebenarnya juga dapat dicapai dengan tidak mengizinkan pembangunan di sekitar daerah aliran sungai dan lahan basah.

Sayang seribu sayang, lapangan karebosi yang secara tradisional berfungsi sebagai ‘paru-paru’ kota tidak dapat berfungsi maksimal sebagai kawasan resapan air hujan karena di bawah lapangan karebosi terdapat pusat perbelanjaan. Oleh karena itu, keberpihakan pemerintah dalam merawat kota yang sehat, dapat dilihat dari komitmennya memperluas RTH yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan pada saat yang sama bisa berfungsi sebagai tanah resapan yang meminimalisasi banjir di musim hujan.

Drainase yang tidak memadai dan tidak terawat

Salah satu flood control yang dianggap efektif dalam pengendalian banjir adalah drainase yang cukup, terkoneksi, dan terawat dengan baik. Sayang sekali Makassar tercinta yang tumbuh penduduknya secara signifikan, tidak dibarengi dengan pengembangan drainase yang memadai, modern dan terawat dengan baik. Makassar yang digadang sebagai ‘smart city’ seharusnya memiliki ‘smart drainage’ seperti kota-kota besar di luar negeri. Sayangnya dalam 10 tahun terakhir pembangunan drainase sangat jauh dari cukup, padahal Pak JK pernah mengingatkan wali kota pada tahun 2015 tentang “buruknya drainase serta kebersihan selokan yang membuat Makassar banjir setiap musim hujan tiba” (Tribun-Timur.com, 7 Mei 2015). Kondisi drainase Makassar yang tidak memadai dan banyak yang tersumbat, harusnya dijadikan  ‘wakeup call’ untuk segera berbenah dengan membangun dan merevitalisasi sistem drainase kota Makassar secara keseluruhan, agar peristiwa banjir yang melanda Makassar pekan ini, tidak terulang lagi dimasa mendatang. 

Perilaku masyarakat 

Banjir yang melanda Makassar tidak boleh hanya disalahkan pada alam dan pemerintah, karena salah satu faktor yang memberikan kontribusi besar pada terjadinya banjir adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungannya dan tidak nyampah dimana-mana. Harus diakui, kesadaran warga Makassar atas pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat perlu di upgrade beberapa tingkat karena membuang sampah di selokan adalah pemandangan umum bahkan dapat disaksikan di kantor-kantor pemerintah dan kampus-kampus di Makassar.

Harus diakui, masih banyak lagi hal-hal teknis lain yang memicu terjadinya banjir seperti kurangnya kesadaran dan kesiapan aparat pemerintah di desa, kecamatan, dan kota serta kurangnya koordinasi antar dinas terkait dalam pengendalian banjir serta para pengusaha yang  sering memengaruhi pemerintah dengan imbalan dan janji-janji demi izin yang mereka inginkan. Hal lain yang tak kalah penting adalah kurangnya koordinasi dan kerja bersama dengan  bupati kabupaten tetangga, khususnya Pangkep, Maros dan Gowa karena sebagian sumber banjir berasal dari ketiga wilayah tersebut. Namun demikian, semua orang yang dekat hatinya dengan Makassar akan sukar membantah lima poin di atas sebagai pemicu banjir di kota Makassar. 

Sipitangarri 

Agar tidak terkesan hit and run, izinkan saya untuk “sipitangarri” (urun rembuk) dan mengajak diri saya sendiri, kolega-kolega di UNHAS, dan teman-teman ASN di pemerintah kota Makassar dan Provinsi Sulawesi Selatan untuk bersama-sama memikirkan jalan keluar dari banjir tahunan Makassar. Solusi yang kita tawarkan harus menjawab kelima poin sumber banjir di atas agar kita fokus dalam menindaklanjutinya, sesuai dengan peran dan keahlian kita masing-masing. 

Khusus untuk penanggulangan banjir (flood control) di Makassar yang bersifat kebijakan dan lintas kabupaten/kota, gubernur sebaiknya segera membuat blue-print penanggulangan banjir khususnya yang bersumber dari curah hujan tinggi, dan melubernya sungai Jeneberang serta air pasang dan rob dengan bekerjasama dengan bupati/walikota terkait. Hal ini perlu dilakukan segera agar blueprint-nya sesuai dengan RTRW provinsi dan RTRW kabupaten/kota. Dengan tidak bermaksud menggarami air laut, saya yakin teman-teman di UNHAS dapat dilibatkan dalam pembuatan blueprint ini jika belum ada dokumennya.

Khusus untuk merespons keterlanjuran Reklamasi Pantai Losari dan sekitarnya, maka perlu ada kajian ulang agar infrastruktur drainase yang akan dibuat diintegrasikan dengan kondisi terkini pantai losari yang telah lebih tinggi posisinya dibanding daratan kota Makassar yang menurut laporan tahun 2013, land subsidence (penurunan permukaan tanah) berkisar antara 5–15CM per tahun (Ilham Alimuddin, et all, 2013, Evaluating Land Surface Change of Makassar City Using DinSAR and Landsat Thematic Mapper Images). Kenyataan ini harus dimasukan dalam desain drainase Makassar ke depan agar berfungsi secara optimal. Di samping itu, pemanfaatan air tanah yang berlebihan harus segera dihentikan dengan meningkatkan kapasitas PD PAM Makassar agar bisa menjangkau semua industri, hotel, perkantoran dan rumah tangga di Makassar, agar tragedi seperti pantai Utara Jawa dapat dihindari.

Khusus untuk penyelamatan daerah aliran sungai (Jeneberang dan Tallo) sebaiknya merawat yang tersisa dan dinyatakan sebagai ‘critical zone’ karena masa depan Makassar/Gowa sangat tergantung pada dua sungai tersebut. Oleh karena itu, harus ada ketegasan dari Gubernur dan bupati/walikota agar aktivitas masyarakat di daerah aliran sungai tidak menurunkan kualitas kedua sungai tersebut. Pada saat yang sama Pemerintah Kota harus selalu berusaha meningkatkan RTH dan pembangunan sumur resapan yang banyak agar air hujan dapat diserap dengan baik, sambil meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Intinya, walikota dan jajaran harus menjadi panglima dalam membangun kebijakan dan infrastruktur yang menyelamatkan Makassar dari banjir tahunan yang menyiksa.

Akhirnya, mungkin sudah saat-nya kita berhenti ‘menyalahkan alam’ karena Tuhan sangat jelas firmannya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum, 41). (*)

News Feed