English English Indonesian Indonesian
oleh

Tentang Politik Identitas

OLEH: Nasrullah Mappatang, Mahasiswa Program Doktoral Bidang Socio-culture and Arts, University of Malaya

Hari – hari ini istilah “politik identitas” benar – benar ramai disalahartikan bahkan disempitkan penggunaannya di ruang publik. Di

media massa, di media sosial, di pidato pejabat bahkan setingkat kepala negara, hingga politisi (minus literasi), apalagi. Penggunaannya liar, banal sekali. Bahkan, nyaris tanpa sabuk pengaman. 

Seolah politik identitas adalah hal yang “haram”, “terlarang”, dan “menjijikkan”. Seolah, politik identitas hari ini diidentikkan dengan “politisasi agama” saja atau bahkan disamakan dengan “politik kebencian”. Padahal, dalam ilmu – ilmu humaniora, khususnya kajian budaya (cultural studies), tidaklah sedangkal dan sesempit demikian. 

Barker (2016) dalam Cultural Studies: Theory and Practice menjelaskan bahwa politik identitas merujuk pada politik perbedaan. Basis perbedaan tersebut adalah kelas sosial, identitas kultural seperti ras, bangsa/nasion, etnik/suku, agama, letak geografis, dan jender. Dengan demikian, politik identitas adalah politik yang berbasis pada perbedaan — kelas sosial, ras, etnik/suku, nasion/ bangsa, asal daerah, dan jender —dalam arti positif. 

Bahkan, paham dan gerakan nasionalisme yang mendasari Indonesia dan banyak negara terjajah merdeka dari kolonialisme, adalah wujud nyata dari politik identitas. Yakni, politik yang digerakkan karena perbedaan “kita” sebagai bangsa terjajah dan “mereka” sebagai bangsa penjajah. 

Sayangnya memang, penjelasan akademis tentang “apa dan bagaimana sesungguhnya itu politik identitas”, tidak mendapat tempat. Penjelasan dan “pencerahan” ilmiah tak mengemuka di tengah basah kuyupnya masyarakat akibat banjir informasi yang berseliweran. Bahkan di tengah banjir sungguhan di beberapa daerah negeri ini, banjir bandang wacana “politik identitas” seolah tak mau kalah. 

Masalahnya lagi, praktik media massa dan media sosial hari ini, seperti tak ada “sabuk pengaman literasi” memang. Riuh dan liar saja kelihatan. Seperti dibiarkan, bahkan barangkali, jika boleh curiga, sengaja diproduksi dan direproduksi demikian. Tujuannya adalah boleh jadi sebagai “politik propaganda” sekaligus upaya mewujudkan agenda “mediatitasi mendalam” (deep mediatisation)—“mediatisasi politik dan mediatisasi masyarakat”. Sampai pada titik ini, agenda propaganda dan mediatisasi sudah merasuk kepada agenda politik hingga tataran mikro. Artinya, sudah menyasar hingga ke perubahan cara pandang individu dan interaksi sosial politik di masyarakat (Andreas Hepp, 2020, Deep Mediatization; Herman & Chomsky, 1988, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media). 

Persoalan propaganda dan mediatisasi “politik identitas” ini seperti air bah saja yang datang dari pembukaan sebuah pintu bendungan. Deras sekali. Seperti air tampungan yang lama disimpan, lalu diluapkan di waktu yang ditentukan. Bisa jadi karena waktunya memang telah tiba. Atau karena daya tampungan airnya telah melebihi ambang batas maksimal. 

Mengenai waktu, boleh jadi karena 2024 semakin dekat. Soal daya tampung, mungkin saja akibat luapan wacana “Islam politik” sedang menguat atau sengaja dikuat – kuatkan. Akibatnya, daya tampung bendungan seperti hampir penuh, sehingga harus disalurkan sebagian. Boleh jadi demikian

Uniknya, wacana politik identitas ini tak hanya riuh rendah pada percakapan masyarakat awam di media sosial semata. Dalam pidatonya beberapa waktu lalu, penyempitan makna politik identitas ini juga mengemuka di pidato seorang pemimpin negara di Republik ini. Isi pidato itu ikut menyebarkan kekeliruan pemahaman tentang “politik identitas”, untuk tidak bilang, turut “menyempitkan” makna politik identitas ini. Terang saja, agendanya memang menyasar tahun politik 2024, dimana “politik identitas harus dihindari”, katanya. 

Apa yang dihimbaukan pejabat negara di atas dalam pidatonya itu seperti mengingkari sendiri takdirnya sebagai pejabat di negara pascakolonial. Sebab, gerakan nasionalisme yang menentang  kolonialisme di awal abad ke-20 di negeri ini, sesungguhnya adalah wujud politik identitas paling nyata. Mengapa hal itu tidak dilarang untuk dibanggakan atau disesali sebagai bagian dari “politik identitas” yang kebetulah basisnya adalah bangsa / nasion? Dalam hal ini, politik identitas kebangsaan. 

Sebagaimana slogan “saya Pancasila, saya NKRI” yang juga ramai beberapa waktu lalu, itu juga adalah wujud “politik identitas”. Karena seperti kata Barker di atas, “saya Pancasila” dan “saya NKRI” adalah “identitas pembeda” dari mereka yang “dianggap” “tidak Pancasila” dan “tidak NKRI”. Praktik ini pun boleh, bahkan mengemuka di acara – acara dimana pejabat negara hadir di situ. 

Lantas, bagaimanakah kalau kita memaknai “Ummat sebagai identitas” , Rakyat sebagai identitas, Etnik Jawa sebagai identitas, dan Bangsa Indonesia sebagai identitas?  

Apakah serta merta politik keumatan, politik kerakyatan, dan politik ke-Jawa-an, dan politik kebangsaan juga harus dilarang, atau minimal dihimbaukan untuk dihindari? Rasa – rasanya kita “malu” sendiri jika harus membenarkannya. 

Olehnya itu, mengapa lantas politik identitas yang satu seolah “dilarang” atau dihimbau untuk dijauhi, sementara politik identitas yang lain justru diseru – serukan untuk diikuti dan digalakkan? 

Sampai di sini, tidakkah berarti bahwa “wacana” tentang “politik identitas” ini sesungguhnya juga adalah “politik”? Dalam artian, bersifat politis. 

Tujuannya, boleh jadi tak lain dan tak bukan untuk kepentingan yang menguntungkan produsen wacananya, demi mengalahkan “sasaran” tembak “politik”-nya. Benarkah? 

Pada akhirnya, “Everything is political, indeed” — Segala sesuatunya itu politis, memang. (*)

News Feed