Ibarat serial drama, kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, berakhir “happy ending”. Penonton mencapai puncak kepuasan pada akhir cerita, dimana Sambo yang menjadi terdakwa utama pembunuhan tersebut, mendapat hukuman tertinggi; yakni hukuman mati. Seorang mantan perwira polisi dengan capaian dua bintang di pundak, karir mentereng, populer, dan masih berusia muda, akan tercatat dalam sejarah sebagai perwira polisi yang berakhir tragis di depan algojo.
Meski masih ada ruang pembelaan melalui upaya banding, kasus yang penanganannya menghabiskan waktu lebih dari tujuh bulan sejak kejadian, sudah diapresiasi luas oleh masyarakat Indonesia. Bukan hanya kalangan rakyat biasa, para pejabat, tokoh politik, maupun pemuka masyarakat menyambut baik keputusan vonis mati tersebut, terlepas dari polemik atas hukuman mati yang dinilai tidak berperikemanusiaan. Yang pasti, hukuman mati masih dianut di negeri ini sebagai hukuman terberat dan dapat diterapkan.
Ada rasa keadilan publik yang terwakili atas keputusan ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso itu. Publik tak hanya sebagai penonton, tapi juga penyimak sekaligus penilai atas proses penegakan hukum pembunuhan berencana seorang jenderal polisi itu. Hakim dengan sangat meyakinkan berani menjatuhkan vonis lebih berat dari tuntutan jaksa; penjara seumur hidup bagi Sambo dan 20 tahun untuk istrinya, meski sebelumnya jaksa hanya menuntutnya delapan tahun penjara.
Dengan demikian, Sambo menambah deretan terdakwa dengan vonis hukuman mati di Indonesia. Amnesty Internasional mencatat bahwa sejauh ini hukuman mati lebih banyak ditimpakan kepada pelaku kejahatan narkotika, menyusul kejahatan pembunuhan, dan di urutan terakhir kejahatan terorisme. Dari ketiga kategori itu, Sambo tercatat sebagai mata rantai kepolisian yang paling lemah, karena perbuatannya dinilai merusak nama institusi kepolisian; membunuh, menghalang-halangi penyelidikan, dan menjerumuskan rekannya sesama polisi untuk ikut berbohong agar perbuatannya tak tersentuh hukum.
Kita berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi siapa pun. Bukan hanya bagi para pelaku dan institusi Polri, melainkan juga kepada semua aparat pemerintah agar mampu menjalankan tugas dengan benar. Mayoritas dari kita mungkin sepakat dengan hakim bahwa tidak ada alasan pembenar dan pemaaf yang bisa membuat hukuman Ferdy Sambo lebih ringan dari hukuman mati. Tapi, sesungguhnya yang lebih penting adalah kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap hakim dan polisi. Bahwa hukum bisa tegak, bukan karena tekanan publik melalui media. (^^)